Oleh: Prof Dr Sutjipto
Ikatan Alumni UNJ
HARAPAN lulusan IKIP berkualitas setinggi langit, tapi perencanaannya hanya di-design pas bandrol terungkap dalam Forum Diskusi Pedagogis (FDG) yang diselenggarakan Ikatan Alumni Universitas Negeri Jakarta (IKA UNJ) di Sekretariat IKA UNJ, Gedung Pascasarjana.
Dalam diskusi bertema Historisitas IKIP ke Universitas: Perspektif Pedagogis”, yang dipandu oleh Abdullah Taruna, Rektor IKIP/UNJ Periode 1997 – 2005 Prof Dr Sutjipto yang membidangi transformasi IKIP menjadi Universitas mengungkapkan hal itu.
"Pada waktu itu policy perguruan tinggi mengatakan, bahwa pendidikan itu harus berdasarkan competency based. Jadi kemudian digenjot untuk bisa memiliki kompetensi sebagai guru, kalau SD ya pelajaran SD saja. SMP, ya pelajaran SMP saja yang dipelajari. Itu Competency Based Teacher Education (CBTE)," kata Sutjipto.
Padahal, menurut Prof Dr Sutjipto, asumsi sebenarnya yang harus dicapai tidak serendah itu.
Asumsi kompetensi dasar yang benar menurutnya, jam mengajar mencerminkan bertahun-tahun jam belajar.
"Yang keluar waktu mengajar memang dua jam mengajar, tapi sebenarnya itu hasil belajar bertahun-tahun," ungkap Sutjipto yang kini menjabat Direktur Pascasarjana Universitas Pancasila.
Para guru belajar secara pas bandrol, dan pemerintah yang memberikan fasilitas lab pembelajaran yang standar mengajar saja, bukan standar research merupakan fakta, bahwa design subtansi mengajar berdasarkan competency based teacher education, itu telah disalahpahami oleh mahasiswa, dan pemerintah selaku pemegang kebijakan.
Ini melatar belakangi kenapa masyarakat luas kemudian menganggap IKIP merupakan Perguruan Tinggi kelas 2, dan hanya diminati para para mahasiswa kelas 2.
"Mengapa, karena lulusannya akan menjadi guru, dan guru itu gajinya rendah. Jadi orang yang mengharapkan gaji tinggi tidak akan masuk IKIP. Itu last result," kata Sutjipto.
Puncak dari akibat pemahaman yang salah itu, saat pemerintah menunjukkan defisit kepercayaannya atas mutu guru lulusan IKIP, dan kemudian Ditjen Pendidikan Tinggi menugaskan UI, ITB dan IPB untuk menghasilkan guru diploma 3.
"Itu karena ketidakpercayaan kepada kemampuan lulusan IKIP dalam menguasai substansi pelajaran," ungkap Sutjipto.
Semula pemerintah hendak memperluas akses ke berbagai universitas negeri untuk mendidik guru D3.
Namun karena terkendala dana, Ditjen Pendidikan Tinggi kemudian menyekolahkan dosen-dosen IKIP ke UI dan ITB.
Langkah ini melahirkan akulturasi dosen-dosen yang berlatar kultur ilmu pendidikan dengan para mahasiswa S2, S3 ilmu murni di UI dan ITB.
"Kami kemudian bertanya kenapa guru yang mengajar di sekolah-sekolah itu tidak dilahirkan dari Universitas. Apakah kalau di universitas kemudian hilang jiwa gurunya? apakah branding guru yang bagus harus dari yang mono culture?" ujar Prof Dr Sutjipto yang optimistis interaksi calon guru dan mahasiswa ilmu murni di universitas hasil konversi akan saling memperkaya ilmu pengetahuan.
"Kemudian saya dan beberapa rektor dikirim ke Monash University, Melbourne Australia, kemudian ke Brockport di New York, dan beberapa lainnya dikirim ke Jepang, Italia, dan ke mana-mana. Kami semua kemudian menjadi tim yang bekerja di Dikti untuk merumuskan perubahan yang tujuannya memperkuat pendidikan yang ada di IKIP. Semula kesepakatannya tidak mentransformasi IKIP menjadi universitas tetapi memperluas mandat IKIP untuk meluluskan lulusan yang kualifikasinya sama dengan lulusan universitas," jelas Sutjipto.
Saat transformasi IKIP menjadi universitas sudah diambang pintu, para rektor IKIP Negeri pun membuat janji bersama.
"Saya dari IKIP Jakarta, Pak Johar MS, dari IKIP Negeri Yogyakarta, rektor IKIP Negeri Makassar, IKIP Padang, IKIP Malang, dan sebanyak 10 rektor IKIP Negeri berjanji tidak akan menomorduakan ilmu pendidikan saat IKIP telah menjadi universitas," ungkap Sutjipto.
Pada Agustus 1999 IKIP Jakarta yang dipimpin Prof Dr Sutjipto, dan 4 IKIP lainnya diresmikan oleh Pemerintah RI menjadi Universitas.
Prodi Perkuliahan harus Fleksibel
Terlepas adanya anggapan umum bahwa IKIP merupakan perguruan tinggi kelas 2 karena design competency based guru pas bandrol yang dipahami secara salah oleh mahasiswa dan juga pemerintah sendiri, sesungguhnya sebagai institusi pendidikan IKIP tidak akan mampu mendukung perkembangan ilmu pendidikan.
Design pas bandrol, input mahasiswa yang berasal dari lapis kedua secara kualitas, dan dukungan fasilitas pemerintah yang standar pembelajaran saja, justru menjadi lahan tandus untuk bisa menumbuhkan benih ilmu pendidikan.
Itu sebabnya, pasca konversi, Prof Dr Sutjipto men-design Perguruan Tinggi menjadi tiga bagian besar universitas: Fakultas non kependidikan di satu pihak (Fakultas Biologi, Matematika, dan ilmu murni lainnya).
Di pihak lainnya ada Fakultas Ilmu Pendidikan yang mengembangkan ilmu pendidikan.
Kemudian Lembaga Professional Teacher Education, yaitu bagian besar universitas yang mempertemukan program studi-program studi dengan Fakultas Ilmu Pendidikan.
Mereka yang sejak semula ingin menjadi guru, maka langsung masuk ke dalam Lembaga yang dinamakan Professional Teacher Education yang benar-benar mengembangkan kapasitas profesional seorang guru, baik dari penguasaan ilmu pengetahuan, maupun jiwa pembelajaran para murid.
"Kalau ini bisa kita jalankan, guru itu adalah guru-guru yang betul bagus, tadi itu yang dituntut: IKIP = Iki piye (keraguan akan bagaimana kualitas IKIP ?) Itu bisa kita hilangkan," ujar Prof Dr Sutjipto.
Sejalan dengan itu, Prof Dr Sutjipto sepakat bila di Universitas hasil konversi, ilmu pendidikan sangat penting ditempatkan menjadi core yang mewarnai semua kegiatan IKIP.
Langkah tersebut perlu dilakukan agar ilmu pendidikan mampu tumbuh subur sehingga mampu menjawab tantangan pendidikan saat ini.
"Ilmu pendidikan bisa kita kembangkan karena ada satu fakultas yang konsentrasi pada ilmu pendidikan itu. Yang dinamakan saling memperkaya itu terjadi antara ahli-ahli yang non kependidikan dengan yang kependidikan sehingga menunjukkan sinergi yang akan memperbaiki sistem pendidikan nasional," terang Prof Dr Sutjipto.
Sejalan dengan pendekatan Professional Teacher Education, para guru hasil lulusan Universitas hasil transformasi memiliki tanggung jawab menerjemahkan pengetahuan non kependidikan berupa budaya penelitian kepada peserta didik sesuai perkembangan usia mereka di SD, SMP, dan SMA.
Menurut Prof Dr Sutjipto, langkah tersebut penting karena minimnya penelitian pendidikan yang asli Indonesia salah satu penyebabnya adalah karena budaya penelitian kita tidak tumbuh dari sekolah dasar.
Itu penyebab ilmu pendidikan kita hidup segan mati pun ragu-ragu.
"Kultur penelitian itu tiba-tiba saja ada di perguruan tinggi. Kalau di negara lain, itu dari SD sudah didorong untuk bertanya, dan menjawab mengapa sesuatu itu terjadi. Membandingkan fenomena yang dialami, cari literatur itu mulai dari SD. Jadi kultur penelitian itu tidak bisa tiba-tiba nongol," kata Prof Dr Sutjipto.
Mengingat pentingnya motivasi belajar, lanjut Prof Sutjipto, maka Lembaga Professional Teacher Education di universitas metamorfosis IKIP perlu mengambil alih tanggung jawab untuk membangkitkan motivasi belajar para murid.
Menurut Prof Dr Sutjipto, motivasi belajar tersebut perlu diperkenalkan kepada para calon guru dengan membangun 3 hal: visi yang dibangun murid selama mengikuti perkuliahan, tanggung jawab murid untuk mewujudkan visinya, dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia.
Ketiga hal tersebut perlu disinergikan dengan kebijakan program studi (prodi) perkuliahan dari semula kaku menjadi fleksibel seperti diusulkan Aktivis dan Pengamat Pendidikan UNJ Jimmy Ph Paat yang merujuk pola yang berlaku di Perancis.
Prof Dr Sutjipto mendukung usulan tersebut karena bertujuan memberikan motivasi kepada mahasiswa untuk mengejar tujuan kuliahnya dengan belajar keras.
"Pendekatan ini berarti universitas perlu menyiapkan battle ground untuk belajar mahasiswa," kata Prof Dr Sutjipto.
Namun, menurutnya, tidak bisa bebas sebebas-bebasnya.
"Intinya kita menyesuaikan program itu dengan kebutuhan-kebutuhan real. Jadi kalau misalnya di Prodi ada mata kuliah yang tidak perlu, bisa diganti dengan mata kuliah lain, yang memang relevan sesuai dengan cita-cita mahasiswa yang ingin menjadi apa. Tidak bebas sama sekali untuk mengambil, tapi itu di-design programnya bersama-sama dengan advicer-nya (penasehat akademis), untuk inilah saya ingin mengambil ini selama saya belajar. Ini akan saya ambil karena sesuai tujuan kuliah saya. Jadi saya perlu mata kuliah-mata kuliah seperti ini," jelas Prof Dr Sutjipto.
Konsekuensinya, tambah Prof Sutjipto, administrasi universitasnya harus kuat.
Jadi tidak seperti yang dikeluhkan Ibu Budiarti (dosen senior peserta diskusi).
Itu mungkin sekali sekarang, karena teknologi sudah maju.. Sebab schedulling misalnya bisa dengan program komputer yang canggih. Yang bisa match, antara kemampuan dosen, waktu dosen, dengan kebutuhan mahasiswa.
Kalau itu kita lakukan, itu bisa kita lakukan. Tinggal diizinkan sama birokrasi (Kementerian Ristekdikti) atau tidak.
"Paling susah adalah orientasi perguruan tinggi menjadi bagian dari birokrasi, sehingga otonomi kita menjadi hilang. Saya kira itu problem yang sangat serius dan menghilangkan ide-ide kita yang bagus untuk dilaksanakan," ungkap Prof Dr Sutjipto.
Ketua Umum IKA UNJ Juri Ardiantoro PhD berharap Kementerian Ristekdikti betul-betul terbuka untuk menerima ide-ide yang disampaikan dalam Forum Diskusi Pedagogis di Universitas Negeri Jakarta.
"Forum Diskusi Pedagogis (FDP) menghadirkan pakar ilmu pedagogik seperti Prof Dr Sutjipto, dan diikuti peserta dari kalangan dosen UNJ, aktivis dan pakar pendidikan, serta para alumni yang sudah menyelesaikan program magister baik dari kampus UNJ maupun perguruan tinggi lainnya. FDP akan diselenggarakan setiap bulan sekali. Tujuannya agar UNJ bisa menyumbangkan pemikiran-pemikiran besar untuk pengembangan ilmu pendidikan nasional," kata Juri Ardiantoro.