News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Sejarah Nusantara

Kitab Pararaton, Letusan Gunung Berapi, dan Tanda-tanda Bencana di Masa Kuno

Editor: Setya Krisna Sumarga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Goenawan A Sambodo, epigraf dan peneliti sejarah kuno Jawa, menunjukkan prasasti tamra atau tembaga di sebuah event kesejarahan

OLEH : GOENAWAN A SAMBODO, Epigraf & Ahli Sejarah Kuno

BAGAIMANA kita mengetahui sejarah kebencanaan, semisal letusan gunung berapi di masa kuno. Adakah catatan lain terkait guntur atau peristiwa serupa ini?

Kitab Pararaton menuliskannya. Kitab ini bercerita tentang peradaban yang ada di Jawa bagian timur.

Pada saat itu, sebuah kejadian alam terutama yang berupa bencana besar, sering kali dihubungkan keberlangsungan pemimpin atau negara.

Bagian VIII disebutkan, “Guntur paluṅge i saka api-api-tangan-tunggal, 1233 (Gunung  Lungge meletus di tahun Saka “api – api – tangan – tunggal” 1233).

Sebagai catatan, saya tidak akan mengalihbahasakan bahasa Jawa kuno ke bahasa Indonesia karena mungkin pemaknaannya dalam angka menjadi berbeda).

Apa yang terjadi dengan negara waktu itu? Ternyata Sri Jayanagara menjadi raja di Majapahit.

Bagian IX Tumuli guntur – pabanyu – pindah i saka 1256 mengikuti letusan gunung (terjadilah banjir di tahun saka 1256) saat Gajah Mada menjadi mahapatih di Majapahit

“Tumuli hana gunung anyar i saka naga – leng – karnaning – wong, 1298 (perang Bubat). Tumuli guntur pamadasiha i saka resi – sunya – guna – tunggal, 1307 (tahun ketika Gajah Mada dan Hayam Wuruk meninggal dunia).

Kejadian letusan gunung yang disebutkan dalam Pararaton ternyata juga terekam di Nagarakrtama.

Di Pupuh I.4 disebutkan …liṇḍung bhūmi ktug hudan hawu gĕrḥ kilat awiltan ing nabhastala, guntur ttang himawān/ ri kāmpud ananang kujana kuhaka māti tanpagap.

Terjemahan bebasnya, “gempa, bumi bergetar, hujan abu, kilat dan petir di langit, suara gemuruh dari gunung Kampud yang runtuh, menyapu orang orang jahat”

Itulah saat ketika penulis Nagarakrtagama mengingatkan pembaca, raja Majapahit terbesar –Hayam Wuruk- lahir.

Bagaimana tentang banjir? Di atas tadi sudah sedikit disinggung tentang banjir yang disebut “pabañu piṇḍaḥ”

Di dalam prasasti yang terkenal tentang penanganan banjir ini adalah prasasti Kamalagyan masa Airlangga dan prasasti Tugu dari Purnnawarmman

Sedikit tentang prasasti Tugu. Ada sungai bernama Candrabhaga yang digali oleh maharaja Purnnawarmman.

Alirannya ditujukan ke laut. Itu setelah saluran sungainya sampai di istana kerajaan yang termasyhur.

Pada tahun ke-22 bertakhtanya, raja menitahkan menggali kali yang permai dan berair jernih. Gomati namanya. Itu setelah alirannya melintas di tengah-tengah tanah kediaman yang mulia nenekda sang Purnnawarmman.

Pekerjaan dimulai pada hari baik tanggal 8 paro-gelap bulan Phalguna. Lalu disudahi pada tanggal ke-13 paro-terang bulan Caitra. Jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya. Saluran galian itu panjangnya 6.122 tumbak.

Mengapa banjir? Dari kalimat, “alirannya melintas di tengah-tengah tanah kediaman Yang Mulia Nenekda Sang Purnnawarmman,” dianggap beberapa ahli sebagai aliran air masuk ke kediaman nenek raja.

Merujuk telaah ahli sejarah kuno Jawa, almarhum Trigangga, dari prasasti Kamalagyan lebih jelas menggambarkan adanya desa desa terdampak banjir yang mengakibatkan kesulitan para warganya.

Raja lantas memerintahkan pembangunan bendungan untuk mengatasi hal itu. Adapun sebabnya raja mengambil tindakan demikian karena bengawan (Sungai Brantas) sering menjebol tanggul di Waringin Sapta.

Akibatnya, banyak desa, daerah perdikan, hunian para biksu, pendeta dan pertapa, serta bangunan suci/candi kebanjiran.

Akibat banjir yang selalu datang itu maka sawah-sawah tergenang air dan hancur, dan penghasilan pajak yang masuk menjadi sangat berkurang.

Apa penyebab banjir? Kalau kita perhatikan tanggal dikeluarkannya prasasti Kamalagyan, 11 November 1037 M, pada bulan tersebut sudah memasuki musim hujan.

Jadi banjir yang menggenangi lahan-lahan hunian dan pertanian di pinggiran sungai Brantas disebabkan hujan, baik langsung (hujan setempat) maupun tidak langsung (hujan di bagian hulu, dekat pegunungan yang mengakibatkan air bah).

Intensitas hujan ini kemungkinan besar lama sehingga meningkatkan volume air sungai, lalu melimpah dan membanjiri lahan-lahan sekitarnya.

Tetapi hujan deras bukanlah “pelaku tunggal” penyebab banjir. Air laut pasang pun bisa jadi penyebab banjir sungai Brantas, walau secara tidak langsung karena jauh di pedalaman.

Seperti diketahui semua aliran sungai pasti bermuara ke laut. Aliran air sungai akan melambat jika mendekati air laut yang tinggi permukaan 0 meter.

Jika air laut pasang pada saat “New Moon” dan “Full Moon”, maka permukaan laut naik, mengakibatkan aliran sungai dari hulu ke muara tertahan.

Ketika terjadi hujan deras setempat maupun di pegunungan, volume air sungai meningkat. Bila hal ini bersamaan dengan air laut pasang, maka air sungai tertahan dan meluber ke samping menjebolkan tanggul membanjiri lahan-lahan sekitarnya.

Itulah yang terjadi pada sungai Brantas dalam abad ke-11. Volume air yang meningkat menjebolkan tanggul di Warigin Sapta, menggenangi lahan-lahan hunian dan pertanian.

Kapan kejadiannya? Prasasti itu dibuat untuk memperingati peristiwa yang telah terjadi. Bisa sebulan lalu, beberapa bulan, bahkan beberapa tahun sebelumnya.

Jadi ada prosesnya. Dimulai dari peristiwa, turunnya perintah raja, pembuatan prasasti batu atau logam.

Dalam kasus prasasti Kamalagyan ini, peristiwanya adalah banjir yang menyebabkan tanggul Waringin Sapta jebol.

Setelah dilakukan inventarisasi lahan-lahan hunian dan pertanian yang rusak akibat banjir maka dilakukanlah perbaikan, terutama tanggul yang jebol itu.

Ini butuh waktu tidak sebentar. Setelah semuanya beres, dan sungai Brantas dapat dilayari kembali kapal-kapal dagang, barulah Raja Airlangga mengeluarkan perintah.

Isinya termasuk ketetapan berbagai pajak yang baru terhadap lahan-lahan produktif yang ditimpa bencana banjir, pada 11 November 1037.

Jadi, kalau ditentukan kapan banjir besar yang diakibatkan hujan deras bersamaan dengan air laut pasang, kemungkinan besar –terdekat-, terjadi 11 Oktober 1037 M, sebulan sebelum dikeluarkannya prasasti Kamalagyan.

Pada tanggal tersebut mungkin telah terjadi hujan deras yang lama, hujan setempat atau di daerah hulu sungai (pegunungan) yang mengakibatkan air bah.

Tanggal 11 Oktober 1037 M mendekati fasa Bulan Baru (New Moon); Bulan mencapai titik terdekat (Perigee) dengan Bumi dalam jarak 353.565 km, pada pukul 11:11, tanggal 11 Oktober 1037.

Saat itu terjadi air laut pasang di Laut Jawa, lokasi muara sungai Brantas, maka volume air sungai bertambah terus karena derasnya air hujan.

Akhirnya volume air sungai Brantas melebihi kapasitas dan jebollah tanggul di Waringin Sapta.

Demikianlah yang dapat dijelaskan mengenai sebab-sebab terjadinya banjir besar dalam abad ke-11

Bencana kekeringan yang melanda negeri sehingga terjadi kelaparan di seluruh negeri. Ceritanya dicatat Pararaton.

Dituliskan “tumuli palihan agung i saka *naga – yugānahut – wong* = 1348 Saka”.(Berbagai Sumber/Disampaikan di Forum Diskusi WAblas, 8/5/2020)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini