Sungguh suasana yang tidak nyaman karena temanya tentang Indonesia paska jatuhnya Presiden Soeharto yang diikuti dengan “jejak pendapat” Timtim dan rangkaian berbagai krisis di Indonesia. Image Indonesia di mata Australia, terutama di kalangan LSM dan media sangatlah tidak menguntungkan.
Saya satu panel dengan Prof. Arief Budiman, yang tentu saja sangat kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah di Indonesia. Hal positif yang menjadi senjata saya adalah kenyataan bahwa pada masa Presiden Habibie lah pemerintah RI memutuskan untuk membebaskan para tahanan politik dalam jumlah yang sangat besar dan belum pernah terjadi sebelumnya.
Ini adalah bentuk nyata dari niat baik Pemerintahan Habibie untuk melakukan rekonsiliasi nasional.
Baca: Hendrawan Supratikno: Saya Beruntung Pernah Menjadi Murid Arief Budiman
Saya harus mengakui masih banyak kekurangannnya, tetapi Indonesia telah memutuskan untuk menjadi sebuah demokrasi modern. Selesai seminar kita berjabat tangan, minum kopi dan berbicara santai.
Ada satu hal yang sangat berkesan di hati saya. Terjadinya kerusuhan rasial bulan Mei 1998 menyebabkan KJRI Melbourne menjadi berbagai target demonstrasi besar-besaran khususnya dari Melbourne Chinese Association. KJRI juga memiliki “unesay relations” dengan komunitas Indonesia keturunan Tionghoa di Melbourne.
Atas jasa salah seorang tokoh senior Tionghoa di Melbourne, Pak Susanto, saya diperkenalkan dengan seorang tokoh muda masyarakat keturunan Tionghoa bernama Tiong Jin. Bapaknya adalah salah seorang tokoh Tionghoa nasional yang sangat dekat dengan Presiden Sukarno atau dikenal sebagai Sukarnois.
Dari pertemuan saya dengan Tiong Jin, saya diberitahu bahwa masyarakat keturunan Tionghoa di Melbourne akan mendirikan sebuah organisasi bernama Committee Against Racism in Indonesia (CARI) sebagai respon atas kejadian di Indonesia.
Saya adalah satu-satunya staf dari KJRI Melbourne yang akan diundang sebagai pribadi. Saat memberikan pidato, Arief Budiman memulainya sambil setengah bercanda dengan memperkenalkan diri sebagai Kasno, alias Bekas Cino (Bahasa Jawa).
Baca: Rivaldo Sarankan Philippe Coutinho Untuk Bergabung ke Klub Liga Inggris
Kemudian dia mulai mengritik keturunan Tionghoa dan meminta agar CARI nantinya juga bersikap obyektif mengingat banyak perusahaan milik konglomerat Tionghoa yang bersikap diskriminatif terhadap pribumi dalam sistem penggajiannya. Hadirin yang sebagian besar keturunan Tionghoa pun terdiam. Itulah Arief Budiman.
Ketika saya kembali sebagai Konsul Jenderal tahun 2004-2009, suasananya sudah jauh berbeda dan sangat cair. Namun Arief Budiman tetaplah seorang yang sangat kritis membela orang-orang yang terpinggirkan. Saya pernah berdebat tentang kebijakan Gubernur DKI Jakarta yang melarang beroperasinya becak di Jakarta.
Saya katakan bahwa tujuannya sebenarnya baik, permasalahannya adalah bagaimana para tukang becak itu ditingkatkan derajatnya untuk tidak lagi menjadi tukang becak. Akhirnya kita setuju utuk tidak setuju.
Baca: Pangdam XVII Cenderawasih: Oknum TNI yang Bersalah Akan Diproses Lewat Peradilan Militer
Ternyata seorang Arief Budiman memiliki sifat yang cukup “humanis”. Dia suka berkaraoke. Ketika itu di Indonesia sedang sangat populer lagu Cucak Rowo. Saya punya koleksi beberapa versi penyanyi dan ternyata dia juga punya versi lain yang berbeda dengan versi yang saya miliki.
Akhirnya kita sepakat untuk kontes Karaoke di Wisma Indonesia di daerah Brighton dengan tema nanyi lagu Cucak Rowo. Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa Prof. Arief Budiman bisa nyanyi, walaupun suaranya tidak lebih baik dari saya.
Itulah sekelumit tentang Prof. Arief Budiman, seorang aktivis yang konsisten, apa adanya dan tetap hidup sederhana. Dia bercerita pernah ditawari menjadi salah seorang Menteri tetapi ditolaknya. Selamat jalan Prof.