News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Hari Kebangkitan Nasional

Embrio Indonesia Lahir dari Keragaman Pemikiran

Editor: Rachmat Hidayat
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Budi Arie Setiadi.

Oleh Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Hari-hari ini kita dihadapkan pada persoalan-persoalan bagaimana memilih suatu tatanan kehidupan bernegara, apakah yang berlandaskan keyakinan-keagamaan ataukah dilandaskan pada gagasan-rasional.
Pilihan pertama tidak banyak menyisakan ruang berdebat dan berpikir, karena ukuran-ukurannya sudah ditentukan sedari awal, baik input maupun output ditetapkan secara absolut.

Pilihan kedua banyak menyisakan ruang perdebatan, perbedaan pikiran, program-program yang disusun berdasarkan hitungan-ukuran rasio, dan bukan pada pertimbangan satu dasar keyakinan dogmatis, melainkan pada program-program dan kinerja sebagai ukuran keberhasilan.

Dua pilihan tersebut bisa dirujuk dengan “berkunjung kembali” kepada gagasan awal menjadikan dan membentuk Indonesia. Memilih Indonesia menjadi republik tentu bukan pilihan asal-comot, atau sekedar meniru-niru mereka “yang di seberang Barat sana”.

Embrio Indonesia lahir dari modernisme dan pencerahan, dari kaum muda berpendidikan, namun tidak kehilangan identitas ke-Indonesiannya. Embrio Indonesia lahir dari keragaman pikiran para “kaum muda” sebagai “embrio bangsa”.

Kaum muda melahirkan kebaharuan dalam politik saat itu, dengan melihat bagaimana gagasan memandang diri mereka dan situasi kolonial tempat mereka berada, yakni gagasan-gagasan humanitas, kemajuan dan kesetaraan manusia.

Gagasan-gagasan ini yang terus dikumandangkan lewat media-media surat kabar dan mendorong terbentuknya suatu kesadaran bersama dalam memandang kolonialisme dan cita-cita pendirian suatu bangsa, suatu kesadaran nasional.

Dari ide-ide dan gagasan para “embrio bangsa” dibangun suatu paham kebangsaan yang egaliter, menghormati persamaan-persaudaraan, dan menjunjung tinggi kebebasan dan kemanusiaan.

Pengalaman kolonialisme menjadi pelajaran terhadap bahaya ketimpangan, penindasan, rasialisme, dan feodalisme, sehingga nilai-nilai tersebut selalu diikat bersama-sama saat menggagas nasion yang merdeka dan berdaulat.

Keragaman dan pluralisme yang menjadi kondisi yang-demikian-adanya diperhitungkan dengan cermat sebagai dasar pokok merumuskan suatu tatanan kenegaraan-kebangsaan bernama Indonesia.

Soekarno merumuskan Pancasila, sebuah dasar negara, sebuah “gagasan bernegara”, rumusan dari apa yang menjadi diskursus para “embrio bangsa”, suatu rumusan yang merupakan pensejajaran modernitas dan nilai-nilai ke-Indonesiaan.

Dalam rumusannya, Soekarno – salah seorang “embrio bangsa” – menolak feodalisme, rasialisme, fanatisme keagamaan, dan monarki dengan mengedepankan nilai-nilai modernitas, yakni humanisme, demokrasi, keadilan, nasionalisme sejajar dengan pola-laku khas Indonesia yakni permusyawaratan.

Masing-masing nilai yang dirumuskan Soekarno bersifat sama pentingnya, dan tidak ada satu kepentingannya melebihi atau mengatasi yang lain. Para “embrio bangsa” ini telah meletakkan gagasan dasar bernegara, suatu pembayangan bagaimana menjadi Indonesia.

Sejarah diperlukan bukan karena sensasi politiknya. Juga bukan sebagai sumber keteladanan nilai semata-mata. Tetapi pada percakapan terus menerus tentang kemanusiaan. Keteladanan tidak harus diikatkan pada masa lalu. Ia dapat berada di masa depan, yaitu pada ide-ide yang membuka ruang imajinasi peradaban.

Cita-cita politik yang menimbulkan toleransi kemanusiaan adalah “sejarah sebagai proses terus-menerus untuk menjadi”.

Apa yang menjadi ancaman bagi politik adalah ketika nilai-nilai dasar dikompromikan dengan kepentingan satu golongan. Artinya nilai-nilai dasar diletakkan di bawah kompromi, yang bahayanya, lama-kelamaan hasil-hasil kompromi kepada satu golongan jadi lebih menentukan dari nilai dasar.

Kalau terus-menerus demikian, maka upaya menuju Indonesia yang menjadi lebih baik tidak akan pernah tercapai, karena nilai-nilai dasar diinjak-injak kompromi kepentingan.

Proses Indonesia-yang-menjadi suatu tatanan kenegaraan dan kebangsaan demokratis, yang sekarang ini terus-menerus harus kita upayakan. Salah satu upaya kita adalah dengan mencari pemimpin yang bisa menjadi teladan untuk membawa Indonesia ke arah kemajuan dan kesejahteraan.

Yang pasti, pemimpin bangsa bukan tipe manajer perusahaan, yang dikendalikan seorang investor yang menghitung politik dalam rumus efisiensi untung-rugi. Ia juga bukan bermental spekulan saham, yang mengejar margin keuntungan pada sebuah situasi ekonomi kritis, untuk kemudian hengkang mencari pasar jangka pendek lain.

Baca: TERBARU Hasil Real Count KPU Pilpres 2019 Jokowi vs Prabowo, Senin 20 Mei (17.00) Data Masuk 91,57%

Pemimpin juga bukan pengecer ayat-ayat suci yang menjanjikan surga eksklusif sambil menebar kebencian pada sesama manusia.

Baca: Awalnya Dijerat Pasal Perusakan Korban Mutilasi Malang, Kini Sugeng Kena Pasal Pembunuhan

Pemimpin adalah pemberi arah hidup sebuah bangsa. Ia menanam nilai untuk dituai orang lain, dalam jangka panjang. Pemimpin tidak berkelahi demi dendam politik, melainkan guru yang sabar mengajarkan keadilan dan kemerdekaan.

Baca: Situng KPU Cegah Kecurangan Pileg 2019

Maka sudah saatnya bangsa Indonesia kembali kepada jalurnya, yakni pengemban amanat cita-cita yang berlandaskan nilai dasar “gagasan bernegara”, suatu cita-cita bagi Indonesia yang menjadi rumah bagi semua warga Indonesia, rumah yang nyaman untuk didiami, rumah yang menghidupi. Bukan yang menyingkirkan.

Bukan yang mematikan. Para “embrio bangsa” berpikir, bekerja dan berjuang untuk menjadikan Indonesia. Kita melakukan hal sama untuk Indonesia yang menjadi demokratis, berkeadilan-sosial, dan menghormati setiap warganegara yang berdiam di dalamnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini