Mereka pada umumnya memiliki pola pikir materialis yang mengukur dan menilai segala sesuatu berdasarkan nilai materi.
Permasalahannya adalah tanpa ada kearifan lokal dari masyarakat setempat, budaya gotong royong mungkin sudah sirna (hilang).
Hasil studi empiris di Desa Huyula, sebuah desa di Kecamatan Mootilango, Kabupaten Gorontalo yang dilakukan oleh Rasid Yunus dan dituangkan dalam buku berjudul “Nilai-nilai kearifan lokal (local genius) sebagai penguat karakter bangsa”, diketahui, masyarakat Desa Huyula masih kental dengan tradisi gotong royong dalam beberapa kegiatan.
Misalnya, kegiatan Ambu, yaitu kegiatan Jum’at Bersih dimana pemerintah kecamatan dan staf kantor camat serta masyarakat setiap hari jum’at membersihkan selokan air dan masjid-masjid guna memperingati hari-hari besar agama Islam.
Tradisi gotong royong juga mereka lakukan saat ada keluarga atau kerabat yang mengalami kedukaan, kegiatan tersebut dinamakan Hileiya yaitu dengan memberikan sejumlah uang melalui ibu-ibu PKK yang dikumpulkan untuk diberikan kepada keluarga yang sedang berduka.
Nilai-nilai kearifan lokal ini perlu diwariskan kepada generasi muda Desa Huyula yang salah satunya dapat dilakukan melalui pendidikan karakter dengan mengintegrasikan pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Gotong-royong sebagai warisan budaya tak benda juga nampak jelas dalam kehidupan masyarakat Betawi. Ini terlihat saat sedang punya hajat (acara).
Umumnya dalam setiap hajatan, mereka melakukan apa yang disebut dengan istilah “nyambut” atau “sambatan”.
Mereka memberi bantuan baik dalam berupa bahan makanan maupun uang untuk membantu pelaksanaan acara (hajatan).
Nilai budaya tersebut adalah salah satu contoh gotong royong dan kekeluargaan dalam masyarakat Betawi.
Mereka tidak meminta imbalan saat itu karena mereka menyadari bahwa suatu saat nanti jika mereka mengalami kerepotan maka tetangga mereka juga akan membantu dan tidak akan membiarkan mereka kerepotan sendirian.
Demikian pula dengan kearifan lokal suku bangsa Betawi. Mengingat etnis Betawi berada di ibukota Jakarta yang banyak didatangi oleh etnis lainnya dari luar Jakarta, maka dikhawatirkan ketahanan budaya lokalnya akan terkikis.
Apalagi dengan pembangunan dan pengembangan kota Jakarta yang semakin gencar dilakukan menyebabkan banyak etnis Betawi yang tergusur ke daerah-daerah perbatasan Jakarta.
Untuk itu diperlukan strategi penguatan budaya lokal Betawi sebagai salah satu dasar pembentukan jatidiri dan karakter bangsa.