Namun ketika manajemen dibenahi oleh CEO Agung Adiprasetyo di tahun 2000an, "panggilan menyenangkan" pada malam hari itu sudah tidak ada lagi.
Semua terukur dengan menggunakan "rezim" KPI (key performance index) di mana kinerja karyawan/wartawan dinilai dua kali dalam setahun dengan ukuran yang telah ditentukan.
Jadi sebenarnya lebih "fair" dan bisa lebih "predictable".
Sebagai gantinya, penilaian persemester itu dikonversi kepada bonus. Sedangkan unsur gratifikasi-bonus dan jenis-jenis tunjangan lainnya dilebur ke unsur gaji pokok yang tentu saja menguntungkan karyawan/jurnalis.
Kenapa? Sebab gaji pokok akan menjadi besar padahal gaji pokok ini dipakai ukuran untuk meminjam dana perumahan dan kendaraan.
Bagi saya, Jakob (dan juga Ojong yang saya dengar karena saya tidak mengalaminya), adalah boss, big boss yang sangat memperhatikan kesejahteraan wartawan/karyawannya.
Kalau saya kerja shift malam, selalu dapat jatah dua butir telur ayam negeri plus susu hangat setiap malam.
Itu sebabnya karyawan/wartawannya betah bekerja di lingkungan Kompas-Gramedia karena kesejahteraannya terjamin sampai hari tua (pensiun) meski dengan haji pokok yang relatif kecil dibanding perusahaan besar lainnya, tetapi lebih besar dibanding perusahaan media lainnya berbasis cetak.
Pada hari tuanya yang mencapai usia 88 tahun, Jakob sesekali masih ke kantor Harian Kompas di Palmerah Selatan, berkantor di lantai 6 di mana anak buahnya sekarang lebih banyak berkunjung dan sesekali ke lantai 3 ke ruangan rapat redaksi.
Jelang usia 85, atau saat memasuki usia 81-83 tahunan, sesekali Jakob hadir di ruang rapat, lebih banyak bertanya tentang berbagai hal, namun dengan daya ingat yang sudah jauh lebih menurun.
Terbukti, satu persoalan yang sama bisa ditanyakan berulang-ulang. Para editor, redpel dan pemred dengan sabar menjelaskan hal yang sama.
Sebagai jurnalis, Jakob banyak menulis buku. "Provokasinya" yang paling terkenal kepada wartawan adalah, "Wartawan belum sempurna kalau belum memakai mahkota berupa buku yang ditulisnya".
Jadi, setiap wartawan Kompas dengan sendirinya harus mendapatkan mahkotanya sendiri dengan buku yang ditulisnya.
Karena termakan "provokasi"-nya itulah, saya sebelum undur diri baik-baik dengan Harian Kompas sudah berhasil memakai 5 mahkota di kepala saya sebagai jurnalis.
Rabu, 9 September 2020, Pak Jakob Oetama berpulang, meninggalkan jejak peradaban media dan jurnalisme di dalamnya.
*Pepih Nugraha, mantan wartawan Kompas