Mereka bersaing dalam hal apa? Pertama, mempercanggih mesin pesawatnya. Menurut beberapa pilot yang diwawancarai paska jatuhnya Ehtiopian Airlines, Boeing tipe Max memang lebih maju satu langkah dibandingkan milik Airbus.
Kedua, membuat mesin pesawat yang seirit mungkin. Di tengah harga avtur yang semakin melambung, mesin yang hemat bahan bakar jelas dilirik, khususnya oleh perusahaan penerbangan komersial. Ketiga, dari dua persaingan itu, ujungnya hanya satu duit: siapa yang dipesan orang paling banyak.
Ibu Pertiwi Pun Menangis
Fenomena peng-grounded-an Boeing 737 Max 7 ini bisa kita sejajarkan dengan sikon di tanah air. Semakin mendekati 17 April ini persaingan antara TKN dan BPN semakin sengit.
Saling lontar sindiran sampai serangan terjadi. Yang berbahaya bukan persaingan di kalangan elit yang bermain di wahana wacana, orang-orang di akar rumput justru gampang terbakar.
Lihat saja gesekan yang terjadi bukan saja di media sosial, melainkan juga di lapangan.
Orang yang memakai kaus tertentu dilarang masuk wilayah yang menjadi basis pesaingnya. Perang mulut bisa berubah menjadi tukar tampar sampai perang parang.
Di musim hujan ini, mengapa kita tidak mengakhiri ‘perang saudara’ ini dengan guyuran pemahaman yang lebih menyejukkan.
Saat berdiskusi dengan seorang bapak yang sekian puluh tahun malang melintang di dunia pendidikan, dia berkata, “Jika masing-masing pihak berpijak pada tataran akhlak dan moral, seharusnya perang saudara ini tidak seharusnya terjadi.”
PSI, PDIP dan NKRI
Bersamaan dengan ramainya berita tentang pengandangan Boeing 737 Max, ‘perang’ antara PSI dengan partai lain, termasuk partai koalisi, memanas.
PSI berkata lantang bahwa partai besar—bahkan yang nasionalis sekalipun—bungkam terhadap kasus-kasus inteloransi.
Penahanan seorang ibu yang mempertanyakan suara azan yang membuatnya dipenjara, sulitnya izin pendirian gereja sampai perusakan gereja di berbagai tempat, disuarakan oleh PSI—dalam hal ini Grace Natalia—sebagai kegamangan, bahkan kegagalan partai besar dalam mengumandangkan suara kebenaran.
Partai-partai yang kena bidik tentu saja membalas balik. Mereka menyayangkan partai yang dianggap masih ‘gurem’ ini sudah merasa paling benar, padahal mereka sendiri masih berjuang untuk mencapai threshold 4% agar bisa melaju ke Senayan. Mereka menyerang balik bahwa PSI kurang informasi, bahkan mencoba merebut suara mereka.