Oleh: Prof. Dr. Yonny Koesmaryono, MS.
TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah menegaskan akan melakukan pengembangan sumberdaya insani (SDI) sebagai prioritas pembangunan dalam lima tahun ke depan.
Pendidikan tinggi salah satu pilar utamanya, karena memiliki peran sentral dalam hal pendidikan, riset, dan transfer teknologi ke masyarakat, serta menghasilkan inovasi yang bisa meningkatkan daya saing dan kesejahteraan masyarakat.
Bahkan bisa dikatakan, bahwa kunci kemajuan suatu negara dapat dilihat dari inovasi-inovasi yang diciptakan anak bangsanya.
Dalam konteks ini, biasanya negara-negara dengan karya inovasi yang tinggi, selalu memiliki perguruan tinggi berkualitas dengan hasil-hasil riset yang aplikatif dan futuristik.
Sebagai Negara dengan jumlah penduduk ke-4 didunia, ternyata Indonesia baru memiliki angka partisipasi kasar (APK) masyarakat masuk ke Perguruan Tinggi sebesar 31,1 % dari penduduk rentang usia 19-23 tahun, lebih rendah dibandingkan negara lain di Asia seperti Malaysia yang mencapai 38 %, Thailand, 54 %, Singapura 78 %, dan Korea Selatan 98,2 %.
Padahal Indonesia dengan bonus demografinya, memiliki generasi muda usia produktif yang pastinya haus akan pendidikan tinggi.
Globalisasi memang mendorong generasi muda Indonesia berkeinginan berkiprah di kancah global.
Pendidikan adalah salah satu modal yang terpenting, yang tentunya harus didukung oleh perguruan tinggi berkualitas dan memenuhi standar secara global.
Berdasarkan data Kemenristekdikti tahun 2019, Indonesia memiliki sekitar 4686 perguruan tinggi, dimana 90 % lebih merupakan perguruan tinggi berbasis akademik (universitas, institut, sekolah tinggi), sementara kurang dari 10 persen perguruan tinggi vokasi (politeknik atauakademi).
Sayangnya hanya sedikit yang mampu berkiprah dilevel internasional, baik secara karya, inovasi, dan lulusanya.
Mengapa itu terjadi? Permasalahannyamasih didominasi oleh permasalahan klasik, seperti infrastruktur pendidikan yang belum lengkap, serta jumlah dosen yang berkualitas.
Oleh karena itu, untuk dapat bersaing di kancah global, perguruan tinggi di Indonesia perlu memiliki rencana strategis yang mengarah pada upaya revitalisasi untuk menjadi agent of culture, knowledge, dan technology transfer serta agent of digital economicdevelopment.
Hal ini perlu dilakukan, demi menjawab tantangan Revolusi Industry 4.0 yang berbasis cyber-physical systems dan jaringan terintegrasi (internet of things) serta sistem cerdas (artificial inteligent). Perguruan tinggi harus cepat mengidentifikasi kompetensi yang dibutuhkan di era Revolusi Industry 4.0 ini.
Jadi, Selain memiliki kompetensi keilmuannya,lulusannya juga harus memiliki keterampilan non teknis, seperti problem solving, soft skills, systemthinking, business thinking, dan technological thinking yang menjadi kebutuhan utama saat ini.
Perguruan tinggi jugaharus memiliki strong leadership , sehingga mampu memahami perkembangan pendidikan tinggi di tingkat global dengan berbagai tantangannya, serta memahami karakter dan kebijakan pendidikan nasional. Termasuk variasi kualitas mahasiswa dari seluruh wilayah Indonesia.
Menjawab tantangan tersebut, perguruan tinggi harus mampu mengembangkan fakultas dan program studi kekinian seiring kebutuhan Revolusi Industry 4.0, melengkapi insfrastruktur pendidikan secara masif, meningkatkan kualitas atmosfer akademik, serta mengembangkan kurikukulum dan metode pengajaran baru yang inovatif dan personalized learning.
Perguruan tinggi harus terus merespon semua dinamika tersebut melalui berbagai upaya reformasi pendidikan tinggi. Salah satunya dapat diawali dengan upaya “rebooting the mindset of university managements and lecturers”.
Perguruan tinggi tidak sekedar menyediakan lulusan bagi dunia kerja tetapi juga berada di garis depan dalam memecahkan masalah bagi industri dan masyarakat di masa depan, sekaligus menjadi inisiator dan innovator bagi revolusi industri selanjutnya .
Oleh karena itu perguruan tinggi harus dapat mempersiapkan mahasiswa untuk pekerjaan yang mungkin belum ada, menggunakan teknologi yang belum ditemukan, dalam upaya menyelesaikan masalah yang kita bahkan belum tahu masalahnya.
Perguruan tinggi di Indonesia, pada kenyataannya masih dituntut sebagai institusi pendidikan yang harus menjaga kekhasan budaya ilmu pengetahuan Indonesia dan memiliki wawasan kebangsaan serta nasionalisme yang kokoh, sehingga perlu dipimpin oleh warga negara Indonesia.
Secara umum syarat menjadi pemimpin perguruan tinggi tentu memiliki pengetahuan manajerial pendidikan tinggi dan memiliki visi serta misi yang jelas bagaimana perguruan tinggi tersebut dapat menghasilkan lulusan terbaik untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja, menghasilkan lulusan yang dapat menciptakan pekerjaan baru serta menghasilkan inovasi yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia.
Oleh karena itu seluruh perguruan tinggi besar di Indonesia di pimpin oleh Rektor yang dipilih oleh civitas akademika internal perguruan tinggi.
Hal ini karena memang dasar hukum atau statuta perguruan tinggi dalam syarat pemilihan Rektor mengacu kepada keyakinan bahwa disetiap perguruan tinggi terdapat dosen atau tenaga pendidik terbaik dengan kemampuan manajerial untuk menjadi nakhoda perguruan tinggi.
Pertimbangan teknis jika ada civitas akademika internal atau dalam negeri yang mampu mengapa harus memperkerjakan tenaga kerja asing yang perlu bayaran jauh lebih mahal dengan potensi ketidakpahaman atas berbagai permasalahah internal perguruan tinggi di Indonesia.
Oleh karena itu, jika kebijakan mendorong peluang masuknya tenaga asing sebagai pimpinan perguruan tinggi, maka selain syarat memiliki pengalaman dan tracks record yang baik, juga harus ditunjang kemampuan untuk memahami dan memecahkan berbagai permasalahan teknis yang berasal dari internal perguruan tinggi.
Siapapun yang memimpin perguruan tinggi harus dapat memahami budaya iptek dan budaya lokal Indonesia, mampu membangun infrastruktur akademik yang kondusif untuk proses pembelajaran, dan penelitian sehingga menghasilkan inovasi yang bermanfaat bagimasyarakat.
Perangkingan perguruan tinggi yang menunjukkan posisi kualitas dan daya saing. Harusnya dianggap hanyalah resultante dari semua pengelolaan sumberdaya perguruan tinggi.
Dengan demikian, perangkingan mestinya bukan dijadikan tujuan utama, tetapi sebagai konsekuensi logis dari baiknya tata kelola perguruan tinggi atau sebagai outcome dari suasana atmosfer akademik yang kondusif dan kredibel.
Jadi, sudah perlukah Indonesia Rektor impor?
Mari kita merenung sejenak.
* Penulis: Guru Besar Institut Pertanian (IPB) Bogor.