News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Vandalisme Demonstran Setimpal dengan Pengkhianatan DPR dan Pemerintah

Editor: Husein Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon.

Vandalisme Demonstran Setimpal dengan Pengkhianatan DPR dan Pemerintah

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*

TRIBUNNEWS.COM - Dalam pengertiannya yang substantif, vandalisme dapat terjadi di mana saja, di ruang publik, jalanan maupun ruang sidang dewan. Sesuai tugas dan fungsi masing-masing, setiap orang memiliki selera vandalisme mereka yang berbeda.

Di jalanan, demonstrasi bagian dari upaya mengungkapkan opini di muka umum. Momentum bagi rakyat untuk bersuara lantang mengkritik pemerintah. Ini adalah hasil dari demokrasi. Namun, setiap kali ada pengrusakan fasilitas umum, demokrasi sudah tercemar. Termasuk jika itu diatasnamakan aksi demonstrasi. Ini vandalisme jalanan.

Berdemo dan aksi anarkis adalah dua hal berbeda. Demonstrasi ini sudah diatur dalam Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi: 'kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang."

Sementara pengrusakan adalah tindakan yang dilarang, salah satunya dalam Pasal 406 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(“KUHP”), yang mengatakan sebagai berikut:

"Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."

Fenomena menarik yang bisa jadi pelajaran bagi kita semua, terkhusus demo kritis atas pengesahan UU Cipta Kerja, adalah aksi demo di Kabupaten Wajo. Mahasiswa turun aksi dan Wakil Bupati menyambut baik, sehingga membuat demo tidak berakhir anarkis dan berbuah vandalisme. Ini contoh kekuatan civil society yang baik.

Sebaliknya, fenomena aksi demo seperti yang dilakukan di Jakarta, Tangerang, Yogyakarta maupun tempat lain tidak dapat jadi teladan bagi aksi-aksi demo selanjutnya. Berdemo yang berbuah pengrusakan fasilitas publik tidak sesuai Undang-undang, juga tidak mencerminkan potret civil society yang baik.

Vandalisme para demonstran setimpal dengan vandalisme aparat pemerintah. Seperti pepatah mengatakan: tidak ada asap kalau tidak ada api. Asap muncul karena adanya faktor utama, yakni vandalisme yang berlangsung di ruang anggota dewan dan tidak pernah jera berbuat salah. Semakin hari, di mata masyarakat, pemerintah terus kehilangan marwah mereka.

UU Omnibuslaw Ciptaker ini adalah isu mutakhir, menyusul ngototnya pemerintah menyelenggarakan Pilkada di Desember 2020 nanti, yang mendorong mosi tidak percaya rakyat pada pemerintah. Vandalisme para demonstran dapat dipastikan bagian kecil dari arus kekecewaan tersebut. Dengan kata lain, vandalisme anggota DPR adalah akar vandalisme demonstran.

Di beberapa media sosial, seperti twitter, mosi tidak percaya kepada DPR RI menggema. Dalam konteks kebebasan bicara, mosi ini juga bisa disebut bagian dari demokrasi. Serta bisa dimaknai sebagai pengamalan atas jaminan hukum yang tertuang dalam Pasal 28 UUD RI 1945 dan pasal 23 UU HAM.

Mosi tidak percaya setimpal dengan pemerintah yang terus-menerus mengkhianati amanah rakyat. Pengkhianatan politis ini juga dapat disebut vandalisme kekuasaan. Hal itu karena diri mereka telah secara sengaja menggadaikan negara dan melanggar kewajiban-kewajibannya seperti mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan; serta memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Dua jenis vandalisme tersebut (anarkis-jalanan dan politis-kekuasaan) sama-sama tidak dapat dibenarkan. Karena memang tidak ada yang benar. Undang-undang melarang pengrusakan fasilitas umum sekaligus melarang penyelewengan kekuasaan. Yang paling terpenting adalah mencarikan solusi yang terbaik agar perilaku-perilaku yang negatif tersebut tidak dapat muncul lagi di kemudian hari.

Melihat fenomena demonstrasi terhadap pengesahan UU Ciptaker, akar vandalisme tampaknya muncul dari persoalan "kemiskinan" dalam konteks yang sangat luas, yaitu kemiskinan harga diri elite negara maupun miskin ekonomi rakyat kecil. DPR seolah-olah telah menggadaikan kehormatan mereka dengan cara lebih melayani kepentingan kapitalis dan oligarki. Sementara rakyat lapar dan sulit mendapatkan lapangan kerja. Dari sini, kemiskinan melahirkan vandalisme dalam ragam warna.

Naifnya, upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengikis kemiskinan rakyat hanya topeng belaka. UU Ciptaker yang spiritnya menumbuhkan lapangan kerja, nyatanya hanyalah jembatan bagi kapitalis dan sekelompok elit oligarkis mendapatkan angin segar. Itu terlihat dari bertumpuknya pasal-pasal yang membuka peluang investasi dari pada pemodalan atas UMK-M.

Terakhir, sebelum negara ini dipimpin oleh negarawan yang bijaksana, akar anarkisme, vandalisme dan kekacauan mental wakil rakyat tidak akan tuntas. Apalagi, penegakan hukum hanya tajam ke bawah, dan lebih memihak kaum elite dari pada rakyat kecil. Nyatanya, hukuman lebih cepat dijatuhkan kepada pelaku pengrusakan fasilitas umum.

Namun, tidak pernah ada hukuman kepada para elite negara yang berulang kali merusak harga diri bangsa. Apakah di mata penegakan hukum, pengrusakan benda-benda materi jauh lebih berat sanksinya dari pada pelaku pengrusakan martabat bangsa?!.

*Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini