News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Catatan Merah untuk Menag Gus Yaqut!

Editor: Husein Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon.

Catatan Merah untuk Menag Gus Yaqut dan Jajarannya !

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*

TRIBUNNEWS.COM - Selamat bagi calon mahasiswa baru (Camaba) yang lulus seleksi masuk Universitas Al-Azhar Mesir, berdasarkan pengumuman Kemenag pada tanggal 11 April 2021 kemarin. Selamat juga bagi penyelenggara kegiatan seleksi calon mahasiswa Timur Tengah. Setelah tahun lalu ditunda karena pandemi Covid-19, tahun ini menjadi penanda awal dibukanya kembali ujian seleksi. 

Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Kemenag, Suyitno, mengatakan bahwa total ada 5.752 siswa yang mengikuti ujian seleksi studi ke al-Azhar Mesir. Dan telah dinyatakan lulus; 20 kuota beasiswa dan 1529 kuota non beasiswa (biaya mandiri) di Al-Azhar Mesir.

Dengan hanya 1.529 peserta dinyatakan lulus jalur non beasiswa (biaya mandiri) ke Universitas Al Azhar Kairo Mesir. Artinya, 4.173 orang yang tidak lulus ujian versi Kemenag. Hal ini sungguh sangat disayangkan. Cara-cara lama Kemenag untuk menghalangi dan merintangi mahasiswa Indonesia belajar ke Mesir masih terus dilakukan. Regulasi sengaja dibuat-buat demi memperkecil kuota ke Al-Azhar. Yang sudah bertahun-tahun dibatasi 1500an santru, padahal 4.173 adalah para santri yang mewakili ribuan pesantren di indonesia yang akan belajar khazanah Islam ke al-azhar dengan biaya mandiri dan al-azharpun tidak pernah membatasi.

Ada apa dengan pejabat kemenag yang alergi Universitas al-azhar? Pernahkan pejabat kemenag berfikir bagaimana nasib ribuan santri dan pesantren yang kader-kadernya dijegal kemenag ke azhar? Padahal mereka adalah generasi penerus dakwah Islam wasatiyyah/moderat di indonesia. Pertanyaan ini layak di ajukan karena selama 20 tahun ini kemenag sangat terobsesi menyeleksi santri yang akan studi ke al-azhar biaya mandiri (non-beasiswa) dan tidak melakukan untuk negara/kampus lain seperti yaman, syiria dll.

Berdasarkan hasil survei dan riset internal, penulis menemukan bahwa konten soal-soal ujian seleksi non-beasiswa versi Kemenag belum sesuai standard ujian seleksi versi Al-Azhar. Selain itu, soal-soal ujian seleksi versi Kemenag tidak kontekstual dengan realitas latar belakang pendidikan calon peserta. Tidak heran bila dari 5.752 peserta hanya lulus 1.529 calon mahasiswa mandiri dan sekitar 20 calon mahasiswa beasiswa. Sedangkan 4.000 lebih tersingkir.

Ironisnya, lulus tes Kemenag ini harus dimaknai bahwa 1.529 mahasiswa yang dinyatakan lulus oleh Kemenag harus mengikuti ujian seleksi berikutnya sesampainya di al-azhar. Dan sudah bisa dipastikan seperti tahun-tahun sebelumnya mayoritas tidak akan lulus, dari 1500 an yang lulus kemenag yang bisa langsung kuliah di azhar hanya puluhan saja dan ribuan sisanya tetap akan masuk kelas matrikulasi bahasa Arab al-azhar selama 1 tahun. Sebab, pola semacam ini sudah berjalan puluhan tahun dan Kemenag tidak pernah evaluasi diri.

Sebenarnya, untuk meningkatkan kemampuan bahasa arab bagi Camaba, pihak Al-Azhar telah menyediakan Lembaga dan Program Matrikulasi (Ma'had Lughah). Program matrikulasi Al-Azhar ini adalah solusi bagi ujian seleksi Kemenag yang "abal-abal". Disebut abal-abal karena Kemenag hanya melakukan filterisasi, bukan peningkatan skill (maharah) calon mahasiswa Indonesia. Buktinya 95% lebih calon mahasiswa hasil ujian seleksi kemenag gagal masuk al-azhar bahkan harus masuk Ma'had lugoh al azhar ( kelas matrikulasi bahasa level dasar). Sungguh ironis !

Padahal pada masa Menag Lukman Hakim, Al-Azhar, OIAAI dan kemenag telah bekerjasama untuk urusan peningkatan skill/maharah tersebut, dengan mendirikan Lembaga Matrikulasi bernama PUSIBA (Pusat Studi Islam dan Bahasa Arab). Di PUSIBA ini, Al-Azhar telah menetapkan 6 level yang harus dilalui oleh calon mahasiswa. PUSIBA adalah prestasi OIAAI dan Kemenag pada era Lukman Hakim Saifuddin (2014-2019). Dimana keistimewaanya alumni PUSIBA secara otimatis bisa diterima azhar tanpa tes masuk lagi. Sangat di sayangkan pada era Kemenag di bawah Gus Yaqut, ruang gerak PUSIBA justru dipersempit dan dikerdilkan. Bayangkan saja siswa tidak boleh ikut pendidikan PUSIBA tanpa lebih dahulu ikut ujian seleksi Kemenag.

Mensyaratkan peserta didik PUSIBA harus lulusan/rekomendasi dari Kemenag terkesan menghalangi santri-santri yang hendak belajar ke Al-Azhar. Jika tujuan pemerintah adalah mendapatkan kualitas terbaik, mestinya membiarkan calon mahasiswa yang gagal ikut tes (biaya mandiri) ikut pelatihan di PUSIBA. Sebab hal itu adalah hak mereka untuk meningkatkan skill dan kemampuan agar sesuai grade dan standart Al-Azhar, dengan mengikuti matrikulasi di PUSIBA.

Logika sederhananya, semakin banyak peserta didik PUSIBA, maka semakin lebih baik. Namun, jika tujuan pemerintah (Kemenag) adalah membatasi kuantitas, maka hal ini persoalan lain di luar tujuan meningkatkan kualitas Camaba. Jadi, jika ukurannya kualitas, kenapa dibatasi untuk ikut belajar di PUSIBA? Kenapa hanya diperuntukkan bagi Camaba yang hanya lulusan seleksi Kemenag saja?
Bukankah soal pendidikan dan mendapatkan kualitas maksimal adalah hak belajar mereka? Berbagai pertanyaan ini muncul karena sebelumnya diperbolehkan mengikuti matrikulasi Pushiba tanpa harus lulus ujian selesksi kemenag terlebih dahulu, sungguh mengherankan jika hari ini dilarang. Ini gerak mundur kemenag hari ini.

Apa yang dilakukan Kemenag memang sesuai dengan adagium publik yang menggambarkan mental birokrasi di Indonesia: "Jika aturan masih bisa dipersulit, untuk apa dipermudah?!" Karenanya, patut dipertanyakan: untuk apa seleksi masuk PUSIBA, jika lembaga ini memang bertugas untuk matrikulasi?!

Berdasarkan pengamatan internal kami, penulis menemukan indikasi bahwa Kemenag dan KBRI bersekongkol untuk meminimalisir calon mahasiswa baru dari Indonesia ke Al-Azhar. Ada banyak alasan mereka yang sering diungkap ke publik oleh pejabatnya, antara lain: ada mahasiswa Indonesia di Al-Azhar sebagai pelaku kriminal, pelecehan seksual, ada persoalan ekonomi, atau ada yang tidak lulus ujian kenaikan kelas, dan lainnya. Stigma/steroip inilah yang selalu digaungkan pejabat kemenag dan KBRI Mesir sebagai alasan harus meminimalisir calon mahasiswa azhar.

Penulis nyatakan semua "tuduhan Kemenag dan KBRI tersebut tidak bener", yang perlu dicatat dan ditandai adalah bahwa kalaupun ada itu merupakan oknum dan jumlahnya sangat kecil sekali, sehingga tidak pantas dijadikan alasan menjeneralisasi atas seluruh mahasiswa Indonesia di Mesir. Logika yang sama adalah bahwa salah satu Menteri Agama (Surya Darma ali) sebelumnya dinyatakan korupsi dan masuk penjara, menteri agama selanjutnya terindikasi korupsi, bahkan ada Dirjen dan Sekdirjen kemenag juga ada yang dipenjarakan. Namun, kasus oknum semacam ini tidak lantas dapat dijadikan alasan untuk menuduh Kemenag adalah sarang penyamun atau gudang koruptor. Karena kenyataanya 99% lebih pejabat kemenag jujur dan berintegritas tinggi. Maka penulis katakan, pejabat kemenag yang menstigma negatif mahasiswa azhar tersebut telah berfikit sungsang, tidak akademik berdasarkan data faktual yang dapat dipertanggung jawabkan.

Terkait tingginya jumlah camaba yang tidak naik kelas di azhar itu bukti paling nyata bahwa ujian seleksi kemenag selama ini abal-abal, dan bukti paling nyata adalah dari 1500an yang di luluskan ujian seleksi kemenag tiap tahunnya hanya puluhan saja yang bisa lulus seleksi masuk al-azhar dimesir, ribuan lainnya harus masuk darul lugah azhar ( kelas matrikulasi bahasa di al-azhar 1 tahun, bahkan mayoritas masuk level dasar), jadi kemenag tidak perlu mempercayai tim panitia pelaksana (pansel) ujian seleksi kemenag selama ini. Karena pansel tidak sesuai fungsi dan tujuannya.

Penting disampaikan, kami memohon kepada Kemenag untuk segera evaluasi diri dan mengubah regulasi.

Pertama, soal-soal ujian seleksi harus disesuaikan dengan kebutuhan Al-Azhar, bukan atas keinginan "politis" Team Panitia Seleksi (Pansel) yang tidak paham Al-Azhar.

Kedua, jangan batasi kuota santri/calon mahasiswa Indonesia yang berniat kuliah studi khazanah Islam di Al-Azhar. Justru Kemenag harus mendorong sebanyak mungkin santri di Indonesia belajar di Al-Azhar.

Ketiga, jika Kemenag memang tulus dan punya komitmen pada Islam Moderat, maka Al-Azhar adalah tempat yang tepat. Bukan justru sebaliknya, menghalangi dan mengganjal santri-santri yang ingin belajar di "pusat khazanah Islam moderat" dunia.

Keempat, Kemenag tidak pernah membatasi calon mahasiswa yang mau belajar ke negara-negara lain selain Al-Azhar, Mesir. Kenapa kemeneg selama ini terkesan ambisius membatasi mahasiswa non-beasiswa al-Azhar ? Jika yang dibatasi yang beasiswa silahkan saja itu hak kemenag.

Kelima, kami memohon Kemenag membuka lagi belenggu yang mengikat PUSIBA. Calon peserta didik PUSIBA tidak harus melewati lulus ujian seleksi Kemenag. Siapapun boleh ikut PUSIBA dan yang lulus PUSIBA boleh berangkat ke Al-Azhar tanpa harus ikut ujian Kemenag. Karena PUSIBA adalah lembaga matrikulasi resmi milik al-Azhar yang memberikan kesempatan kepada santri manapun untuk ikut dan bisa berangkas ke azhar bagi yang telah di nyatakan lulus.

Alhasil, kami azhariyyin dan kimunitas pesantren masih ingat, ketika Menag yang baru yaitu Gus Yaqut diangkat, sangat antusias dan berharap banyak ada pembenahan di internal Kemenag, terutama soal regulasi dan karut-marutnya seputar seleksi Camaba Azhar ini. Namun realitasnya hari ini membuat kami kembali kecewa, tapi ini belum terlambat, masih ada kesempatan menag untuk membuat kebijakan yang krusial tersebut setidaknya poin yang ke 5 terkait PUSIBA, sekali lagi kami "azhariyyin" dan komunitas pesantren berharap Menag segera mengeluarkan kebijakan perubahan yang mengutamakan keadilah dan kemaslahatan Ammah, inilah saat yang tepat bagi dirjen pendis dan menag mau mendengar suara dari banyak pihak, terutama dari kalangan pesantren, Azhariyyin, dan publik, tidak serta merta mengambil masukan dari bawahannya yang tidak tau menahu/sok tahu tentang azhar atau segelintir oknum Azhary yang tidak memihak pada Camaba karena bersifat politis.

Betapapun, modernisasi Indonesia dalam sejarah abad 19 tidak lepas dari peran Al-Azhar. Jaringan ulama yang ditulis Azyumardi Azra pun banyak mengungkap pengaruh Al-Azhar di Indonesia. Adalah sangat wajar mendorong Indonesia belajar dan menempuh pendidikan di al-Azhapr Mesir. Wallahu a'lam bishawab.*

*Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon.

Disclaimer: Hingga berita ini ditayangkan tribunnews telah menghubungi Dirjen Pendis Kemenag lewat telpon dan pesan singkat WA untuk melakukan konfirmasi namun belum ada jawaban.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini