Kontras dengan itu, Ganjar disebut-sebut menjadi penghalang bagi rencana regenerasi kepemimpinan yang diinginkan partainya.
Ringkasnya, Ganjar memang tidak mewarisi DNA Soekarno. Tapi sangat mungkin idealisme Bung Karno menitis ke dalam dirinya.
Dengan predikat selaku anggota parpol yang menolak menjadi petugas parpol itulah, Ganjar patut dikedepankan sebagai salah satu nama di barisan depan pemimpin Indonesia masa depan.
Sekaligus, dia berpotensi kuat menjadi figur pendobrak kejumudan parpol dan pemecah kepengapan iklim berpartai yang kian dahsyat belakangan ini.
Lalu, dengan siapa Ganjar pantas berduet?
Gudangnya tokoh kepercayaan daerah yang bebas dari ikatan parpol, tak lain, adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Secara normatif, di situlah berhimpun individu-individu yang memurnikan kembali sila keempat Pancasila. Bahwa, amanat rakyat harus dipikul langsung oleh wakil-wakil yang rakyat pilih, tanpa diperantarai parpol.
Dengan dasar berpikir seperti itu, satu dari sejumlah nama dari DPD yang layak untuk mendapat sorotan adalah La Nyala Mattalitti.
Plus minus, La Nyala akan komplementer dengan Ganjar Pranowo. Termasuk, La Nyala adalah sosok murni independen, sementara Ganjar hingga kini masih merupakan sosok parpol betapa pun ia menolak menjadi petugas parpol.
Ketika mereka berdua disandingkan, misalnya Presiden La Nyala Mattalitti dan Wakil Presiden Ganjar Pranowo, tercerminlah sekian banyak kebhinekaan Indonesia.
Tinggal lagi tantangannya adalah bagaimana kita bisa membuka ruang bagi calon presiden independen.
Amandemen UUD adalah pembuka jalan untuk itu. Dan, kuncinya ada pada kesadaran rakyat: sampai berapa lama mereka sudi sepenuhnya dikerdilkan eksistensinya oleh orang-orang yang boleh jadi lebih loyal pada partainya ketimbang menyayangi masyarakatnya?
Presiden adalah petugas rakyat. Namun ironisnya, ketentuan yang ada justru presidential threshold terus menjadi mainan parpol.
Inikah kedaulatan rakyat? Atau justru kedaulatan parpol?
Penulis: Abdul Rachman Thaha
Anggota Komite I DPD RI