Perang Iran-Amerika Sudah Dimulai, Ini Peran yang Harus Dimainkan Indonesia
Oleh KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*
Peperangan Iran-Amerika paska terbunuhnya Jenderal Qassem Soleimeni tidak bisa dihindari, selama jumlah negara "elite" di level internasional lebih banyak yang pro Amerika. Karenanya, sembari perang dimulai dengan melayangkan serangan ke Al-Assad, suatu pangkalan militer Amerika di Irak (Rabu, 8/1/2020), Presiden Hassan Rouhani menyarankan Indonesia untuk meredakan ketegangan di Timur Tengah melalui mekanisme Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Mekanisme PBB menjadi penting karena perang terbuka Iran-Amerika kali ini bagaikan puncak gunung es. Atau, ibarat permainan catur, inilah langkah awal dari sebuah sistem yang sudah dipersiapkan dari segala aspek dan kemungkinannya. Di balik Iran dan Amerika itu sudah banyak negara lain yang menunggu waktu kapan mereka harus juga mengaktifkan missil masing-masing.
Kemarin hari, Presiden Rusia Vladimir Putin berkunjung ke Presiden Suriah Bassar al-Assad. Tentu saja selain urusan dalam negeri masing-masing, mereka pun membahas persoalan perang Iran-Amerika. Kita tahu, sejak Suriah diobok-obok oleh ISIS dan milisi boneka-boneka Amerika, Suriah (Bassar Assad) sudah mendapatkan dukungan Rusia dan Iran, sampai kemudian segala jejak pengaruh hengkang dari Suriah.
Pada hari yang sama, delegasi-delegasi Inggris, Prancis dan Jerman bertemu di Brussel. Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas mengatakan bahwa European Three (E-3), negara-negara elite Eropa, setelah melakukan musyawarah bersama menyatakan menentang keputusan Iran untuk membatalkan perjanjian nuklir yang disepakati tahun 2015.
Sepintas lalu suara itu datang dari sudut pandang yang netral, karena tidak menjurus langsung pada topik pembunuhan Jenderal Soleimeni. Tetapi, negara E3 tidak menimbang apa arti perang dan makna keseimbangan senjata bagi dua negara yang sedang bertikai. Keluar dari kesepakatan nuklir bagi Iran bermakna untuk jaga diri siapa tahu Amerika menggunakannya.
Penolakan negara-negara E3 terhadap keluarnya Iran dari kesepakatan nuklir 2015 tidak bisa dipisahkan dari percakapan melalui telepon antara Presiden Amerika Donald Trump dan Kanselir Jerman Angela Merkel. Tidak tertutup kemungkinan Amerika berpesan agar isu nuklir ini diangkat sebagai sudut pandang negara Eropa dalam melihat perang di Timur Tengah ini. Keuntungan bagi Amerika jelas adalah pelemahan kekuatan Iran dan mengurangi dukungan internasional.
Sejatinya, perang Iran-Amerika yang sudah dimulai ini tidak akan begitu parah sebelum bulan Maret 2020 nanti, tepatnya pasca Pemilu Israel. Israel adalah musuh bebuyutan Iran, yang ditarget oleh Iran untuk dihapus dari peta. Amerika datang ke Israel menawarkan apa yang mereka sebut "Rencana Perdamaian Trump". Media Israel seperti Jerusalem Post balik bertanya: is Israel ready, siapkah Israel menerimanya? (JP, 8/1/2020/).
Tentu saja maksud dari frasa "rencana perdamaian Trump" harus dipahami dengan logika terbalik (mafhum mukhalafah) menjadi "rencana perang dari Trump". Dari situ kemudian bisa ditanyakan: siapkah Israel berkontribusi meramaikan perang terbuka dengan Iran?
Ketika Israel sebagai negara yang memiliki senjata nuklir sanggup bergabung dengan Amerika, maka suara negara E3 sudah pasti akan kehilangan tajinya. E3 otomatis harus turut serta mengecam Israel demi bisa menekan Iran. Jika tidak maka E3 akan terdengar bagaikan tong kosong yang nyaring bunyinya. Di sini, sudah tidak perlu membahas posisi Rusia, yang berada di balik Iran dan sewaktu-waktu datang untuk mengimbangi Amerika dan Eropa.
Ketika negara-negara Eropa, Rusia, Amerika dan Timur Tengah berperang menggunakan senjata militer, apa yang Indonesia miliki? Apakah nilai-nilai ideal dan moral bisa dibawa-bawa ke panggung PBB? Apakah akan laku dijual dan laris manis? Pertanyaan ini sebagai bekal bagi Indonesia ketika menghadapi pragmatisme politik yang jadi latar belakang konflik Iran-Amerika.
Seandainya nilai-nilai ideal dan moral yang diperjuangkan PBB itu jauh lebih bertaji dibanding pragmatisme perang, tentu saja Timur Tengah seperti Yaman, Suriah, Palestina dan lainnya tidak terjadi. Perang Iran-Amerika hari ini hanya perubahan pola saja dari proksi ke terbuka. Tetapi secara substansi, ini adalah kelanjutan dari sebelum-sebelumnya. Di mana keberhasilan PBB?
Seruan Presiden Iran Hassan Rouhani agar Indonesia bergerak secara objektif melalui mekanisme PBB harus diartikan sebagai upaya memperkenalkan nilai-nilai idealisme kemanusiaan harus dimenangkan di atas nilai-nilai pragmatis politik. Hal itu tidak akan pernah tercapai selama manusia berwajah munafik, misalnya memperkenalkan nilai-nilai demokrasi dan memperjuangkan hak asasi manusia, tetapi pada saat bersamaan demokrasi dan HAM dilecehkan melalui perang dengan segala alasan yang dibuat-buat. Kemunafikan semacam ini sering kali dipertontonkan oleh negara-negara super power secara telanjang kepada mata dunia internasional.
*Penulis adalah Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.