Dalam Kabinet Indonesia Maju, kita lihat, urusan pendidikan tinggi akhirnya dimasukkan kembali ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Baca: Gaya Berpakaian Nadiem Makarim Saat Tiba di Bandara Diperbincangkan : Bukan Gaya Pejabat
Kebijakan asal beda yang miskin kajian semacam itu sebaiknya tidak terjadi lagi di masa kini. Pendidikan kita butuh konsep dan pemikiran yang matang, bukan eksperimen-eksperimen spekulatif.
Kita berharap, penunjukkan Saudara Nadiem sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bukanlah bagian dari prinsip coba-coba asal beda atau ganti menteri ganti kebijakan.
Saya pribadi, meski masih bertanya-tanya, sangat berharap Menteri Nadiem bisa segera memahami masalah yang dihadapi kementeriannya. Apalagi, ia mengaku akan mendengarkan terlebih dahulu para ahli pendidikan dan juga bawahan di kementeriannya sebelum mengambil kebijakan strategis di bidang pendidikan.
Pernyataan itu saya kira patut diapresiasi. Sebagai wakil generasi milenial, kita mungkin perlu memberinya kesempatan.
Baca: Outfit Mas Mendikbud Nadiem Makarim Jadi Sorotan, Pakai Ransel, Lengan Kemeja Digulung
Saya kira, ada dua tantangan besar yang harus segera dipikirkan oleh Menteri Nadiem. Pertama, adalah soal konsep arah pendidikan nasional. Dan kedua, soal birokrasi. Terkait dengan konsep arah pendidikan nasional, kita sekarang memang hidup di tengah perubahan yang berlangsung cepat.
Di tengah situasi tersebut, kita dituntut lebih adaptif dan dinamis, begitu juga dengan kebijakan pendidikan kita, kurikulum, dan perangkat pendidikan lainnya. Semuanya harus bersifat adaptif dan dinamis.
Selama ini, dunia pendidikan kita jauh dari adaptif dan dinamis. Lihat saja jurusan-jurusan dan kurikulum pendidikan kita. Nomenklaturnya tidak pernah berubah. Di perguruan tinggi, misalnya, 90 persen Satuan Kredit Semester (SKS) isinya adalah mata-mata kuliah wajib yang materinya mungkin tak banyak berubah dengan materi dua atau tiga puluh tahun lalu.
Baca: Mendikbud Nadiem Makarim Mengunjungi SDN Gentong Pasuruan yang Atap Bangunanya Ambruk
Jumlah mata kuliah pilihan sangat sedikit sekali. Padahal, pada mata kuliah-mata kuliah pilihan ini kita punya kesempatan besar untuk mengadaptasi perkembangan serta perubahan baru yang terjadi di sekitar kita.
Pada pendidikan dasar dan menengah, saya menilai jumlah mata pelajaran di sekolah kita terlalu banyak, sehingga akhirnya tidak terjadi pendalaman materi, baik di kalangan siswa maupun guru. Semuanya jadi terjebak pada jam pelajaran panjang.
Kalau kita belakangan mengeluhkan minimnya pendidikan karakter, menurut saya itu terjadi karena waktu anak-anak kita banyak tersita di sekolah. Sebab, pendidikan karakter itu adanya di lingkungan keluarga dan lingkungan sosial, bukan di buku pelajaran.
Baca: Jokowi Anggarkan Pendidikan 2020 Capai Rp 508 T, Fadli Zon Ingatkan Nadiem Makarim
Kalau anak-anak waktunya habis di sekolah, kapan mereka bisa menyerap nilai-nilai pendidikan lain yang hanya bisa disampaikan lewat institusi keluarga atau institusi sosial lainnya?
Kita butuh konsep yang matang terkait arah pendidikan nasional ini. Tapi, konsep yang baik dan hebat saja tidak cukup, jika tidak didukung oleh infrastruktur birokrasi yang kompatibel. Dua-duanya sama-sama harus diperhatikan oleh Menteri Nadiem.
Namun, jika harus memilih, saya sendiri cenderung lebih memprioritaskan reformasi birokrasi daripada mengejar konsep yang canggih-canggih. Sebab, sehebat apapun menterinya, jika birokrasi di bawahnya memble, pendidikan kita tak akan banyak bergeser.
Sebaliknya, jika birokrasinya efisien, efektif dan adaptif, maka seburuk apapun menterinya, pendidikan kita akan tetap berlayar ke arah yang benar.
Baca: Gaya Berpakaian Nadiem Makarim Saat Tiba di Bandara Diperbincangkan : Bukan Gaya Pejabat
Sekali lagi, saya ingin mengingatkan Pemerintah, khususnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, bahwa pendidikan bukanlah tempat berjudi dan berspekulasi.