OLEH : HARSONO HADI, Learning Coach
SAAT memfasilitasi beberapa program pembelajaran di kelas, melakukan proses coaching ataupun pada beberapa perbincangan santai, saya seringkali mendapatkan sebuah pertanyaan dari trainee, coachee, ataupun sahabat.
“Mas, saya pernah melakukan sesuatu yang saya yakin bisa dan mampu saya selesaikan, namun ternyata hasilnya jauh dari yang diharapkan. Kadang keadaan seperti ini membuat putus asa. Saya ingin sekali dapat menemukan faktor penyebabnya. Lalu sebaiknya kapan waktu yang tepat untuk mencari gagasan memperbaiki hal tersebut?”
Saya percaya setiap kita pasti pernah juga mengalami bagaimana melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh namun hasilnya masih di bawah ekspektasi.
Tak dimungkiri, setiap kita menjalani satu hal atau berkomitmen pada sebuahaktivitas, kita selalu mencanangkan tujuan tertentu, sebuah goal yang ingin kita capai.
Sudah fitrah dalam kehidupan setiap orang, ingin mendapatkan dan melakukan sesuatu dengan lebih baik, dalam proses maupun maupun hasil.
Dari keinginan itulah kita meletakkan tujuan hidup yang ideal.
Seiring perubahan dan perkembangan yang kompleks dan dinamis, setiap orang menginginkan kualitas hidup ke arah yang lebih baik, saat ini maupun hari-hari ke depan.
Dengan kualitas hidup yang lebih baik akan lebih mudah merencanakan dan meletakkan peta jalan menuju tujuan hidup yang diinginkan, mempermudah mengelola aktivitas dan pekerjaan serta pada ujungnya akan lebih mudah membahagiakan orang-orang di sekitar kita.
Namun, memang kenyataan tidak semudah yang dibayangkan. Setiap menemukan ketidakberhasilan dan gap antara ekspektasi dengan kenyataan, kita dihadapkan pada pilihan: mundur atau terus berjalan?
Keadaan seperti berada di titik quo vadis, keadaan bimbang di persimpangan ini berlaku bagi siapapun, yang membedakan adalah bagaimana response yang muncul secara personal.
Bagi siapapun yang selalu optimistik, cara berfikirnya terhadap setiap kejadian dan peristiwa cenderung dipenuhi response positif sehingga mendorong output-nya menjadi sikap dan tindakan yang baik.
Cara berfikir (mindset) inilah yang mendorong munculnya sikap dan tindakan baik yang jika dilakukan berulang-ulang akan menjadi sebuah kebiasaan baik (good habit).
Mindset dan good habit menjadi penting untuk melihat bagaimana sikap kita melihat hasil yang kita terima, mampukah kita mengenali dan mensikapi kelebihan dan kekurangan yang kita miliki?
Bagaimana menemukan root cause dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi? Serta apa yang harus dilakukan untuk langkah perbaikan?
Dalam perjalanan hidup sehari-hari, seringkali muncul pertanyaan apakah sudah cukup dengan yang kita lakukan saat ini atau mungkin ada hal-hal lain yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan kualitas hidup yang kita jalani.
Mengapa demikian? Dalam ajaran motivasi hidup dari agama apapun, sejak kecil kita sudah dikenalkan dengan kalimat positif: “hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini”.
Jadi selalu harus ada peningkatan dari keadaan sebelumnya. Perbaikan dan perubahan mengajarkan peningkatan kualitas diri yang terus menerus.
Lalu, mengapa harus memancing di air bening, bukankah biasanya memancing di air keruh?
Banyak orang berfikir baru akan melakukan perbaikan dan perubahan tatkala stucked, mentok atau berada di kuldesak (jalan buntu).
Tekanan yang kuat dan jalan buntu sering membuat segala sesuatu yang biasa bisa kemudian berubah menjadi important (penting) dan urgent (genting).
Bayangkan, saat kita menemukan dan mengalami masalah dalam pekerjaan, atau mendapatkan keluhan, kritikan dan complain dari pihak lain.
Cara berfikir seperti ini cenderung membuat kita reaksioner, sehingga tindakan yang muncul adalah reaktif.
Mencari jalan keluar pada situasi tertekan dan silang sengkarut seperti ini tidak hanya menguras pikiran namun juga menghasilkan gagasan yang sesaat dan sporadis.
Memancing di air bening sebaliknya adalah bagaimana membangun sikap dan kebiasaan untuk melakukan perbaikan tanpa menunggu timbulnyamasalah.
Dengan kata lain bisakah kita mencuri start sebelum permasalahan dan suatu keadaan tidak normal muncul.
Mencuri start berarti menunjukkan inisiatif dan tanggungjawab yang lebih dalam, serta bertindak secara proaktif.
Perbaikan dilakukan bukan semata-mata karena tuntutan dan tekanan keadaan, namun karena kesadaran setiap saat harus ada perubahan, perbaikan dan peningkatan ke arah yang lebih baik.
Dalam fluktuasi dan dinamika yang dihadapi, tetap konsisten melakukan evaluasi diri dan tindakan korektif meskipun sejatinya kondisinya sedang baik-baik saja dan normal.
Konsistensi melakukan perbaikan tanpa menunggu masalah dilakukan secara terus menerus tanpa henti, berkesinambungan tanpa jeda.
Dalam kaizen atau continuous improvement, kita sering mendengar “perubahan tidak datang dalam satu lompatan besar tetapi melalui langkah-langkah kecil yang berkesinambungan”.
Kita dapat mengamati bagaimana sebuah produsen sepeda motor yang hampir setiap satu tahun meluncurkan satu sampai dua varian yang berbeda dan memiliki kelebihan dibandingkan jenis sebelumnya.
Jika diamati secara cermat yang dilakukan sebenarnya gradual, bertahap dan sedikit demi sedikit, biasanya hanya perubahan dan perbaikan kecil pada beberapa tampilan, aksesoris, feature baru dan mungkin tidak berhubungan langsung dengan kinerja sepeda motor tersebut.
Namun, meskipun kecil perubahan itu dilakukan dengan konsisten dan berkelanjutan, sehingga kemudian menunjukkan komitmen mereka terhadap perbaikan tanpa menunggu datangnya persoalan.
Pada beberapa situasi memang tidak dihindari perubahan yang terjadi dengan ekstrem, short term dan revolusioner.
Perubahan yang drastis biasanya mengagetkan orang, ditopang oleh sendi-sendi dasar perubahan yang lemah dan tidak kokoh, cenderung bersifat spekulatif dan effort yang dikeluarkan lebih besar.
Banyak perubahan ekstrem sehari-hari yang menimbulkan reaksi yang tidak mulus, surprising.
Misalnya saja secara tiba-tiba kitamerubah gaya rambut dan penampilan, mengenakan warna pakaian yang tidak biasanya dipilih, atau mengubah jam pulang kantor dari biasanya malam hari, lalu dalam seminggu berturut-turut pulang tepat waktu.
Maka jangan heran dan kaget karena akan muncul komentar dan reaksi orang (terutama yang mengenal kita) tidak hanya mempertanyakan dan meragukan langkah kita namun tidak jarang menertawakan: “tumben lu..”, atau“waduhh...dapet wangsit dari mana niy, bro?”.
Perubahan ekstrem biasanya menimbulkan reaksi keras di depan, namun sangat tergantung kepada seberapa kuat komitmen kita dalam berubah.
Reaksi atas perubahan seperti ini sering menguji konsistensi kita apakah mundur atau tidak dengan langkah yang kita pilih.
Sepanjang kita meyakini komitmennya ke arah yang lebih baik, respon dan reaksi seperti itu sebenarnya masih wajar, justru jika dilihat dari sisi positif menjadi sebuah pengingat kepada kita sendiri: “seriuskah dengan perubahan yang dilakukan?”
Aspek kehidupan saling tergantung dan saling mempengaruhi, maka membangun kesadaran perbaikan terus menerus juga mencakup keseluruhan aspek yang saling berkaitan baik kehidupan pribadi, keluarga, pekerjaan maupunsecara sosial.
Kesadaran kaizen untuk selalu memperbaiki diri akan menjadi pondasi bagi elan vital pembelajaran tiada akhir dan peningkatan kapasitaspersonal, sepanjang usia sampai kematian.
Jadi, memancing di air bening adalah sebuah istilah untuk menggambarkan munculnya inisiatif untuk melakukan perbaikan berkelanjutan secara proactive.
Memancing mensyaratkan seseorang untuk benar-benar berniat memancing, ia juga secara cerdas berupaya menemukan spot yang tepat, menunjukkanpersistensi/keuletan, serta membangun sikap sabar dan setia menunggu sampai mata kail pancingnya bergerak, tanda ada sasaran yang mendekati umpan dan masuk perangkap pancing.
Setelah mendapatkan sasaran yang terkait mata kail pancing dan umpan, pelan-pelandan dengan tenang mulai menariknya ke atas permukaan.
Pun demikian“memancing”dalam konteks ini adalah aktivitas sehari-hari untuk mencari, menemukan dan menarik ide atau gagasan baik perbaikan secara cerdas, sabar, persistendan tekun.
Begitulah cara berfikir, saat mata kail mendapatkan gagasan maka kita sebaiknya pelan-pelan menariknya dan mengeluarkannya untuk dijadikan sebagai referensi sikap dan implementasi tindakan.
Memancing biasanya dilakukan di air, karena kita tahu“air”menjadi perlambang filosofis yang menunjukkan setidaknya 2 makna penting dalam motivasi perbaikan, yakni: pertama, air selalu mengalir ke tempat yang rendah.
Pembelajaran dan hikmah akan lebih mudah mengalir kepada orang-orang yang rendah hati, pribadi yang humble.
Kedua, air selalu mencari jalan keluar dari hambatan yang ditemui, sekalipun sulit ia akan telaten dan persisten melubangi batu sekalipun atau mendorongnya sampai menemukan jalan.
Nah, yang terakhir adalah bening. Orang menggunakan kata “bening”sebagai suatu gambaran dan atau ukuran untuk menyatakan keadaan air yang jernih, bersih dan tidak bercampur tanah dan sebagainya.
Kejernihan atau kebeningan dalam hal ini menunjukkan betapa itikad yang baik, pikiran yang jernih dan hati yang bersih amat penting sebagai rujukan dalam melakukan suatu perbaikan.
Melakukan perbaikan saat hati berkecamuk dan pikiran keruh, akan memerlukan effort yang lebih besar dalam menemukan dan mengeluarkan gagasanserta memberikan hasil dan jalan keluar yang tidak optimal atas masalah yang dihadapi.
Sebaliknya, melakukan perubahan dan perbaikan saat hati bersih dan pikiran jernih dapat dilakukan lebih ringan dan optimal.
Jadi untuk perbaikan berkelanjutan ke arah yang lebih baik, teruslah memancing di air bening.(*)