News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tarekat Sufi dan Dalil-dalil Syar’inya

Editor: Husein Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon

Tarekat Sufi dan Dalil-dalil Syar’inya

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*

TRIBUNNEWS.COM - Islam adalah agama yang haq. Semua kebatilan lenyap berkat cahaya kebenaran Islam. Umat manusia yang mencari jalan kebenaran dan keselamatan, al-Quran lah pedomannya. Namun, tidak setiap umat muslim betul-betul serius menapaki jalan agama Islam. Karenanya, Allah Swt berfirman: “jikalau mereka tetap istiqomah di jalan itu, niscaya Kami akan benar-benar memberi minum kepada mereka air yang segar,” (Qs. Al-Jinn: 16).

Ayat Surat al-Jinn tersebut menyampaikan tiga poin utama; istiqomah, jalan kebenaran Islam, dan janji pahala dari Allah. Istiqomah adalah tentang komitmen pribadi, personal, kesanggupan diri. Jalan Islam berarti tentang metode, teknik, dan cara yang dapat ditempuh. Sedangkan janji pahala merupakan hasil akhir dari perjuangan pribadi untuk tetap istiqomah di jalan Islam.

Kata “Jalan” yang disebut dalam ayat al-Quran di atas menggunakan diksi al-Thariqoh atau Tarekat. Artinya, umat manusia yang istiqomah menjalankan Tarekat, yaitu jalan yang sudah ditentukan dan ditetapkan Allah, seperti mengikuti seluruh syariat agama, taat kepada semua perintah, dan menjauhi semua larangan, maka Allah akan melimpahkan pahala yang besar, yang bermanfaat di dunia dan akhirat.

Imam at-Thabari dalam Tafsir ath-Thabari menafsiri kata ath-Thariqoh dalam ayat surat al-Jinn tersebut sebagai Thariqotul Haqq wal Istiqomah (Jalan Kebenaran dan Jalan Istiqomah). Ibnu Abbas ra menafsirinya sebagai ath-Tha’ah (Jalan Ketaatan). Bagi Mujahid, Thariqotul Islam (Jalan Agama Islam) dan Thariqatul Haqq (Jalan Kebenaran). (At-Thabari, Tafsir ath-Thabari,  573).

Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir menegaskan, pengertian ath-thariqoh dalam ayat surat al-Jinn ini sebagai thariqatul Islam wa ‘adalu ilaiha was tamarru ‘alaiha (Jalan Islam, cenderung pada jalan Islam, dan terus-menerus berada di Jalan Islam). Dari ayat inilah, istilah Tarekat menemukan pijakan dalil syar'inya.

Nabi Muhammad Saw satu-satunya figur paling utama dalam menjelaskan dan mencontohkan bagaimana mengamalkan kebenaran Islam. Umat muslim tidak memiliki sosok teladan lain, dalam segala perilaku hidup di dunia, selain Rasulullah Saw. Mengikuti semua ajaran Nabi merupakan tindakan paling tepat bagi siapapun yang mengharap keselamatan dunia-akhirat. Rasulullah saw bersabda:

مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan di jalan Islam maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mencontohnya setelah dia tanpa sedikitpun mengurangi pahala mereka. Sebaliknya, barang siapa yang mengerjakan keburukan dalam Islam maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang mencontohnya setelah ia tanpa mengurangi dosa mereka,” (HR. Bukhari).

Peringatan Rasulullah Saw semacam itu menjadi pedoman utama para Sufi dalam menjalankan Tarekat, yaitu berpedoman pada al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. Tarekat Sufi tiada lain kecuali berjalan di jalan syariat agama seperti yang diterangkan dalam al-Quran dan dicontohkan oleh Rasulullah Saw., diamalkan oleh para Sahabat, dan dilestarikan oleh Tabi’in maupun Salafus Sholeh.

Al-Quran dan Sunnah sebagai rujukan perilaku hidup membuat bangunan ilmu pengetahuan yang dikembangkan para Sufi sejajar dengan ilmu fikih dan ilmu akidah. Hanya saja Ilmu kaum Sufi lebih akrab disebut Tasawuf, walaupun tiga disiplin ilmu pengetahuan ini (tasawuf, fikih, akidah) sama-sama berpijak pada al-Quran dan Sunnah.

Salah satu pernyataan sufi besar, Imam al-Junaid al-Baghdadi,  “barang siapa yang tidak menghafal al-Quran dan tidak mencatat hadits maka ia tidak bisa diikuti dalam urusan agama ini, karena ilmu pengetahuan kita dibatasi oleh al-Quran dan Sunnah.”

Sufi besar lain, Sahal at-Tusturi, memperluas cakupan dasar epistemologis bagi  ilmu pengetahuan dalam tasawuf. At-Tusturi menyebutkan, “pangkal pokok (Ushul) kita ada tujuh macam: berpegang teguh pada al-Quran, mengikuti Sunnah Rasul, makan makanan halal, mencegah diri tidak menyakiti orang lain, menjauhi perbuatan dosa, selalu bertaubat, dan memenuhi hak-hak kewajiban.” (Abdurrahman as-Salami, Thabaqat as-Shufiyah, 210)

Dasar-dasar pokok ilmu pengetahuan kaum Sufi ini sering disalahpahami oleh publik awam. Sebagian orang yang penuh kebencian pada ilmu tasawuf dan jalan Tarekat menuduh yang bukan-bukan. Abul Hasan asy-Syadzili, pendiri tarekat Syadziliyah, menasehati murid-muridnya dan para pelaku tarekat (Salik), “jika ilmu yang engkau dapatkan melalui jalur penyingkapan batin (kasyf) dan kemudian bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah maka amalkanlah al-Quran dan Sunnah itu, serta tinggalkanlah hasil penyingkapan batin tersebut.” (Ahmad bin ‘Ajibah, Iqazh al-Himam Syarh Matn al-Hikam, 2/302-303).

Semua pernyataan tegas para sufi besar di atas adalah pedoman dasar bagi publik awam untuk mengenal hakikat tarekat dan ilmu tasawuf. Tarekat dapat pula diibaratkan sebagai sebuah kendaraan yang digunakan menuju tujuan tertentu. Sedangkan ilmu tasawuf ibarat menu panduan bagaimana cara mengoperasikan dan mengendara dengan baik dan benar supaya selamat sampai tujuan. Satu-satunya menu dan pedoman yang terjaga kebenarannya adalah al-Quran dan Hadits.

Abul Husain al-Warraq mengilustrasikan seorang Salik yang akan selamat dalam perjalanannya, “seorang hamba tidak akan pernah sampai kepada Allah kecuali dengan/melalui Allah dan mengikuti jejak kekasih Allah dalam urusan syariat. Barang siapa yang membuat jalannya sendiri pada Allah tanpa mengikuti al-Quran dan Sunnah maka ia sesat pada saat sudah yakin dirinya mendapat hidayah.” (as-Salami, Thabaqat as-Shufiyah, 300).

Persoalan lain yang membuat tarekat dan ilmu tasawuf ini sejajar dengan ilmu fikih dan ilmu akidah adalah cara ulama Sufi dalam memeras inti sari al-Quran dan Sunnah secara sangat hati-hati, detail, dan mendalam. Sejak zaman Rasulullah hingga zaman kita sekarang, al-Quran dan Sunnah tidak berkurang dan tidak bertambah satu hurufpun. Namun, kajian ilmu fikih, misalnya, terus dinamis sepanjang waktu, lantaran ijtihad fuqaha’ (ahli fikih) dalam menghayati kandungan al-Quran Sunnah.

Hubungan antara ilmu tasawuf dan suluk tarekat sangat dekat. Salah satu pendapat yang patut diingat di sini adalah ucapan Imam Malik bin Anas Ra., Pendiri Mazhab Maliki, yang mengatakan:

“Barangsiapa yang bertasawuf tanpa Ilmu Fiqih, maka dia disebut zindiq (orang yang pura-pura beriman), dan barangsiapa yang mendalami Ilmu Fiqih tanpa bertasawuf maka dia disebut fasiq. Barangsiapa yang menyeimbangkan antara keduanya maka dialah ahli haqîqat yang sesungguhnya," (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 64).

Bentuk lain kedekatan ilmu fikih dan tasawuf adalah struktur epistemologi ilmu tasawuf yang menjadikan ilmu fikih sebagai sub-sistemnya. Hal itu terlihat dari pembagian tiga pilar agama: syariat, tarekat, dan hakikat. Pembagian semacam ini terkenal sejak ada riwayat hadits dari Umar bin Khattab ra, tentang malaikat Jibril as yang tiba-tiba datang dan menanyai Nabi Saw tentang arti Islam, Iman, dan Insan.

وقال: يا محمد أخبرني عن الإسلام. قال : الإسلام أن تشهد أن لاإله إلا الله وأن محمدا رسول الله وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت إن استطعت إليه سبيلا. قال: صدقت

Jibril bertanya: "wahai Muhammad, ceritakan padaku tentang Islam."

Rasulullah Saw menjawab: "Islam adalah hendaknya engkau bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan mengerjakan haji jika engkau mampu berjalan ke sana". (HR. Muslim).

Dengan kata lain, para Sufi yang melandaskan Amaliah dan Keilmuan mereka pada al-Quran dan Hadits, mustahil tidak mengerjakan syariat Islam, yang sekaligus menjadi fokus utama kajian ilmu fikih itu sendiri.

Perbedaan ilmu fikih dari ilmu tasawuf adalah dua sub-sistem berikutnya, yakni tentang Iman dan Ihsan. Pengertian Iman berdasarkan hadits riwayat Muslim di atas adalah:

أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره

"Hendaknya engkau beriman pada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab Allah, para Rasul Allah, Hari Kiamat, dan Takdir Baik maupun Buruk". Pembahasan iman akidah ini membuat dekat ilmu tasawuf dengan ilmu akidah. Namun, membuat berbeda ilmu tasawuf dari fikih, sebab fikih tidak membahas aspek keimanan.

Kekhasan ilmu tasawuf yang berbeda dari fikih sekaligus akidah adalah subsistem ketiga, Ihsan. Pengertian Ihsan berdasarkan hadits Muslim di atas:

أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك

"Hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika tidak maka Allah melihatmu." Pada akhirnya, ini wilayah kajian tentang hati manusia yang mampu beribadah sesuai syariat sekaligus seakan-akan mampu melihat Allah SWT. Alhasil, seorang Sufi dan Salik pasti memperkuat ilmu syariat (fikih) dan akidah sebelum masuk ke ranah Ihsan atau hakikat. 

Pendapat Abdul Wahab asy-Sya’rani, mengatakan, “tarekat yang ditempuh kaum ini (sufi) dilandaskan pada al-Quran dan Sunnah, seperti memurnikan emas dan permata, maka para penempuh tarekat (salik) haruslah menimbang segala gerak dan diamnya dengan timbangan syariat.” (Abdul Wahab asy-Sya’rani, Lathaiful Minan wal Akhlaq, juz 1: 2).

Alhasil, ilmu tasawuf yang menjadi pegangan para Salik, penempuh jalan spiritual Islam, tetap berlandaskan pada al-Quran dan Sunnah.

Selanjutnya, kesalahpahaman publik awam tentang tarekat dan tasawuf adalah tentang hubungannya dengan duniawi. Banyak orang berpikiran, mereka yang berkomitmen menjalankan tarekat pastilah orang-orang yang telah kalah bersaing dalam urusan duniawi; atau, tarekat dan tasawuf hanya cocok bagi orang-orang tua renta yang sudah mendekati akhir hayatnya, sehingga sepantasnya ingat mati dan mempersiapkan diri bagi kehidupan akhirat.

Ajaran al-Quran tidaklah seperti anggapan miring tersebut. Allah Swt berfirman: “dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, negeri akhirat. Dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari duniawi. Berbuat baiklah sebagaimana Allah berbuat baik bagi dirimu. Dan janganlah membuat kerusakan di muka bumi,” (Qs. Al-Qashash: 77).

Rasulullah Saw bersabda:

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ

“Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian,” (HR. Muslim, 4358). Hadits ini berkenaan dengan saran Rasulullah saw agar para petani buah kurma tidak mengawinkan mayangnya, karena menurut Nabi akan lebih baik. Namun, setelah tiba musim panen, hasilnya buruk. Saat mengetahui saran tersebut tidak mujarab, Nabi bersabda demikian, menegaskan bahwa untuk urusan duniawi, Nabi tidak lebih mengetahui dari orang kebanyakan.

Dalam konteks yang senada, sufis besar, Abu Yazid al-Busthami, mengatakan begini, “seorang Sufi adalah dia yang menggenggam al-Quran di tangan kanannya, Sunnah Rasul di tangan kirinya, mata yang kanan memandang surga, mata yang kiri memandang neraka, mengenakan pakaian dunia, berselendangkan selendar akhirat, serta di antara keduanya mengucapkan talbiyah: labbaikallahumma labbaik!”(Abdurrahman al-Badawi, Syathahat al-Shufiyah, 96). 

Pernyataan Abu Yazid di atas ini dapat diartikan sebagai keseimbangan dunia-akhirat dengan tetap bersandar pada al-Quran dan Sunnah. Inilah perilaku kaum Sufi di dunia ini.

Setelah basis ontologis dan epistemologis bagi ilmu pengetahuan kaum sufi (tasawuf) jelas-jelas berpijak pada al-Quran dan Sunnah, hal yang tidak kalah penting lainnya adalah tentang perilaku lahiriah para Sufi dan Salik yang menempuh Tarekat. Sebab, kaum Sufi merasa tidak cukup hanya dengan memberikan penjelasan melalui kata-kata. Kaum Sufi menginginkan seluruh murid dan santrinya yang sedang menempuh jalan Allah (Salikin) agar tahap demi tahap seluruh hidupnya dicurahkan untuk mendaki tangga spiritual. Hari demi hari terus mendekat pada Allah, dan tidak berharap tergelincir sedetikpun.

Secara garis besar, ada lima tahapan penting yang harus dilalui oleh semua Salik (penempuh tarekat); ilmu yang diamalkan, menjalin persahabatan, mujahadah diri, zikrullah, dan khalwat. Pertama-tama, kaum Sufi maupun Salik meyakini bahwa ilmu tidak bisa dipisahkan dari amal. Seorang Salik harus memulai dari belajar ilmu akidah untuk meluruskan keyakinannya pada Allah, ilmu fikih untuk membenarkan dalam ibadah maupun mualamat bersama orang lain, dan di tengah-tengah itu semua ia harus belajar ilmu tentang hati (‘ilm ahwal al-qalb), akhlak yang baik, serta membersihkan hati dari kotoran pikiran (tazkiyat an-nafs). Semua pengetahuan itu diterjemahkan dalam laku. Ilmu tasawuf tidak cukup kecuali untuk diamalkan. (Abdul Qadir Isa, Haqaiq ‘an al-Tashawwuf, 79).

Mengamalkan ilmu banyak godaan. Sering kali Salik gagal mengamalkan ilmu karena tidak bersama teman seperjuangan. Untuk itulah, kaum Sufi memandang pentingnya nilai persaudaraan spiritual (ash-Shuhbah). Ada banyak dalil tentang pentingnya beriman dan bertakwa kepada Allah secara berjamaah. Allah swt berfirman: “wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah keapda Allah dan jadilah kalian bersama orang-orang yang jujur, shadiqun” (Qs. At-Tawbah: 119).

Berjuang bersama-sama di jalan spiritual sedikit membantu seseorang dalam menghadapi godaan. Rasulullah saw bersabda: 

إنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاثًا، ويَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاثًا، فَيَرْضَى لَكُمْ: أنْ تَعْبُدُوهُ، ولا تُشْرِكُوا به شيئًا، وأَنْ تَعْتَصِمُوا بحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا ولا تَفَرَّقُوا

“Allah ridha tiga perkara untuk kalian dan benci tiga perkara; 1) Allah ridha kalian menyembah-Nya, 2) tidak menyekutukan-Nya dengan apapun, dan 3) kalian berpegang teguh pada tali (agama) Allah dan tidak bercerai berai” (HR. Muslim, 1715). Bersama-sama menjalankan agama Allah adalah prinsip persaudaraan yang hendak dibangun oleh para Sufi dan Salik, para pengamal tarekat. Abu Hamid al-Ghazali mengatakan, “hal wajib yang harus dimilik oleh seorang Salik di jalan kebenaran Tuhan adalah hendaknya ia memiliki mursyid atau murabbi yang akan menunjukkannya ke jalan yang ebnar, menghilangkan akhlak tercela, dan megajarinya akhlak yang terpuji.” (Al-Ghazali, Khalashah fi al-Tashawwuf, 18)

Setelah Persaudaraan dan komunitas terbangun, amaliah pengamal tarekat berikutnya adalah mujahadah diri, olah batin, olah rasa. Sufi dan Salik mencurahkan seluruh tenaga, fikiran, dan waktu untuk melawan hawa nafsu dan hasrat batin yang tercela, dengan cara mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Allah Swt berfirman: “dan orang-orang yang berjihad di jalan Kami, niscaya Kami akan tunjukkan ke jalan-jalan Kami,” (Qs. Al-‘Ankabut: 69). Rasulullah saw bersabda:

اَلْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي اللهِ

“seorang mujahid itu adalah orang yang berjihad melawan dirinya di jalan Allah,” (HR. at-Tirmidzi).  Tentang pentingnya mujahadah diri semacam ini, Abu Utsman al-Maghribi mengatakan, “barang siapa yang berpikir dirinya mendapat pencerahan atau mengalami penyingkapan batin tentang sesuatu tanpa disertai mujahadah sebelumnya, maka ia telah jatuh ke jurang kesalahan.” (Abu Qasim al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, 48-50).

Perjuangan setiap individu untuk membersihkan hati dan pikirannya, agar lahir perilaku sosial sehari-hari yang terpuji, ditempuh dengan banyak berzikir pada Allah (dzikrullah). Zikir itu menurut Imam Ibnu Atha’ as-Sakadari, pengarang kitab al-Hikam yang terkenal, adalah melepaskan diri dari jeratan lupa dengan menghadirkan Tuhan terus-menerus di dalam hati. Bisa juga menyebut nama Allah dengan hati dan lidah, mengingat sifat-sifat mulia Allah, hukum-hukum Allah, perbuatan-perbuatan Allah, dan cara lain yang bisa digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah. (Ibnu Athaillah as-Sakandari, Miftahul Falah wa Misbahul Arwah, 4).

Terakhir, amaliah yang banyak dilakukan kaum sufi dan salik, pengamal tarekat, adalah khalwat. Pengertian khalwat di sini adalah memutus hubungan dengan manusia dalam jangka waktu tertentu, meninggalkan segala amaliah duniawiah dalam jangka waktu singkat, supaya hati terbebas dari keinginan-keinginan hidup yang tidak pernah tuntas, mengistirahatkan pikiran dari kesibuhan sehari-hari, kemudian mengisi hati dengan dzikrullah (Abdul Qadir Isa, Haqaiq ‘an al-Tashawwuf, 162).

Amaliah Khalwat ini berlandaskan pada firman Allah swt: “sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah sepenuh hati,” (Qs. Al-Muzammil: 8), juga pada Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Aisyah ra., bahwa Rasulullah saw suka berkhalwat di Gua Hira. Penjelasan ini ada pada Bab Kaifa Kana Bad’ul Wahyi ila Rasulillah.

Secara umum, tarekat sebagai jalan menuju Allah swt adalah metode menerjemahkan al-Quran dan Sunnah ke dalam perilaku. Tidak ada amaliah dalam tarekat maupun laki spiritual para Salik yang melanggar syariat agama. Kesalahanpahaman publik awam tentang tarekat sering kali muncul dari fenomena sosial tatkala melihat sebagian orang yang mengaku mengamalkan tarekat namun lahiriahnya tampak tidak mengerjakan syariat formal. Namun begitu, prinsip dasarnya, ilmu tasawuf yang menjadi pegangan kaum Sufi bersumber dari al-Quran dan Sunnah, sebagaimana keilmuan dalam Islam pada umumnya, semisal ilmu akidah dan ilmu fikih.

*Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon.

Wallahu a’lam bis shawab. 

Daftar Pustaka

Abdul Qadir Isa, Haqaiq ‘an al-Tashawwuf, Aleppo: Dar al-Irfan, 2001.

Abdul Wahab asy-Sya’rani, Lathaiful Minan wal Akhlaq, Mesir: al-Mathba’ah al-Maymaniyah, 1903.

Abdurrahman al-Badawi, Syathahat al-Shufiyah, Kuwait: Wikalah al-Mathbu’at, 1949.

Abu Abdurrahman as-Salami, Thabaqat as-Shufiyah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1998.

Abu Qasim al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, Kairo: Dar Jawami’ al-Kalim, 2007.

Ahmad bin ‘Ajibah, Iqazh al-Himam Syarh Matn al-Hikam, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1983.

Al-Ghazali, Khalashah al-Tashanif fi al-Tashawwuf, Mesir: Mathba’ah al-Najah, 1909.

At-Thabari, Tafsir ath-Thabari, Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1994.

Ibnu Athaillah as-Sakandari, Miftahul Falah wa Misbahul Arwah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2001.

Ibnu Katsir, Tafsir Ibni Katsir, Riyadh: Dar Thayyibah, 1999.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini