News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Novel Baswedan dan Sisifus

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

DUA TAHUN NOVEL BASWEDAN - Massa aksi dari Aliansi Masyarakat Anti Korupsi mengenakan topeng Novel Baswedan dalam aksi peringatan dua tahun kasus Novel Baswedan di Jalan Tugu, Kota Malang, Kamis (11/4/2019). Massa aksi menuntut Presiden RI mengevaluasi kinerja kepolisian dalam kasus penyidikan dugaan pembunuhan terhadap Novel Baswedan dan mengutuk segala bentuk teror terhadap penjuang anti korupsi. SURYA/HAYU YUDHA PRABOWO

Novel Baswedan dan Sisifus

Oleh: Karyudi Sutajah Putra

TRIBUNNEWS.COM - Menyimak perjalanan kasus teror yang menimpa penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan, kita ibarat membaca Sisifus dalam kisah “Le Mythe de Sisyphe” (Mitos Sisifus) yang ditulis Albert Camus (1913-1960), sastrawan eksistensialis asal Perancis, tahun 1942.

Sisifus adalah tokoh dalam mitologi Yunani yang dikutuk para dewa untuk selama-lamanya mengulangi pekerjaan sia-sia, yakni mendorong batu ke puncak gunung.

Namun ketika hendak mencapai puncak, batu itu menggelinding jatuh kembali. Sisifus pun harus mengulangi pekerjaan mendorong batu itu ke puncak, lalu jatuh lagi, lalu dorong lagi, lalu jatuh lagi, demikian seterusnya.

Mengapa Sisifus dikutuk? Karena ia dituduh mencuri rahasia para dewa.

Novel mensinyalir ada jenderal yang terlibat dalam kasus teror yang menimpa dirinya.

Akibat teror itu, mata kiri Novel rusak hingga 95% dan harus menjalani operasi berkali-kali di Singapura. 

Apakah Novel yang diserang pada 11 April 2017 dianggap mencuri rahasia para “dewa”? Bisa jadi, bila kita cermati hasil investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dipublikasikan, Rabu (17/8/2019), setelah dilaporkan ke Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Selasa (9/7/2019).

Alih-alih menemukan siapa pelaku dan dalang atau aktor intelektual teror, hasil investigasi TGPF justru terkesan menyudutkan Novel.

TGPF dibentuk Kapolri Jenderal Tito Karnavian dengan Surat Keputusan No Sgas/3/I/HUK.6.6/2019 tertanggal 8 Januari 2019, atas rekomendasi Komnas HAM.

Tim beranggotakan 65 orang dari berbagai unsur, di antaranya praktisi yang menjadi tim pakar, internal KPK, dan kepolisian yang mendominasi anggota tim, ini memiliki masa tugas selama enam bulan dan berakhir pada 7 Juli 2019.

Tentang siapa pelaku penyiraman air keras ke wajah Novel, TGPF yang mendapatkan bantuan dari Australia Federal Police ini hanya menemukan keanehan sebelum Novel diserang, yakni pada 5 April 2017 di mana ada satu orang tak dikenal mendatangi rumah Novel di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, dan pada 10 April 2017 di mana ada dua orang tak dikenal yang berbeda waktu, yang diduga berhubungan dengan peristiwa penyerangan Novel.  

Soal motif, anggota TGPF Hendardi menyatakan, penyerangan yang menimpa Novel diduga akibat penggunaan kekuasaan yang berlebihan atau excessive use of power oleh Novel saat menjalankan tugas. Hal itu, katanya, diduga memicu pihak yang sakit hati untuk menyerang Novel.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini