Kedermawanan, Kotak Amal, dan Terorisme
Oleh: Slamet Tuharie | Pegiat Zakat NU CARE-LAZISNU
TRIBUNNEWS.COM - Tahun 2018, Indonesia dinobatkan oleh Charities Aid Foundation (CAF), sebuah Lembaga pemeringkat kedermawanan dunia yang berlokasi di Inggris sebagai negara paling dermawan di dunia. Dalam laporan bertajuk “CAF World Giving Index 2018: A Global View of Giving Trends,” skor Indonesia adalah 59 persen. Skor itu menempatkan Indonesia berada di atas Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Irlandia, Britania Raya, dan Singapura.
Penelitian CAF sendiri didasarkan atas tiga variabel kedermawanan, yaitu: membantu orang asing, menyumbangkan materi dan melakukan kegiatan sukarelawan) dan telah melibatkan 144 negara di Asia, Australia, Amerika, Eropa, dan Afrika. Posisi tiga negara terbawah dalam indeks ini ditempati oleh China, Yunani, dan Yaman. Laporan ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia gemar melakukan kegiatan filantropi dari berbagai aspeknya. Sementara untuk tahun 2020, masih dalam laporan yang dirilis oleh CAF, Indonesia masih berada di posisi 10 besar negara paling dermawan di dunia dengan penilaian atas nilai rata-rata selama 10 tahun terakhir.
Pencapaian indeks kedermawanan ini tentunya menjadi hal yang positif bagi bangsa Indonesia yang memiliki budaya 'Gotong Royong' dalam kesehariannya. Selain itu, tentu ada nilai positif bagi wajah Islam di Indonesia yang selain sebagai agama mayoritas di Indonesia juga sebagai agama yang mengajarkan kedermawanan. kemurahan hati dalam Islam diajarkan melalui doktrin agama baik dalam perspektif relasi sosial-vertikal maupun sosial-horizontal seperti zakat, infaq, shadaqah, qurban, dan wakaf.
Oleh karena itu, pertama kita patut bersyukur dan berbangga atas raihan indeks kedermawanan Indonesia yang sangat baik di mata dunia. Meskipun kemudian angka-angka baik ini pada praktiknya tidak semua memanfaatkannya dengan baik pula.
*Kotak Amal dan Terorisme*
Kotak amal, kini bukanlah hal yang susah ditemui di Indonesia. Mulai dari masjid, swalayan, toko retail, hingga warung makan, bisa kita jumpai ragam kotak amal dengan bentuknya yang variative dan informasi program yang juga semakin menarik. Paling banyak yang saya jumpai adalah program untuk membantu yatim piatu. Mengapa kemudian program anak-anak ini dijadikan sebagai program ‘unggulan’ di berbagai kotak amal?
Jawaban sederhananya adalah karena program kemanusiaan yang melibatkan anak bisa menjadi magnet bagi siapa saja yang melihatnya. Maka, bisa dicek di berbagai toko-toko retail, swalayan, ataupun warung makan yang ada kotak amalnya, hampir rata-rata program yang mereka usung adalah program untuk anak yatim piatu.
Harus kita akui bahwa program-program semacam ini adalah program yang baik, sekaligus menjadi media untuk membagi sedikit rizkinya kepada anak-anak yang kurang beruntung. Namun sayang, kemurahan hati masyarakat Indonesia ini justru dimanfaatkan oleh sebagian kelompok untuk mendanai kegiatan terorisme, seperti yang digrebek oleh Densus 88 di Deli Serdang, Sumatera Utara.
Saya memperhatikan melalui foto-foto yang tersebar di media, informasi program yang tersedia pada kotak amal yang disita Densus 88 tersebut juga tak jauh-jauh dari bantuan untuk yatim piatu. Bagi Sebagian orang, mungkin uang Rp. 500,- tidak ada artinya dan dianggap sebagai uang yang sedikit. Tapi, jika dikumpulkan dari ribuan atau bahkan puluhan ribu orang dan itu rutin setiap hari maka jangan ditanya jumlahnya berapa dan tak bisa diremehkan.
Kotak Infaq NU (KOIN NU), salah satu program unggulan NU CARE-LAZISNU misalnya, di beberapa daerah ada yang memperoleh milyaran rupiah dalam setiap tahun. Padahal para donator menyisihkan uangnya mulai dari Rp. 500,-, Rp. 1.000,- dan sebagainya. Bagaimana kalau para donator sampai menyumbang diangka yang jauh dari itu? Lagi-lagi, kotak-kotak amal ini tidak bisa dianggap sepele karena jika disatukan dan dalam aktifitas yang rutin nilainya akan begitu signifikan.
*Problem Kotak Amal Teroris*
Dari peristiwa di Deli Serdang, Sumatera Utara, mau tidak mau kita harus berpikir bahwa tidak semua potensi kebaikan itu dimanfaatkan dengan baik oleh orang-orang baik. Program yang semestinya menjadi jembatan kebaikan justru dijadikan sebagai sumber pendanaan bagi aktivitas kejatahan. Sebelumnya, Polri juga pernah menyampaikan bahwa kotak amal-kotak amal yang tersedia di minimarket yang disinyalir menjadi sumber pendanaan bagi para kelompok teroris.
Pengakuan soal penggunaan kotak amal untuk dana terorisme ini kemudian dibenarkan oleh FS, seorang terduga teroris yang ditangkap oleh Densus 88 dengan mengatakan bahwa sedikitnya ada 5.300 kotak amal yang disebar di wilayah Jawa Timur untuk mendukung aktivitas terorisme kelompok Jama’ah Islamiyah.
Oleh karena itu, ini menjadi problem serius bagi kita semua. Apa itu? Pertama, bahwa adanya kasus penyalahgunaan kotak amal untuk pendanaan kegiatan teroris tentu akan menurunkan kepercayaan masyarakat dalam bersedekah. Masyarakat akan dibuat bingung soal apakah ini program yang real, atau ini program kamuflase dari kelompok-kelompok teroris? Oleh karenanya pemerintah harus memberikan aturan yang jelas soal peredaran kotak amal ini. Dengan cara apa, itu yang harus dipikirkan bersama-sama.
Kedua, dengan munculnya bukti soal penyalahgunaan kotak amal tersebut, maka masyarakat harus tahu betul tentang profil Lembaga yang mengumpulkan donasi atau sedekahnya. Pengetahuan atas profiling Lembaga ini akan meminimalisir kesalahan dalam bersedekah. Jangan sampai niat kita bersedekah untuk kegiatan yatim piatu, justru dialihkan untuk kegiatan yang terindikasi pada kejahatan terorisme. Ini menjadi tanggungjawab bersama bagi pemerintah, Lembaga amil zakat dan Lembaga sosial untuk memberikan edukasi dan literasi kepada masyarakat tentang infaq, shadaqah maupun donasi.