Oleh Bambang Soesatyo,
Ketua DPR RI, Dewan Pakar Majelis Nasional KAHMI,Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
TRIBUNNEWS,COM, JAKARTA-Bulan suci Ramadan 1440 Hijriah hendaknya dijadikan momentum bagi pemulihan hubungan baik di antara kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini berseberangan karena beda sentimen politik.
Para aktor politik yang sebelumnya sering menyulut kegaduhan ditantang untuk menahan diri selama bulan suci ini.Sebagian masyarakat merasa tidak nyaman, karena ruang publik masih terasa sangat bising. Padahal, dua pekan sudah sejak pemungutan suara Pemilu serentak 2019.
Baca: Permadi Dipolisikan, BPN Menduga Ada Upaya Kriminalisasi Supaya Pendukung Prabowo Ciut Nyalinya
Kebisingan itu masih disemburkan oleh dua kubu yang paling berkepentingan dengan hasil perhitungan suara pemilihan presiden oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Isu tentang kecurangan terus dihembuskan kedua kubu. Kebisingan itu pasti memancing perhatian sebagian publik di berbagai daerah. Ada yang menanggapinya dengan dengan sikap biasa-biasa saja.
Namun, tak sedikit juga yang terpancing emosinya. Perilaku emosional yang dipertontonkan – kendati hanya dengan pernyataan yang cenderung provokatif – tak pelak membuat beberapa kalangan cemas atau khawatir.
Di kalangan akar rumput pun sempat tergoda untuk, misalnya, menyoal isu people power yang diwacanakan oleh kalangan tertentu. Apakah benar akan terjadi people poweri? Seperti itulah kurang lebih pertanyaan yang mengemuka.
Baca: Tips Tetap Sehat Selama Puasa Ramadan, Menu Sahur dan Berbuka hingga Waktu Olahraga
Perbincangan tentang hal-hal seperti ini bermunculan karena perang pernyataan atau saling tuduh tentang kecurangan Pemilu tak pernah reda. Para tokoh masyarakat sudah menggemakan imbauan agar saling tuduh itu tidak diteruskan.
Kalau pun ada persoalan atau bukti kecurangan, masalahnya cukup dibawa ke lembaga atau institusi yang punya kompetensi menangani sengketa dimaksud. Namun, imbauan itu seperti dianggap angin lalu saja.
Situasi akhir-akhir ini tentu saja memprihatinkan. Apalagi, situasi itu berkembang ketika ratusan orang petugas yang melayani pemungutan dan perhitungan suara dinyatakan meninggal dunia karena kelelahan dan atau gangguan kesehatan lainnya.
Penggalan berita dukacita yang muncul hampir setiap hari itu tak juga mampu mendorong masing-masing kubu untuk sejenak menahan diri. Bahkan tak jarang penggalan berita duka itu terpinggirkan oleh isu-isu baru tentang kecurangan seputar penghitungan suara Pemilu.
Beralasan untuk prihatin, karena apa yang mengemuka akhir-akhir ini akan dinilai atau dilihat sebagai gambaran adab publik. Tidak peduli pada aturan main dan tidak taat azas menggambarkan kerusakan sebuah komunitas. Keengganan untuk bersimpati pada ratusan keluarga petugas Pemilu yang sedang berkabung pun memberi gambaran tentang moral komunitas bersangkutan.
Haruskah kepentingan politik sesaat mencabut komunita-komunitas dari akar budaya dimana mereka tumbuh dan berkembang sejak dilahirkan?
Baca: Berkah Ramadan 2019 untuk PNS: Dapat THR Diikuti Gaji ke-13 hingga Libur Lebaran 11 Hari
Kecenderungan seperti ini tak boleh dibiarkan terjadi. Berperilaku beringas untuk sekadar memperjuangkan kepentingan politik jangka pendek tidak boleh ditolerir, at all cost. Sebab, sekali saja kecenderungan seperti itu mendapatkan toleransi, dia akan diterima sebagai sebuah kebiasaan.
Tidak seharusnya kebiasaan yang nyata-nyata destruktif itu diterima untuk dan atas nama alasan apa pun.
Keluhuran adab publik yang turun temurun telah melekat pada semua komunitas bangsa dan negara ini harus tetap hidup karena dirawat dan dipelihara oleh warga bangsa.
Suasana khusyuk memasuki Bulan Suci Ramadhan 1440 H tahun ini mudah-mudahan mendorong semua komunitas untuk melakukan renungan dan intropeksi. Adab publik Indonesia yang luhur itu tidak boleh rusak atau ditarik mundur. Harus tumbuh semangat bersama untuk masing-masing kembali ke akar budaya.
Komunitas Indonesia memang beragam, namun adab santun, peduli, toleran dan kompromistis (musyawarah mufakat), melekat pada semua komunitas.
Baca: Sebar Kebahagiaan Bersama 5.000 Anak Negeri dan Kaum Dhuafa
Semua itu tak boleh dibiarkan hilang oleh perkembangan dan perubahan zaman sekali pun, karena dinamika dan perkembangan perilaku masyarakat Indonesia haruslah tetap berpijak pada akal sehat.
Momentum Ramadhan
Karena kebisingan akhir-akhir ini bersumber dari isu kecurangan Pemilu, masuk akal jika masyarakat berharap masing-masing kubu kekuatan politik menahan diri, bahkan menghentikan aksi saling tuduh itu sepanjang periode hari besar keagamaan.
Publik yang peduli berharap Bulan Suci Ramadhan 1440 H tahun ini bisa menjadi momentum pemulihan hubungan baik antarkomunitas yang selama ini terpaksa berseberangan karena beda sentimen politik.
Pemulihan itu hendaknya diawali dengan kesadaran bersama untuk berhenti menyemburkan ujaran kebencian, berhenti saling tuduh, berhenti saling ancam, dan tidak lagi membuat pernyataan provokatif. Pada periode bulan suci ini, semua kekuatan politik patut peduli dan menghormati masyarakat yang sedang melaksanakan ibadah Puasa Ramadhan.
Agar masyarakat fokus dan khusyuk, ruang publik hendaknya bersih dari segala sesuatu yang berpotensi menganggu atau merusak kesakralan bulan suci Ramadhan.
Sudah barang tentu tidak akan dipersalahkan jika masing-masing kubu kekuatan politik terus bergiat mengumpulkan bukti-bukti kecurangan. Namun, setiap temuan hendaknya disikapi dengan perilaku yang elegan, tanpa harus memancing atau mengoyak emosi publik.
Sebab, soal kecurangan tidak akan bisa diselesaikan dengan mengoyak emosi publik. Perkara kecurangan itu pada akhirnya harus diselesaikan oleh institusi berwenang menurut undang-undang. Masyarakat hendaknya tidak perlu dilibatkan terlalu jauh, setelah mereka melaksanakan kewajiban menggunakan hak pilih pada 17 April 2019 lalu.
Baca: Gorengan, Makanan Berlemak dan Banyak Mengandung Garam Sebaiknya Dihindari Selama Ramadan
Mengapa imbauan untuk menahan diri perlu dialamatkan kepada kekuatan-kekuatan politik yang terus menyoal ada-tidaknya kecurangan pada Pemilu 2019? Sebab, masyarakat pada umumnya sudah beranggapan Pemilu 2019 sudah berjalan dengan baik, aman dan lancar. Memasuki periode bulan suci Ramadan 1440 H, masyarakat bahkan sudah mengubah fokus.
Tidak lagi pada isu seputar Pemilu, melainkan melakukan berbagai kegiatan untuk menyongsong bulan suci. Artinya, publik akar rumput sudah move on. Seharusnya, para aktor politik pun sudah bisa move on seperti halnya publik akar rumput.
Baca: Menang Rasa Kalah, Kalah Rasa Menang
Banyak upaya di berbagai daerah telah dijalankan untuk memulihkan hubungan baik antarkomunitas. Untuk tujuan itu, beragam cara atau tradisi dipraktikan bersama tanpa melihat perbedaan pilihan politik.
Dan, momentum bulan suci Ramadan 1440 H banyak dipilih warga untuk mempersatukan dan memperbaiki kerusakan yang terjadi akibat beda pilihan politik.
Di Banjarnegara, Jawa Tengah, masing-masing tim sukses saling memberi perangkat salat, sebagai ungkapan rasa syukur karena Pemilu 2019 di Banjarnegara berjalan dengan lancar dan damai.
Setiap tempat atau wilayah berupaya dengan pendekatan tradisinya masing-masing. Misalnya, tradisi santap daging bersama di Aceh, Pawai Obor di Jawa Barat, tradisi Gerebek Apem di Jombang, tradisi Dhandangan oleh Warga Kudus, permainan Bola Api di Cileunyi, Bandung, tradisi Padusan di Boyolali, dan acara megengan di Ponorogo.
Baca: Masjid Raya Gantiang, Masjid Tertua di Padang Perpaduan Arsitektur Minang, Cina Hingga Persia
Di Jakarta Barat, upaya pemulihan dilakukan dengan acara silaturahmi para ulama dan umaro se-Jakarta Barat. Semua ini sengaja disebutkan untuk menunjukan kepada semua elite politik bahwa publik akar rumput sudah move on; dari sebelumnya isu tentang Pemilu, kini sedang menghayati Ibadah Puasa Ramadan.
Kalau masyarakat sudah berinisiatif melakukan pemulihan, elit politik seharusnya mengikuti arus itu. Akal sehat selalu menunjuk arah yang benar.
Baca: Menteri Rini Pilih Kompromi Soal Penurunan Tarif Batas Atas Tiket Penerbangan
Kalau arus pemulihan itu dilawan, elite politik akan terisolasi dari banyak komunitas. Maka, jadikanlah momentum bulan suci Ramadhan 1440 H sebagai pijakan dan kekuatan moral melakukan rekonsiliasi.