OLEH : MANUMAYALSHAQ, Pegiat LIterasi Sejarah di Pati, Jawa Tengah
AWAL mula berdirinya kerajaan Sriwijaya di Sumatera tak ada hubungannya dengan kerajaan Mdang Matarãm di Jawa.
Setelah selang beberapa tahun kemudian berganti raja dan terakhir kali tercatat dalam sejarah terjadilah sebuah perkawinan silang, perkawinan politik antara Sriwijaya di Sumatera dengan kerajaan Mdang di Jawa.
Hubungan politik kerjasama dengan cara perkawinan inilah akhirnya kerajaan Sriwijaya di Sumatera dengan kerajaan Mdang di Jawa terjadi sebuah hubungan kekeluargaan.
Hasil dari perkawinan silang ini bertujuan membangun kerjasama dalam segala hal. Dalam prasasti Ligor A ditulis sebagai (tetangganya).
Dalam sebuah sumber prasasti dari India menyebutkan kakek Balaputradewa, raja Sriwijaya adalah "raja Jawa"
Dalam prasasti Nalanda India disebutkan Maharaja Balaputradeva adalah raja dari Svarnnadvipa.
Ibunya Tara, putri Dharmasetu, permaisuri dinasti Soma (Somawangsa), raja perkasa penguasa matahari dari Yavabhumi.
Beliau dari dinasti Sailendra, yang dikenal sebagai pembunuh musuh-musuh yang gagah berani.
Meskipun tulisan ini menyebutkan tentang pujian yang tinggi untuk semua pihak yang berwenang, dan tidak mengandung informasi mengenai identitas mereka, juga nama ayahnya Balaputradeva tidak diberikan, namun nama kakek dikatakan memiliki julukan seperti Sailendravamsatilaka Sri Viravairimathana.
Artinya ‘mustika keluarga Sailendra pembunuh musuh-musuh yang gagah perwira’.
Merujuk pada pendapat sejarawan Zakharov, dalam karya tulisannya, satu-satunya raja Jawa, yang di maksud dalam hal ini adalah penguasa Mdang Matarãm yang memiliki gelar dan julukan ‘mustika keluarga Sailendra pembunuh musuh-musuh yang gagah perwira’.
Tiada yang lain adalah Sri Maharaja Rakai Panamkarana Dyah Pancapana, sebagaimanan disebutkan di prasasti Kalasan 778 M, yang dalam Prasasti Mantyasih tahun 907 M disebut Sri Maharaja Rakai Panangkaran dan Wanua tengah III tahun 908 M, disebut sebagai Rake Panangkaran. Nama raja ini pula yang disebutkan di prasasti Ligor (775 M) dan Kelurak (782 M).
Menurut prasasti Wanua Tengah III, Rake Panangkaran ini berputra Rake Panaraban (yang dalam prasasti Mantyasih disebut Sri Maharaja Rakai Panunggalan). Rakai Panaraban berkuasa di Mdang, sesuai penanggalan di prasasti Wanua Tengah III, pada 784-803 M.
Setelah Rake Panaraban, menurut prasasti Wanua Tengah III, raja Medang yang berkuasa adalah Rake Warak Dyah Manara yang berkuasa pada tahun 803- 827 M (yang dalam prasasti Mantyasih disebut Sri Maharaja Rakai Warak).
Rakai Warak ini adalah putra dari Rake Panaraban atau Rake Panunggalan dan Rakai Warak ini cucu dari Rake Panangkaran.
Dari Prasasti Wanua Tengah III dan prasasti Nalanda dapat diperoleh keterangan kedua cucu dari Rake Panangkaran itu sama-sama menjadi "Raja Jawa", meski raja di dua tempat yang berbeda.
Rakai Warak Dyah Manara menjadi raja di Mdang Matarãm dan Balaputradewa menjadi raja di Swarnadwipa (Kerajaan Sriwijaya Pulau Sumatera).
Jika kakek dari Balaputradewa dapat diidentifikasikan sebagai Rake Panangkaran, apakah secara langsung dapat dikatakan Balaputradewa adalah putra Rake Panaraban, putra bungsunya?
Jika hal ini dibenarkan, dan penulis juga beranggapan demikian karena sesuai dengan penggambaran yang ada di prasasti Nalanda, ayah dari Balaputradewa adalah raja yang cakap dan gagah perwira yang digambarkan seperti Yudishtira, Paracara, Bhimasena, Karna dan Arjuna.
Dalam hal ini penulis berpendapat, Balaputradewa dapat menjadi raja di Swarnadwipa karena faktor perkawinan.
Balaputradewa yang menikah dengan putri raja Swarnadwipa,dari dinasti Soma (Somawangsa), dan ketika ayahnya raja Sriwijaya meninggal, dirinya lah yang mewarisisi kekuasaannya dan menjadi raja di kerajaan Sriwijaya.
Sebagai pangeran yang masih berketurunan dari raja Mdang di Jawa dan cucu dari penguasa Jawa sekaligus penguasa Sriwijaya Sumatera, semenanjung barat Malaya, hingga Khmer di Kamboja, tentunya hal tersebut bukan persoalan sulit bagi Balaputradewa menjadi raja di daerah taklukan kakeknya, "Raja Jawa".(*)