Penulis: Reza Indragiri Amriel
Ahli Psikologi Forensik dan Dosen
SEJAK masih seumur jagung, Indonesia Merdeka ternyata sudah punya riwayat pelanggaran perlindungan anak.
Tidak puas terhadap para petinggi yang terlalu selow, anak-anak muda memutuskan ambil jalan keras.
Mereka bergabung dalam Boei Teisintai.
Barisan berani mati yang terinspirasi oleh Jibakutai itu utamanya terdiri dari keigun heiho dan para pelajar SMP.
Bacalah Pelajar Pejuang (Asmadi, 1985).
Melawan Sekutu di Soerabaja, para pelajar dan rakyat luas bertempur dengan membawa bahan peledak.
Dengan menjadi bom hidup, para pelajar yang berusia masih sangat belia itu lantas menabrakkan diri mereka ke kendaraan-kendaraan pasukan sekutu hingga rusak tak bisa difungsikan lagi.
Baca: 7 Kuliner Khas yang Wajib Kamu Coba saat Liburan ke Selandia Baru
Baca: 7 Menu Sarapan Enak di Jakarta, Pecel Ramidjan Cocok bagi Penggemar Pedas
Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan ke level paling ekstrem pemandangan tentang "penyalahgunaan dalam kegiatan politik", "pelibatan dalam sengketa bersenjata, "pelibatan dalam kerusuhan sosial, "pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan", dan "pelibatan dalam peperangan".
UU Perlindungan Anak telah dilabrak hingga tak bersisa!
Begitu simpulan absurd ketika situasi tempo doeloe dilihat dengan teropong hari ini.
Dalam konteks itu, kini ada dua tugas kita.
Pertama, memastikan bumi dan alam berpikir anak-anak kita tetap merdeka.
Merdeka dari neokolonialisme dan neoimperialisme, sebagai prasyarat untuk menjadi anak-anak yang sehat, cerdas, berakhlak mulia.
Kedua, memerdekakan anak-anak kita dari segala bentuk penyelewengan pasal 15 UU 35/2014.