News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Gugatan Prabowo dan Strategi Sun Tzu

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sumaryoto Padmodiningrat.

Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat

TRIBUNNEWS.COM - Akhirnya, pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, mengajukan gugatan atas hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (24/5/2019) malam sekitar pukul 22.35 WIB atau pada injury time penutupan pendaftaran pukul 24.00 WIB.

Tim kuasa hukum Prabowo-Sandi yang diketuai mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto mengajukan 51 bukti.

Laporan dugaan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang pernah ditolak Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pun diajukan kembali.

Akankah Prabowo-Sandi yang tertinggal 16,9 juta suara dari petahana Presiden Joko Widodo yang berpasangan dengan KH Maruf Amin mampu membalik keadaan? Kita tidak tahu pasti.

Yang jelas, Ketua MK Anwar Usman menjamin sembilan hakim MK akan independen dalam menyidangkan perkara gugatan pasangan calon nomor urut 02 atas pasangan calon nomor urut 01 itu.

BW, panggilan akrab Bambang Widjojanto, juga berharap MK tidak menjadi “mahkamah kalkulator”, dan tidak pula menjadi bagian dari rezim korup, sebuah narasi yang cukup mengintimidasi MK bila menolak gugatan Prabowo.

Kalah atau menang, itu soal biasa dalam sebuah kontestasi (perang). Yang terpenting, bagi yang menang, kemenangan itu diraih dengan cara ksatria, sportif, terhormat dan bermartabat, bukan dengan cara-cara culas.

Bagi yang kalah, kekalahan itu ia alami tanpa ada kecurangan. Dengan kata lain, “menang tanpa ngasorake, kalah tanpa wirang”. Untuk membuktikan semua itu, MK-lah arenanya, bukan yang lain.

Sebab itu, kita mengapresiasi langkah Prabowo-Sandi yang mengajukan gugatan ke MK.

Langkah ini diharapkan dapat menganalisasi dan mengeliminasi emosi para pendukung Prabowo-Sandi yang merasa aspirasinya tidak diakomodasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Bawaslu. Gugatan ke MK diharapkan bisa menjadi kanal bagi potensi konflik di lapangan.

Kini, setelah Prabowo-Sandi mengajukan gugatan ke MK, pertarungan selanjutnya ada di “meja merah” MK, bukan di KPU, Bawaslu, atau parlemen, apalagi parlemen jalanan berupa unjuk rasa. Aksi unjuk rasa pada 21-23 Mei 2019 yang menelan sedikitnya delapan korban jiwa dan ratusan lainnya luka-luka, cukuplah sudah.

Kematian delapan pengunjuk rasa tersebut menambah panjang daftar “tumbal” Pemilu 2019, setelah sekitar 600-an personel Kelompok Petugas Pemungutan Suara (KPPS) berguguran. Jangan sampai jatuh korban-korban berikutnya.

Terkait aksi demo 21-23 Mei 2019, yang diwarnai dengan pembakaran Markas Brimob Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, dan tewasnya delapan pengunjuk rasa, bila merujuk pada temuan polisi, ternyata ada pihak-pihak yang menyusupinya. Ada yang mencoba mengail di air keruh.

Apakah pihak-pihak yang menyusup itu para pendukung Prabowo sendiri? Kita tidak tahu. Sebab, orang-orang dekat Prabowo seperti Fadli Zon dan Dahnil Anzar Simanjuntak, bahkan Prabowo sendiri membantah terlibat dalam aksi demo yang anarkis itu.

Namun di sisi lain, mantan Komandan Jenderal Kopassus Mayjen (Purn) Soenarko ditangkap dan ditetapkan Polri sebagai tersangka kasus penyelundupan senjata.

Plus, polisi menemukan mobil ambulans berlogo Partai Gerindra dari Tasikmalaya, Jawa Barat, berisi batu-batu yang kemudian digunakan para demonstran untuk melempari petugas.

Sinyalemen adanya penyusup ini mengingatkan kita akan strategi Sun Tzu (545-470 SM), seorang jenderal, ahli strategi militer, dan filsuf asal Tiongkok Kuno. Strategi ke-3 dari 36 Strategi Sun Tzu menyatakan, ”Pinjam tangan seseorang untuk membunuh, atau bunuh musuh dengan pisau pinjaman, atau serang musuh dengan menggunakan kekuatan pihak lain.”

Strategi ini pernah diterapkan Ken Arok (1182-1247) ketika membunuh Tunggul Ametung, akuwu Tumapel, dengan sebilah keris yang dicuri dari Kebo Ijo, yang kemudian mengantarkan Ken Arok ke takhta sebagai raja pertama Singasari yang bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi (1222-1247)).

Bila kerusuhan di Petamburan meluas dan berlanjut chaos dan kemudian pemerintahan Jokowi tak mampu mengatasinya, maka mereka akan mengambil alih kekuasaan alias coup de etat (kudeta).

Hal itu juga mengingatkan kita akan strategi ke-5 dari 36 Strategi Sun Tzu, yakni, “Gunakan kesempatan saat terjadi kebakaran untuk merampok pihak lainnya.”

Pun mengingatkan kita akan strategi ke-20 dari 36 Strategi Sun Tzu, yakni, “Memancing di air keruh.”

Sebelum menghadapi pasukan musuh, buatlah sebuah kekacauan untuk memperlemah persepsi dan pertimbangan mereka. Buatlah sesuatu yang tidak biasa, aneh, dan tak terpikirkan sehingga menimbulkan kecurigaan musuh dan mengacaukan pikirannya. Musuh yang bingung akan lebih mudah untuk diserang.

Sun Tzu versus Sun Tzu

Di sisi lain, kita mengapresiasi langkah pemerintah, dan Polri yang dibantu Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dapat segera mengendalikan keadaan, sehingga kerusuhan 11, 12 dan 13 Mei 1998 tak terulang kembali.

Beredar rumor, bila pada 21, 22 dan 23 Mei 2019 lalu terjadi kerusuhan, maka itu merupakan siklus 20 tahunan di Indonesia.

Untuk menghadapi lawan-lawan politiknya yang menggunakan strategi Sun Tzu, hendaknya Jokowi pun menggunakan strategi dari filsuf ahli perang itu, atau Sun Tzu versus Sun Tzu.

Misalnya, strategi ke-13 dari 36 Strategi Sun Tzu, yakni “Kagetkan ular dengan memukul rumput di sekitarnya. Ketika kita tidak mengetahui rencana lawan secara jelas, serang dan pelajari reaksi lawan. Perilakunya akan membongkar strateginya.”

Penangkapan Soenarko dan Eggi Sudjana merupakan bagian dari strategi ini.

Juga strategi ke-15 dari 36 Strategi Sun Tzu, yakni, “Giring macan untuk meninggalkan sarangnya. Jangan pernah menyerang secara langsung musuh yang memiliki keunggulan akibat posisinya yang baik. Giring mereka untuk meninggalkan sarangnya sehingga mereka akan terjauh dari sumber kekuatannya.”

Prabowo-Sandi pun pelan-pelan mulai terisolasi dari koalisi pendukungnya. Partai Demokrat mulai merapat ke Jokowi, setelah Komandan Komando Satuan Tugas Utama (Kogasma) partai berlambang bintang “mercy” ini, Agus Harimurti Yudhoyono, bertemu dengan Jokowi. Bagitu pun Partai Amanat Nasional (PAN) yang ketua umumnya, Zulkifli Hasan, baru bertemu Jokowi.

Jokowi juga bisa menggunakan gugatan Prabowo-Sandi ke MK sebagai salah satu strateginya, sesuai strategi ke-16 dari 36 Strategi Sun Tzu, yakni, “Pada saat menangkap, lepaslah satu orang.

Musuh yang tersudut biasanya akan menyerang secara membabi buta. Untuk mencegah hal ini, biarkan musuh percaya bahwa masih ada kesempatan untuk bebas (menang).

Hasrat mereka untuk menyerang akan teredam dengan keinginan untuk menang atau setidaknya melarikan diri. Ketika pada akhirnya kemenangan atau kebebasan yang mereka inginkan tersebut tak terbukti, moral musuh pun akan jatuh dan mereka akan menyerah tanpa perlawanan.”

Pendek kata, strategi Sun Tzu dilawan dengan strategi Sun Tzu pula. Satu guru satu ilmu. Bila sudah tahu begitu, hendaklah tidak saling mengganggu!

Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Anggota DPR RI/Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini