News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

WNI Eks ISIS atau ISIS Eks WNI?

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

TM Mangunsong SH, Praktisi Hukum dan Ketua DPC Peradi Jakarta Pusat.

Oleh: TM Mangunsong SH

TRIBUNNEWS.COM - "What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet," kata William Shakespeare (1564-1616), pujangga terbesar Inggris, yang artinya kurang lebih,

“Apalah arti sebuah nama? Andaikata kita memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan beraroma wangi.”

Sepintas apa yang dikatakan Shakespeare di atas memang benar adanya. Tapi bila kita telisik lebih jauh, ungkapan Shakespeare itu tak sepenuhnya benar.

Para kombatan Islamic State in Iraq and Syria (ISIS), misalnya. Penyebutan bagi mereka sungguh sangat penting,karena akan menentukan nasib mereka.

Sebelum meninggalkan Tanah Air, mereka berstatus Warga Negara Indonesia (WNI).

Namun begitu sampai di Timur Tengah dan kemudian membakar paspor bahkan menjadi kombatan ISIS, status WNI mereka, sesuai Undang-Undang (UU) No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, dengan sendirinya gugur. Kini mereka stateless alias tak punya kewarganegaraan.

Presiden Joko Widodo telah memutuskan untuk tidak memulangkan para kombatan ISIS. Pemerintah lebih memilih untuk melindungi 260 juta WNI di Tanah Air dari potensi ancaman teror eks-ISIS.

Presiden Jokowi menyebut mereka sebagai ISIS eks-WNI sehingga menolak memulangkan mereka ke Tanah Air karena dianggap bukan WNI lagi.

Bila mereka masih WNI, alias WNI eks-ISIS, maka menjadi kewajiban negara untuk memulangkan mereka ke Indonesia, sesuai amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, yang kemudian diimplementasikan dalam Pasal 28D ayat (4) UUD 1945.

Artinya, penyebutan mereka sebagai WNI eks-ISIS atau ISIS eks-WNI sangatlah penting, karena punya implikasi dan konsekuensi hukum dan politik yang berbeda.

Bila mereka WNI eks-ISIS maka negara wajib melindungi antara lain dengan memulangkan mereka ke Tanah Air.

Sebaliknya, bila mereka ISIS eks-WNI, maka tak ada kewajiban bagi negara untuk memulangkan mereka. Kalaupun ada keinginan negara untuk memulangkan mereka, itu semata-mata karena masalah kemanusiaan.

Sebelumnya, status kewarganegaraan 689 eks-kombatan ISIS, yang sebagian besar alumni Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, pimpinan Abubakar Baasyir, sempat menjadi polemik, antara yang menganggap mereka masih WNI dan yang menganggap eks-WNI.

Padahal bila kita mengacu pada UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, polemik itu tak perlu terjadi. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang biasanya cenderung diam, kali ini ikut berpolemik.

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mendesak pemerintah untuk memulangkan 689 orang eks-ISIS itu, karena alasan pemerintah menolak pemulangan mereka tidak cukup kuat.

Adapun data 689 orang eks-ISIS itu, sebagian wanita dan anak-anak, berasal dari Central of Intelligence Agency (CIA) Amerika Serikat (AS).

Dalam UU No 12 Tahun 2006, ada sembilan hal yang membuat seseorang kehilangan status WNI, antara lain, pertama, memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauan sendiri.

Kedua, tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain.

Ketiga, masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden.

Keempat, secara suka rela masuk dalam dinas negara asing dan mendapat jabatan tertentu.

Kelima, menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut.

Keenam, turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing.

Ketujuh, memiliki paspor atau surat sejenis dari negara asing atau surat tanda kewarganegaraan dari negara lain.

Kedelapan, tinggal di luar NKRI selama 5 tahun berturut-turut bukan dalam rangka dinas negara dan tidak memberi tahu kepada kedutaan besar atau konsulat jenderal bahwa dirinya tetap ingin menjadi WNI.

Bila mengacu pada UU Kewarganegaraan di atas, maka para mantan kombatan ISIS tersebut otomatis kehilangan status WNI mereka.

Hanya saja, pemerintah masih bersikap bijak dengan mempertimbangkan anak-anak berusia di bawah 10 tahun untuk dipulangkan, tapi harus diseleksi dulu kasus per kasusnya.

Namun, bila anak-anak di bawah 10 tahun dipulangkan, tentu akan membawa problem psikis dan psikologis karena mereka akan tercerabut dari orang tuanya, kecuali bila kedua orang tuanya sudah meninggal di dalam pertempuran.

Sesungguhmya para eks-ISIS itu juga tak perlu terlalu khawatir akan stateless, karena mereka bisa mengajukan permohonan ke pemerintah Indonesia untuk kembali menjadi WNI.

Deklarasi Universal HAM PBB 1948 Pasal 15 ayat (1) menyatakan setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Ayat (2) pasal dan beleid yang sama menyatakan seseorang tidak bisa dicabut kewarganegaraannya dengan sembarangan oleh siapa pun.

Pasal 28D ayat (4) UUD 1945 menyatakan, "Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.

" Amanat konstitusi ini kemudian dituangkan ke dalam UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan beserta turunannya, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No 2 Tahun 2007.

Pasal 31 UU No 12/2006 menyatakan seseorang yang kehilangan status WNI dapat memperolehnya kembali. Syarat dan langkah yang harus ditempuh termuat dalam PP No 2 Tahun 2007, khususnya Pasal 43 hingga Pasal 47.

Syarat dimaksud antara lain sehat jasmani dan rohani, mengakui Pancasila dan UUD 1945 serta tak pernah dijatuhi hukuman yang diancam dengan pidana penjara satu tahun atau lebih.

Dalam konteks ini, Presiden Jokowi perlu segera menerbitkan keputusan presiden (keppres) yang berisi nama-nama eks-WNI pengikut ISIS yang kehilangan status kewarganegaraan mereka.

Di sisi lain, pemerintah harus mengawasi pos-pos perbatasan RI dengan negara-negara lain, terutama negara-negara ASEAN yang bebas visa, jangan sampai para eks-ISIS itu menyelundup ke Indonesia.

Penulis sependapat dengan pemerintah bahwa kombatan ISIS eks-WNI itu tidak perlu dipulangkan demi kepentingan keamanan negara dan keselamatan penduduk Indonesia yang 260 juta orang. Ini jauh lebih penting dibandingkan dengan urusan pemulangan kombatan ISIS tersebut.

* TM Mangunsong SH: Praktisi Hukum/Ketua DPC Peradi Jakarta Pusat.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini