Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Masih ingatkah kita akan sebuah kisah dalam mitologi Yunani, seorang perempuan rupawan bernama Pandora, pada hari pernikahannya dengan Epimetheus, mendapat hadiah dari para dewa berupa sebuah kotak yang indah (dan suci) namun Pandora dilarang membukanya?
Ketika dibuka karena rasa penasaran, ternyata keluarlah segala macam keburukan mulai dari masa tua, rasa sakit, kegilaan, wabah penyakit, keserakahan, pencurian, dusta, kecemburuan, kelaparan, hingga berbagai malapetaka lainnya.
Nah, hasil Pemilu 2019 pun seakan membuka kotak Pandora partai politik-partai politik. Gejolak internal melanda seusai pesta demokrasi yang merupakan pemilu paling rumit di dunia ini. Betapa tidak?
Tokoh-tokoh gaek yang juga pendiri Partai Demokrat seperti Max Sopacua dan Ahmad Mubarok, yang menamakan diri Gerakan Moral Penyelamatan Partai Demokrat (GMPPD), mendesak Ketua Umum PD Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) sebelum 9 September 2019.
Pasalnya, mereka kecewa terhadap perolehan suara partainya di Pemilu 2019 yang menurun menjadi 7,7% dibandingkan dengan Pemilu 2014 yang sebesar 10,19%.
Baca: Dewan Pakar Pastikan Tidak Ada Munaslub Golkar
Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang tak lain putra SBY mereka sorongkan sebagai calon ketua umum penantang ayahnya sendiri.
Bila di PD ada tokoh-tokoh gaek, di Partai Golkar justru muncul tokoh-tokoh muda yang dimotori Abdul Aziz dan menamakan diri Barisan Pemuda Partai Golkar (BPPG), yang tujuannya juga sama, yakni mendesak Musyawarah Nasional (Munas) PG dipercepat.
Dalihnya pun sama, tak puas dengan perolehan suara partainya yang turun dari 14,7% pada Pemilu 2014 menjadi 11,8% pada Pemilu 2019, atau turun dari dua besar menjadi tiga besar.
Mereka menyodorkan Ketua DPR RI Bambang Soesatyo sebagai calon ketua umum penantang Airlangga Hartarto.
Meski riak-riaknya nyaris tak tampak di permukaan, namun PDI Perjuangan tiba-tiba mempercepat jadwal kongres dari yang semestinya Januari 2020 menjadi 8-10 Agustus 2019 atau sebelum pelantikan presiden-wakil presiden terpilih hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 pada 20 Oktober 2019.
Padahal, suara PDIP naik dari 18,95% pada Pemilu 2014 menjadi 19,59% pada Pemilu 2019. Kongres V PDIP di Bali ini akan memilih ketua umum yang bisa saja tetap Megawati Soekarnoputri atau bisa pula orang lain.
Sontak, desakan KLB PD pun menuai resistensi. Wakil Sekretaris Jenderal PD Andi Arief menuding Max Sopacua dkk mengupayakan agar calon wakil presiden nomor urut 02 Pilpres 2019, Sandiaga Salahuddin Uno, dan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, menjadi Ketua Umum PD.
Andi bahkan menuduh Max Sopacua dkk sebagai makelar politik.
Baca: Demokrat Peringatkan Kadernya untuk Tidak Bicara KLB
Alhasil, penyorongan nama AHY ditengarai hanya kamuflase belaka sebagai “stimulus politik” agar SBY mau menggelar KLB yang bisa membuka kotak Pandora partai berlambang bintang mercy ini.
Sementara itu, Abdul Aziz menilai kegagalan yang dialami PG saat ini adalah akibat ketidakmampuan Ketua Umum Airlangga Hartarto mengembalikan kejayaan PG dengan warisan elektabilitas yang tinggi sekitar 16% di masa kepemimpinan Setya Novanto.
Namun, desakan Abdul Aziz menuai reaksi keras terutama dari ormas yang mendirikan dan didirikan PG.
Ketua Umum Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) Ali Wongso Sinaga justru mendorong Airlangga kembali menjabat di periode berikutnya, 2019-2024.
Menurutnya, Airlangga yang saat ini menjabat Menteri Perindustrian sangat cocok dengan visi dan misi PG. Airlangga juga dinilai telah teruji dan memiliki chemistry (kesenyawaan) politik dengan Presiden Joko Widodo.
Sekretaris Jenderal Kosgoro 1957 Sabil Rachman juga berpendapat senada. Sabil justru menilai Airlangga yang terpilih dalam Munaslub 15 bulan lalu menggantikan Setya Novanto telah berhasil dalam dua peristiwa politik penting, yakni Pilpres 2019 yang berhasil memenangkan Jokowi, dan Pemilu 2019 yang menempatkan PG dengan raihan kursi terbanyak kedua di DPR RI setelah PDIP.
Sekjen Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR) Adies Kadir juga setali tiga uang. MKGR justru mengapresiasi kinerja Airlangga yang mampu mempertahankan capaian suara PG.
Padahal, partai berlambang pohon beringin ini sempat diterpa badai hebat saat Setya Novanto terbelit korupsi.
Siapa pun ketua umum PD yang akan datang, tantangan terberatnya adalah melepaskan PD dari stigma partai keluarga. Apalagi bila benar nanti AHY menjadi ketua umum sebagaimana diduga diproyeksikan SBY. PD bukan parpol ideologis.
Namun, dengan kepemimpinan SBY yang powerfull, diyakini desakan KLB itu lambat laun akan menyublim.
Apalagi Wakil Ketua Dewan Kehormatan PD Amir Syamsuddin sudah melayangkan surat peringatan ke seluruh kader agar tidak “mbalela”.
Sementara PG sudah berpengalaman mengelola konflik internalnya. Desakan Munas dipercepat pun diyakini hanya riak-riak kecil belaka.
Apalagi Airlangga pro-pemerintah. Sebagai parpol yang mengusung ideologi kekaryaan, PG selalu menempel pemerintah.
Siapa pun presidennya, Golkar akan tetap ada di kabinet. Bila ketua umumnya tak pro-pemerintah, maka akan “disingkirkan”.
Adapun PDIP, sebagai parpol ideologis dengan kepeimpinan Megawati yang kharismatis, diyakini masih sangat bergantung pada putri Bung Karno itu dalam suksesi kepemimpinannya.
Bila Megawati mau maju lagi dalam Kongres V di Bali, niscaya akan terpilih secara aklamasi. Begitu pun sebaliknya bila ia menunjuk sosok lain.
Alhasil, gejolak parpol-parpol seusai pesta demokrasi Pemilu 2019 tak akan berlangsung lama atau hangat-hangat tahi ayam.
Karyudi Sutajah Putra: Analis politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.