Oleh: Petrus Selestinus
Koordinator TPDI dan Advokat Peradi
TRIBUNNEWS.COM - KPK seharusnya menolak permintaan Jaksa Agung M. Prasetyo untuk menangani sendiri, kasus dugaan suap 2 oknum Jaksa yang di OTT oleh KPK tanggal 28 Juni 2019 di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Alasannya karena permintaan Jaksa Agung dimaksud beraroma "nepotisme" dan patut diduga bertujuan untuk melindungi kroni-kroninya dan korps Kejaksaan sebagai lembaga Penegak Hukum yang gagal mengemban misi Pemberantasan Korupsi.
Masyarakat pencari keadilan sering dijadikan ATM oleh oknum-oknum Jaksa ketika berurusan dengan Kejaksaan, termasuk dalam soal pra-penuntutan dan rentut.
OTT KPK tidak semata-mata bertujuan hendak menindak pelakuhya, akan tetapi OTT KPK juga merupakan sebuah sistim penindakan yang bertujuan untuk memberantas pola korupsi yang sistemik yang berlangsung suda lama melalui observasi, penyadapan dan lain-lain.
Baca: Pengamat: Saling Nyinyir Pendukung Masih Terjadi, Tiba-tiba Elite Bermain Mata dengan Penguasa
Karena yang hendak ditindak bukan hanya pelakunya melainkan sistem yang korup pada Instansi dimana pelakunya berasal.
Dengan demikian OTT KPK sudah masuk dalam sebuah rangkaian sistim penindakan melalaui fase penyelidikan dan penyidikan yang tidak boleh dipindahtangankan kepada Penegak Hukum lain di luar KPK.
Yang mengherankan adalah, mengapa Jaksa Agung M. Prasetyo hanya meiminta 2 oknum Jaksa yang di OTT untuk ditangani sendiri oleh Jaksa Agung, sementara pelaku lainnya termasuk Aspidum Kejati DKI Jakarta, Sdr. Agus Winoto, SH. tetap ditangani oleh KPK.
Permintaan Jaksa Agung M. Prasetyo inilah yang tidak masuk akal bahkan merupakan bentuk lain dari uapaya menghambat penyidikan secara tidak langsung terhadap perkara OTT yang tengah dilakukan oleh KPK.
Ini juga menjadi bukti bahwa Jaksa Agung M. Prasetyo telah gagal selama 5 (lima) tahun tidak mampu membangun sistem pemberantasan korupsi di internal Kejaksaan.
Padahal sisa waktu kerja Kabinet Kerja Presiden Jokowi, tinggal beberapa bulan lagi berakhir, dan dengan sendirinya berakhir pula masa bhakti M.
Prasetyo sebagai Jaksa Agung. Pertanyaannya adalah apakah ada "prestasi dan legacy" yang dihasilkan oleh Jaksa Agung H.M. Prasetyo untuk diwariskan kepada generasi Jaksa-Jaksa berikutnya, sebagai bagian dari kaderisasi, jawabannya tidak ada.
Yang terjadi malah banyak kasus besar menguap di Kejaksaan Agung tanpa ada penuntasan bahkan ada yang berakhir dengan SP3 sementara perilaku Jaksa nakal yang melacurkan profesinya demi uang, masih saja terjadi.
Selama 5 tahun kepemimpinan M. Prasetyo, sumbangsih Kejaksaan Agung dalam pemberantasan korupsi dan penindakan terhadap Jaksa-Jaksa nakal sagat kecil.
Padahal informasi dari masyarakat tentang oknum Jaksa yang mendagangkan pengaruh, meminta uang atau memeras para pencari keadilan masih saja terus berlangsung, namun penindakan terhadap oknum-oknum Jaksa yang nakal nyaris tak terdengar.
Praktek perlindungan korps secara berlebihan, membuat Kejaksaan sangat minim prestasi dan tidak memberi kontribusi signifikan dalam Penegakan Hukum.