OLEH : PROF DR Apt ZULLIES IKAWATI, Guru Besar Fakultas Farmasi UGM
SAAT yang ditunggu-tunggu tiba, yaitu pengumuman hasil uji klinik vaksin Sinovac sekaligus pemberian izin penggunaan darurat (Emergency Use Authorization = EUA) kepada PT Bio Farma sebagai pengusung vaksin ini di Indonesia.
Paling tidak sebagian besar pertanyaan telah terjawab mengenai efikasi dan keamanannya. Vaksin Sinovac dinyatakan memiliki efikasi 65,3%, dan dari segi keamanan dinyatakan aman.
Efek samping ada dilaporkan, tetapi ringan dan bersifat reversible. Kekuatiran tentang kejadian antibody-dependent enhancement (ADE), seperti yang banyak disebut di beberapa media sosial dan menjadi ketakutan banyak orang tidak terjadi pada uji klinik Sinovac di Indonesia, maupun di Turki dan Brazil.
Tapi kemudian banyak orang bertanya, kok efikasinya lebih rendah daripada yang di Turki atau Brazil ya? Kok lebih rendah dari vaksin Pfizer dan Moderna yang katanya bisa mencapai 90% ?
Bagaimana Cara Menghitungnya?
Vaksin dengan efikasi atau kemanjuran 65,3% dalam uji klinik berarti terjadi penurunan 65,3% kasus penyakit pada kelompok yang divaksinasi dibandingkan dengan kelompok yang tidak divaksinasi (atau plasebo).
Itu didapatkan lewat suatu uji klinik yang kondisinya terkontrol. Jadi misalnya pada uji klinik Sinovac di Bandung yang melibatkan 1.600 orang, terdapat 800 subjek yang menerima vaksin, dan 800 subjek yang mendapatkan placebo (vaksin kosong).
Jika dari kelompok yang divaksin ada 26 yang terinfeksi (3.25%), sedangkan dari kelompok placebo ada 75 orang yang kena Covid (9.4%), maka efikasi dari vaksin adalah = (0.094 – 0.0325)/0.094 x 100% = 65.3%.
Jadi yang menentukan adalah perbandingan antara kelompok yang divaksin dengan kelompok yang tidak. Efikasi ini akan dipengaruhi karakteristik subjek ujinya.
Jika subjek ujinya adalah kelompok risiko tinggi, maka kemungkinan kelompok placebo akan lebih banyak yang terpapar, sehingga perhitungan efikasinya menjadi meningkat.
Jadi misalnya pada kelompok vaksin ada 26 yang terinfeksi, sedangkan kelompok placebo bertambah menjadi 120 yg terinfeksi, maka efikasinya meningkat menjadi 78.3%.
Uji klinik di Brazil menggunakan kelompok berisiko tinggi yaitu tenaga kesehatan, sehingga efikasinya diperoleh lebih tinggi.
Sedangkan di Indonesia menggunakan populasi masyarakat umum yang risikonya lebih kecil. Jika subjek ujinya berisiko rendah, apalagi taat dengan prokes, tidak pernah keluar rumah sehingga tidak banyak yang terinfeksi, maka perbandingan kejadian infeksi antara kelompok placebo dengan kelompok vaksin menjadi lebih rendah, dan menghasilkan angka yang lebih rendah.