Namun bila dilihat dari sosok-sosok yang ada di KAMI, muncul pertanyaan: ada "hidden agenda" atau agenda terselubung semacam apakah yang ada di balik deklarasi KAMI?
Sekali lagi, mereka adalah orang-orang yang pernah memegang kekuasaan, termasuk pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, seperti Din Syamsuddin, Gatot Nurmantyo, Rizal Ramli, dan Refly Harun.
Pertanyaan bernada sumbang tersebut makin menguat ketika dihadapkan pada fakta bahwa mereka mayoritas adalah lawan politik Jokowi pada Pilpres 2019, kecuali Refly Harun yang setelah didepak dari Jasa Marga baru bersikap kritis terhadap pemerintah.
Apakah mereka pumya "hidden agenda" untuk merebut kekuasaan? Bila demikian, sekali lagi, mengapa KAMI tidak menjadi parpol saja? Sebab, hanya parpol yang dapat merebut kekuasaan secara konstitusional melalui pemilu.
Ataukah mereka akan konsisten sebagai gerakan moral? Baik sebagai gerakan moral atau pun gerakan politik, mereka tak boleh memaksakan kehendak. Mereka harus menempuh cara-cara demokrasi.
Simak apa kata Wakil Ketua DPR Aziz Syamsudin. Katanya, DPR hanya tunduk kepada Pancasila dan UUD 1945. DPR tidak tunduk kepada tekanan pribadi atau kelompok.
Bila KAMI konsisten di jalan moral, hukum dan demokrasi, maka siapa pun akan berempati kepada mereka.
Sebab, kekuasaan memang harus dikontrol, antara lain melalui gerakan moral tersebut ketika parpol-parpol mayoritas sudah masuk ke dalam oligarki kekuasaan.
Jangan lupa pula dengan adagium Lord Acton (1836-1902), "The power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutly" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut akan absolut pula korupnya).
Dalam perspektif inilah seyogyanya kita maknai deklarasi KAMI.
* Dr H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Anggota DPR RI.