Oleh: Dr Tengku Murphi Nusmir SH MH
TRIBUNNEWS.COM - Penerapan omnibus law atau sebuah undang-undang yang mencakup beberapa undang-undang, atau sering disebut undang-undang sapu jagad, berpotensi menambah masalah baru dalam sistem hukum di Indonesia.
Sebab, omnibus law tidak dikenal dalam sistem hukum dan perundang-undangan di Indonesia.
Salah satu Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law sudah diajukan Presiden Joko Widodo ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, yakni RUU Cipta Lapangan Kerja atau Cilaka.
Menyusul kemudian RUU tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM); RUU tentang Perpajakan; dan RUU tentang Perpindahan Ibu Kota Negara.
Omnibus law-omnibus law tersebut akan merevisi atau "menyapu" sekitar 70 UU.
Padahal, omnibus law-omnibus law tersebut tak punya pijakan atau tak dikenal dalam sistem hukum dan perundang-undangan di Indonesia, sehingga berpotensi menambah masalah dalam sistem hukum Indonesia.
Revisi 70 UU melalui omnibus law ini tidak sesuai dengan sistem hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia.
Misalnya, UU No 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah dengan UU No 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
UU ini tidak mengatur tentang mekanisme omnibus law.
Dalam hierarki perundang-undangan sebagaimana disebut dalam UU No 15/2019 ini, tak ada yang namanya omnibus law.
Bahkan, omnibus law tidak lazim diterapkan di Indonesia karena menggunakan sistem hukum civil law.
Tidak itu saja, omnibus law juga mendegradasi kewenangan DPR RI sebagaimana tertuang dalam Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang berbunyi, "Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan."
Untuk itu, Perhimpunan Praktisi Hukum Indonesia (PPHI) membuka kemungkinan untuk mengajukan juducial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas omnibus law tersebut bila kelak disetujui dan disahkan DPR RI.