Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Masih ingatkah kita akan kisah Sisifus dalam mitologi Yunani?
Gara-gara mencuri rahasia para dewa, Sisifus dikutuk untuk melakukan pekerjaan sia-sia.
Dia harus mendorong batu besar ke puncak gunung. Ketika hampir mencapai puncak, batu itu digelindingkan lagi oleh dewa ke bawah.
Lalu Sisifus harus mendorongnya lagi ke puncak, digelindingkan lagi ke bawah, didorong lagi ke puncak, begitu seterusnya.
Adalah Albert Camus (1913-1960), sastrawan eksistensialis asal Perancis, yang tahun 1942 menulis “Le Mythe de Sisyphe” (Mitos Sisifus), yang bercerita tentang kutukan Sisifus itu.
Pandemi Covid-19 yang sedang melanda dunia, termasuk Indonesia, tampaknya analog dengan kisah Sisifus ini.
Betapa tidak. Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 yang pertama kali ditemukan di Wuhan, Tiongkok, Desember 2019, dan menyebar ke Indonesia mulai 2 Maret 2020, adalah ibarat batu besar yang harus didorong Sisifus ke puncak gunung.
Baca juga: Suhendra Dukung Terawan Kembangkan Vaksin Nusantara
Begitu hendak mencapai puncak, batu itu menggelinding lagi ke bawah, demikian seterusnya.
Segala daya dan upaya sudah dikerahkan pemerintah Indonesia, baik pusat maupun daerah, untuk menghalau penyebaran Covid-19.
Namun sebentar mereda, selanjutnya mengganas lagi. Mereda, mengganas lagi. Begitu seterusnya.
Selain melakukan upaya kuratif dengan mengobati pasien yang sudah terlanjur terjangkit, pemerintah juga gencar melakukan upaya preventif melalui vaksinasi Covid-19 yang ditargetkan menyasar 181,5 juta penduduk.
Menjelang Idul Fitri 1442 H lalu, kurva positif Covid-19 sempat melandai. Covid-19 RI menunjukkan data yang melandai tepat pada ulang tahunnya yang pertama, Selasa (2/3/2021).
Penambahan kasus positif Covid-19 pada hari itu mencapai 5.712 orang, menurun jika dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya yang mencapai di atas 6.000 bahkan 10.000 orang per hari.
Masyarakat pun girang. Mereka yang merantau berlomba mudik. Dengan cara apa pun. Padahal pemerintah melarang.
Usai Lebaran, grafik positif Covid-19 kembali menanjak. Sejak Senin (21/6/2021), angka positif Corona telah menembus 2 juta.
Jumlah orang yang meninggal akibat virus Corona di Indonesia bertambah 371 orang menjadi 54.662 orang. Jumlah ini setara 2,7% dari kasus positif Corona.
Banyak orang berjatuhan. Bagi yang komorbid, pagi sakit, sore mati. Sore sakit, pagi mati. Rumah sakit terpaksa tidak bisa menerima pasien karena kapasitasnya sudah penuh. Pasien terpaksa isolasi mandiri di rumah.
Ada pula yang meninggal di perjalanan. Situasinya mirip dengan apa yang digambarkan Albert Camus dalam novelnya, "La Peste" atau "Sampar" (1947), meski tak seseram itu.
Corona juga menyasar anak-anak. Dari total kasus positif Covid-19 nasional saat ini, 12,5% dikontribusikan anak usia 0 hingga 18 tahun. Ini menunjukkan satu dari delapan kasus positif Covid-19 di Indonesia merupakan anak.
Absurd
Kematian itu absurd. Dengan usia sama, kondisi badan sama, gejala sama, mereka yang terjangkit Covid-19 ada yang mati dan ada yang sembuh. Padahal obatnya sama.
Corona juga absurd. Seseorang sudah divaksin, tetapi tetap saja terjangkit. Makin kuat imunitas, makin kuat virus yang menyerang.
Bahkan kemudian muncul virus varian baru yang lebih ganas, yakni Delta setelah Alpha dan Beta.
Mengapa Corona di Indonesia terus menggila, sehingga upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dan masyarakat seakan sia-sia laiknya pekerjaan Sisifus?
Sedikitnya ada tiga faktor penyebab. Pertama, munculnya Covid-19 varian baru, yakni Delta.
Karena munculnya varian baru inilah maka meskipun seseorang sudah divaksin, tapi tetap bisa terjangkit.
Kedua, kendornya masyarakat menerapkan protokol kesehatan, yakni "5M" (manjaga jarak, memakai masker, mancuci tangan, membatasi mobilitas dan menghindari kerumunan).
Tapi ini juga dilematis karena masyarakat memang sudah lelah dan jenuh mengurung diri di rumah lebih dari setahun.
Jadi, ketika ada sedikit celah, ibarat bendungan dibuka pintunya dan menjadi bah. Sebagian bahkan tidak takut mati menghadapi Corona. Mereka lebih takut anak istrinya kelaparan karena tidak bekerja. Inilah absurditas lainnya.
Ketiga, belum maksimalnya "3T", yakni "testing" (pengetesan), "tracing" (penelusuran), dan "treatment" (perawatan).
Sebab itu, mari kita perkuat 5M dan 3T supaya nasib kita tak seperti Sisifus. Sampai kapan? Inilah absurditas lainnya lagi.
Mengapa Indonesia seolah "dikutuk" laiknya Sisifus, sementara negara lain, bahkan Tingkok sebagai asal Corona sudah berhasil membebaskan diri dari virus mematikan itu?
Seperti Sisifus yang mencuri rahasia para dewa, kita pun suka mencuri-curi aturan untuk melanggar protokol kesehatan, bahkan mencuri anggaran.
Kasus dugaan korupsi anggaran bansos di Kementerian Sosial dan Kabupaten Bandung Barat adalah contohnya. Itulah!
* Karyudi Sutajah Putra, pegiat media, tinggal di Jakarta.