Ia mengungkapkan, kaum revivalis adalah mereka yang membenci hari ini, mereka bernostalgia pada masa lalu dan membutuhkan penyelamat yang bisa mengantarkan pada kejayaan pada masa lalu tersebut. Sayangnya mereka bernostalgia pada imajinasi, yang bahkan di masa lalunya bukan hanya tidak relevan, tetapi memang tidak ada.
Hendri melanjutkan, eskalasi post-truth yang terjadi pasca 2013/2014 membuat masyarakat dekat dengan misinformasi dan disinformasi. Ini berkontribusi cukup besar dalam kemunculan-kemunculan klaim kejayaan masa lalu itu, meski bukan variabel utama.
Ia menguraikan, imbas dari post truth itu ada hubungan dengan hoaks. Itu terlihat dari pendekatan yang dilakukan oleh pelaku-pelakunya (Keraton Djipang, Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire).
Pertama, melibatkan emosi masyarakat. Kedua, menggabungkan dengan gerakan populer. Bahkan salah satu kerajaan imajinatif ini menggunakan logo mirip Nazi dan bintang Daud, atau Sunda Empire yang menyomot nama NATO.
Tujuannya, tentu untuk menyamarkan mana yang fakta dan mana yang fiktif.
Hendri menegaskan, meski terkesan seperti dagelan, kemunculan orang-orang dengan klaim dan simbol kejayaan masa lalu, harus diwaspadai. Bisa saja hal-hal semacam ini akan ditunggangi kelompok tertentu yang ingin memecah belah Indonesia. Apalagi hoaks dan ujaran kebencian masih menjadi momok bagi bangsa kita.
“Justru ini glorifikasi karena kita kalah di masa sekarang. Tapi dampaknya bisa akan besar bila glorifikasi ini terus terjadi,” tukas Hendri Satrio.