Oleh Ray Rangkuti
Direktur LIMA Indonesia, Penggagas Masyarakat Madani untuk Oposisi Indonesia.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Aksi massa, menolak hasil pemilu berlangsung. Beberapa kali massa bentrok dengan pihak kepolisian. Akibatnya aktivitas di jalan Soedirman banyak yang terhenti.
Sulit menebak apa sebenarnya yang menjadi tuntutan para demonstran. Jika terkait dengan hasil pemilu, pihak BPN sudah menyatakan akan melakukan gugatan sengketa kepada Mahkamah Konstitusi. Jika terkait dengan dugaan pelanggaran, Bawaslu tengah melakukan penyelidikan dan persidangan atas laporan berbagai kecurangan yang dimaksud.
Dua dari laporan itu telah diputuskan oleh Bawaslu berupa mengabulkan dan juga menolak. Mengabulkan laporan tentang kurang cermatnya KPU dalam mengelola Situng tetapi menolak dugaan adanya pelanggaran yang bersifat TSM, karena barang bukti yang diajukan sangat lemah. Lantas apa lagikah yang mau dituntut?
Membatalkan hasil pemilu tentu tidak bisa dilakukan secara semena-mena. Apalagi hal itu hanya berdasarkan desakan massa melalui jalanan. Pun mendiskualifikasi peserta pemilu juga harus disertai data, fakta akan massifnya kecurangan yang terungkap di dalam persidangan.
Mendiskualifikasi pasangan tidak juga bisa dilakukan melalui asumsi atau pandangan subjektif aapalgi gerakan massa.
Semua hal ada caranya dan cara yang sudah kita sepakati adalah menyelesaikan berbagai kejanggalan, kecurangan, dan sebagainya, melalui mekanisme yang konstitusional. Lalu apalagi tujuan dari demonstrasi-demonstrasi ini?
Menduduki kantor Bawaslu ataupun kantor KPU bukanlah solusi. Segala upaya menduduki kantor Bawaslu atau KPU, pada dasarnya, hanyalah tindakan sia-sia. Pengumuman hasil pemilu yang dibacakan oleh KPU tanggal 21 Mei yang lalu hanya bisa dan mungkin dirubah melalui Mahkamah Konstitusi atau pengadilan yang lain.
KPU sendiri tidak lagi memiliki kewenangan apapun untuk mengubah hasil pemilu tanpa perintah pengadilan. Maka dan oleh karena itu, tujuan demonstrasi yang mengepung kantor Bawaslu menjadi tidak jelas.
Dan lebih tidak jelas karena BPN sendiri sudah menyatakan akan mengambil langkah sengketa ke Mahkamah Konstitusi.
Dan jalan inilah jalan konstitusional. Dan di jalan inilah semestinya semua orang berjalan. Lebih-lebih kepada mereka yang menggaungkan istilah 'jihad konstitusi', sudah sepatutnya mengawal BPN ke MK. Jihad konstitusi hanya jadi absah jika dilakukan dengan cara konstitusional.
Bukan sebaliknya, jihad konstitusi tapi dengan mekanisme melalui jalanan. Jalanan itu bukanlah mekanisme konstitusional, tapi mekanisme politik. Perubahan politik bisa dilakukan melalui jalanan, tapi penegakan konstitusi hanya bisa dilakukan dengan mekanisme yang sudah tersedia. Itulah makna jihad konstitusi.
Oleh karena itu, adalah penting untuk mengingatkan kawan-kawan yang masih bertahan di depan Bawaslu agar 1. Baiknya merenungkan kembali, apakah benar cara untuk menegakan konstitusi ini.
2. Menghindari diri dari kemungkinan melakukan kerusuhan. Jelas, menegakan konstitusi dengan kerusuhan adalah inkonstitusional. Itu bukan gerakan menegakan konstitusi tapi gerakan politik.
3. Sebaiknya lebih baik memperkuat tuntutan BPN ke Mahkamah Konstitusi dengan menambah berbagai info yang didapatkan guna memperkuat argumen sengketa di Mahkamah Konstitusi.
Baca: MK Siap 100 Persen Tangani Gugatan Pemilu 2019
4. Meminta elit politik tidak mempergunakan aksi massa untuk kepentingan politik diri atau kelompok. Pernyataan harus sejalan dengan tindakan.
Baca: TERBARU Hasil Real Count KPU Pilpres 2019 Jokowi vs Prabowo Kamis 23 Mei Pukul 13.30 WIB
Jangan sampai dalam pernyataan tidak mendukung kerusuhan misalnya, tapi saat yang sama juga mengeluarkan pernyataan yang menambah bara untuk kerusuhan. 5. Meminta kepada kepolisian untuk menjaga diri tidak mempergunakan kekerasan dalam menghadapi demonstran.
Betapapun kaburnya tujuan demonstrasi ini, tapi menjaga hak mereka untuk bersuara dan protes tetap harus dipegang dengan kuat. Demokrasi hanya akan bermakna jika kebebasan benar-benar dapat ditegakkan. Mendahulukan hak tentu harus diutamakan.