Prihal Penolakan Rencana Tablig di Masjid Jogokariyan
Oleh KH. Imam Jazuli. Lc., MA
Tak dipungkiri, banyak prestasi yang sudah ditorehkan oleh Masjid Jogokariyan. Selain terkenal dengan Kampung Ramadhannya, sebagai solusi ekonomi masyarakat yang ada di sekitar, agar keberedaan masjid dan pasar bisa bersinergi.
Masjid ini juga terkenal dengan keberadaan Islamic Center-nya, dengan kegiatan pelayanan jamaah. Ada 28 divisi yang bekerja.
Di antaranya biro klinik, biro kaut, dan komite aksi untuk umat. Karena itu, tak mengherakankan jika Masjid ini pernah meraih penghargaan dari gerakan indonesia beradab (GIB) mewakili institusi sosial dengan pengaruh kepemimpinan dan kaderisasi sosial.
Terlepas dari banyaknya prestasi itu, ingatan publik belum sepenuhnya lupa, terkait kontroversi ditolaknya acara bertajuk Muslim United Kedua di Masjid Gedhe Kauman, Oktober lalu.
Surat bernomor 0336/KH.PP/Suro.IX/WAWU.1953.2019 yang ditandatangani oleh Penghageng Kawedanan Hageng Panitraputra GKR Condrokirono ini berisi tegas penolakan permohonan Kagungan Dalem Masjid Gedhe Karaton atau Masjid Gede Kauman dan Alun-alun Utara untuk acara Muslim United. Kemudian sejumlah Ta'mir Masjid Jogokariyan turut membela.
Diantara isi pembelaannya itu adalah, "Masjid milik Allah, sudah sewajarnya digunakan untuk kepentingan umat Islam."
Selain itu, pihak takmir masjid Jogokariyan menilai, acara bertajuk Muslim United merupakan acara tablig/pengajian biasa dan tak seharusnya mendapatkan penolakan darimanapun.
Buntut dari penolakan ini, sebagaimana kita mafhum, acara Muslim United kemudian dipindahkan ke Masjid Jogokariyan.
Perpindahan tempat acara yang digelar Forum Ukhuwah Islamiyyah (FUI) Yogyakarta ini disambut gembira oleh pengurus Masjid Jogokariyan dan para jamaahnya.
Karena alasan itulah, rasanya ada yang ganjil dan sulit dipercaya saat sahabat saya, DR. KH. Aguk Irawan MN, Lc., memposting cuitan di FB, bahwa dirinya tertolak dari rencana mengisi tablig akbar yang diselenggarakan di Masjid yang banyak prestasi itu.
"Katanya masjid itu milik Allah, ternyata untuk orang kecil seperti saya, mereka menolak. Apa saya terindikasi liberal ya?,” tulis Ustad Aguk yang tersebar di berbagai media sosial (20/11/2019).
Status cuitan di facebook Ustad Aguk ini menanggapi sebuah pesan dari panitia tabligh akbar 2019 yang menegaskan:
“Assalamu’alaikum Wr Wb. setelah proses yang cukup alot utk bisa meyakinkan masjid Jogokaryan ternyata kami gagal dan dengan ini kami panitia mohon maaf utk Pak Kiai Aguk Irawan tidak jadi (batal) sebagai salah satu pembicara di acara tabligh akbar 2019 (kami sangat kecewa atas hal ini), semoga di lain waktu dan di lain tempat kita bisa bekerjasama. Terima kasih.”
Tidak ada keterangan lebih sebab apa dan kenapa Ustad/Kiai Aguk ditolak di Masjid itu.
Menurut keterangan Ustad Aguk, ketika ia dimohon panitia untuk mengisi acara di Masjid itu, sebagai santri, terlebih dulu ia harus sowan sesepuh NU untuk memohon pertimbangan.
Begitu ia memutuskan bersedia sebulan yang lalu, dengan pertimbangan pentingnya ukhuwah lintas kelompok umat islam.
Juga, mengingat secara historis, dahulu tahun 1970-an dan 1980-an para Ustad dan Kiai NU sudah terbiasa mengisi pengajian di Masjid itu, diantaranya adalah KH. Malik Madani, KH. Henry Sutopo, KH. Muhadi Zainuddin, KH. Adnan Asyhari, Ustad Saifuddin Zuhri, Ustad Muhamamd Ikhsan dan lain sebagainya, maka sudah selayaknya kader NU perlu merajut kembali tali silaturahmi dengan siapapun, termasuk Ta'mir Masjid Jogokariyan yang belakangan ini terkesan beda jalur perjuangan dengan NU.
Sementara menurut Ta'mir Masjid Jogokariyan, dalam hal ini diwakili Ustad Syubban Rizal N melalui klarifikasinya di berbagai media sosial (21/11/201).
Tertolaknya Ustad Aguk, karena dalam rencana satu forum panitia menjadwalkan, diantaranya dengan Ustad Sukino sebagai narasumber. Ta'mir merasa keberatan jika latar belakang Aguk yang NU bersanding dengan tokoh, bahkan pendiri MTA (Majelis Tafsir al-Qur'an).
Dikhawatirkan masing-masing membawa jamaah dan bisa "mengusik" ukhuwah Islamiah. Upaya antisipasi dan pencegahan pada hal-hal yang berpotensi memecah belah-umat memang patut diapresiasi, tetapi mempertemukan orang yang beda paham (aliran) dalam satu forum untuk dialog (jika memang demikian), saya kira ini langkah maju untuk solusi persaudaraan dan peradaban.
Dari statemen Ustad Syubban Rizal ini bisa ditarik kesimpulan, bahwa salah satu alasan kuat kenapa Ustad Aguk tertolak, tidak lain karena latar belakangnya sebagai aktifis NU.
Memang tidak dipungkuri, Ustad Aguk adalah NU tulen, dia memulai sebagai pengurus NU ketika masih remaja, dan aktif di IPNU/IPPNU anak ranting di kampungnya.
Kelak ketika hijrah ke Cairo-Mesir (1997/1998), ia tercatat sebagai ketua bidang organisasi PCINU Cairo. Kemudian sepulangnya ke tanah air (2002), ia juga menjadi pengurus struktural NU, mulai di PP-LKKNU Pusat, Lesbumi PWNU DIY, hingga di LT-PBNU.
Selain itu, Ustad Aguk juga tidak hanya 'berkiprah' di struktrual NU, tetapi juga banyak terlibat di kultural, terutama di LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) pada awal tahun 2000-an.
Tercatat, ia pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Ikhtilaf LKiS dan Pemimpin Redaksi Jurnal Kebudayaan Kinanah, yang awak redaksinya terdiri antara aktifis NU Mesir dan aktifis NU Yogyakkarta (IAIN Sunan Kalijaga).
Dari pergaulan di LKiS inilah, saat itu dia sangat produktif menulis di sejumlah media masa. Selain artikel islam-progresif, tentu saja sastra.
Namun, boleh jadi sebagian Ta'mir Masjid Jogokariyan "meragukan" kapasitas Ustad Aguk sebagai pendakwah, mengingat tajuk acara itu adalah Tablig Akbar 2019.
Sementara nama Ustad Aguk barangkali belum pernah mereka dengar sebagai pengisi tablig atau mubaligh (penceramah), sebagaimana penceramah kondang yang sering mereka hadirkan, diantaranya Ustad Sugi Nur (Gus Nur), tak terkecuali juga Ustad Abdul shomad, karib Ustad Aguk itu sendiri.
Bahkan disuatu pengajiannya, Ustad Kondang ini pernah mengapresasi ustad Aguk, katanya; "dia hebat, penanya tajam, cerita suka duka Haji dari Embarkasi Terusan Suez itu dia rekam dalam memorinya, dia tumpahkan dalam untaian kalimat membuat pembaca terombang ambing dalam Wadi Nile dan Assalam di pelukan Laut Merah. Allah memberkahimu Tuan Aguk Irawan." Komenter ini lau diliput oleh TribunPekanbaru, Sabtu (25/08/2018).
Selain sebagai penerjemah dan penulis yang produktif, Ustad Aguk juga mendirikan Pesantren Kreatif Baitul Kilmah dan mengasuhnya. Beberapa nama penerjemah dan penulis produktif lahir dari pesantren sederhana ini, diantaranya Imam Nawawi, Muhammad Muhibuddin, A. Zainuddin, Wildan Nurrohmadlon, Moh. Irfan, Ahmad Rozi, John Afifi, Ja’far Musadad, Ali Adhim, Fuad Bawazir, Ahmad Sobirin, Abdul Aziz dan lain sebagainya. Ada ratusan judul buku yang sudah ditulis atau diterjemahkan oleh anak didiknya, kemudian terbit dan dibaca masyarakat. Selain mereka menulis atau menerjemah secara individu, ada juga karya santri berjamaah.
Beberapa karya terjemahan berjilid karya pesantren ini yang perlu disebut diantaranya adalah, Kitab Karamatul Auliya’ karya Syaikh Yusuf bin Ismail Nabhani, 4 jilid. Kitab Tafsir al-Jilani, karya Syaikh Abdul al-Qadir Jaelani, 5 jilid. Kitab Hadits Shahih al-Lu’lu’ wa al-Marjan, karya Muhammad Fuad Abdul Baqi, 4 jilid. Sementara untuk buku diantaranya; Ensiklopedia Pengetahuan al-Qur’an dan al-Hadist (Asbabul Nuzul dan Asbabul Wurud), 7 Jilid. Ensiklopedia Pengetahuan Sains Islami, 9 jilid dan Ensiklopedia Ulama Nusantara, 9 jilid. Buku-buku ini biasanya menjadi koleksi Masjid-Masjid, Mushalla dan perpustakaan.
Semua buku tersebut bisa didapatkan melalaui distributor buku Kamil Pustaka, Jakarta. Yang menarik, hasil dari penjualan karya mereka dikelola bersama untuk pembangunan dan pengembangan pesantren Baitul Kilmah di Pajangan Bantul.
Karena itu tak berlebihan, media menyebut Ustad Aguk sebagai pejuang literasi dari Pesantren. Biografi, ratusan karya dan prestasinya terekam oleh wikipedia. Tetapi masjid Jogokariyan yang punya banyak prestasi itu telah menolaknya. (wallahu'lam bishawab).
*Penulis adalah alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 2010-2015.