Penulis:
Abdul Rachman Thaha
Anggota DPD RI
TAK henti-henti artis diamankan karena menjadi pelaku prostitusi. Namun setiap kali itu pula selebritas yang telah menjadi pelaku prostitusi daring pada akhirnya lenggang kangkung seolah tak bikin gaduh, tak buat salah.
Otoritas penegakan hukum tidak mampu menjangkau si selebritas. Tidak ada yang baru sesungguhnya. Semua merupakan pengulangan situasi-situasi serupa pada waktu-waktu sebelumnya.
Otoritas penegakan hukum tampaknya menangani kasus-kasus prostitusi artis dengan berpijak pada Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO).
Kalau mau benar-benar konsekuen, otoritas penegakan hukum seharusnya 'bekerja lebih maksimal' dengan memproses sesuai ketentuan agar kepada para pelaku prostitusi artis itu diberikan ganti rugi (restitusi) selaku korban perdagangan orang.
Di Indonesia, sebagaimana tercermin dalam UU TPPO, prostitusi dianggap sebagai bentuk perdagangan orang.
UU TPPO kentara dilandaskan pada Konvensi PBB Tahun 1949 untuk Pemberantasan Perdagangan Orang dan Eksploitasi Prostitusi.
Esensinya, perdagangan orang merupakan bentuk eksploitasi, dan prostitusi dipandang mengandung praktik serupa.
Karena keduanya diposisikan sama, secara logis berlakulah dekriminalisasi prostitusi.
Indonesia hingga kini masih tergolong negara yang menerapkan pendekatan dekriminalisasi parsial terhadap prostitusi.
Menyerupai Swedish Model, muncikari dan konsumen si pelaku prostitusi menjadi target sanksi hukum, sedangkan si pelaku prostitusi sendiri terproteksi dan dibantu agar keluar dari kondisi tereksploitasi.
Penerapan dekriminalisasi pula yang, berdasarkan kajian, menyebabkan otoritas penegakan hukum tidak menempatkan prostitusi sebagai prioritas kerjanya.
Sejak disahkan pada 2007, UU TPPO kini tertatih-tatih mengejar perkembangan dunia prostitusi yang kian canggih.
Penyamarataan antara prostitusi dan perdagangan orang abai terhadap realitas bahwa dewasa ini sebagian mereka yang menjadi pelaku prostitusi adalah orang yang memilih berdasarkan perhitungan ekonomis untung rugi.
Baca juga: Miss Connecticut USA 2011, Regina Turner Diceraikan Suami karena Terlibat Skandal Prostitusi
Si pelaku prostitusi berkehendak dan memutuskan sendiri, tanpa dipaksa, menjadi penjaja seks. Dia adalah pelaku aktif dalam bisnis lendir.
Variasi prostitusi itulah yang lantas dirumuskan pada The 1995 Platform of Action pada Konferensi Dunia tentang Perempuan di Beijing.
Yakni, ada involuntary prostitution (forced prostitution) dan ada voluntary prostitution.
Para selebritas merangkap pelaku prostitusi yang diringkus kepolisian, berdasarkan perlakuan hukum yang mereka terima, tampaknya disikapi sebagai involuntary prostitute.
Padahal, amat-sangat mungkin para pelaku prostitusi kelas kakap tersebut adalah voluntary prostitute.
Pembedaan dua tipe prostitusi tersebut sepatutnya berimplikasi pada perlunya mekanisme penanganan yang berbeda satu sama lain, bergantung pada jenis prostitusi yang sedang ditangani.
Pelaku prostitusi yang menggeluti bidang tersebut berdasarkan keinginannya sendiri bahkan memperoleh pendapatan dalam jumlah fantastis serta mempekerjakan manager laiknya pekerja profesional, dapat disetarakan sebagai pekerja seks profesional (PSK).
Berbeda dengan mereka yang dipaksa atau diekploitasi menjadi pelaku prostitusi, sehingga dapat disebut sebagai budak seks.
Pelaku prostitusi yang termasuk dalam tipe PSK (voluntary prostitute) meruntuhkan dasar berpikir UU TPPO bahwa prostitusi merupakan praktek perdagangan orang.
Unsur eksploitasi tidak ada di dalam praktik prostitusi seperti itu.
Prostitusi semacam itu secara sengaja dan sukarela tidak memfungsikan keberdayaannya--baik secara fisik, psikis, ekonomi, maupun sosial--untuk mengelak atau keluar dari dunia prostitusi.
Mereka bukan korban perdagangan orang, melainkan pelaku perdagangan layanan seksual.
Realitasnya, di sini ada kekacauan berpikir-bekerja. Prostitusi tidak dibenarkan, tetapi penindakan juga tidak bisa dilakukan secara menyeluruh akibat anggapan bahwa prostitusi adalah perdagangan orang.
Kekacauan itu memantik sinisme di tengah masyarakat. Getahnya mengena ke kepolisian.
Pemberian status korban kepada artis yang tertangkap basah sebagai pelaku prostitusi daring, dirasakan publik laksana menerabas pagar moral bahkan menggagahi akal sehat.
Atas dasar itu, ihwal tipe-tipe prostitusi mendesak untuk dimasukkan ke dalam revisi pasal-pasal--utamanya--UU TPPO dan UU KUHP.
Kriminalisasi terhadap pekerja seks komersial ditegakkan sebagai cara untuk menyumbat peluang dijadikannya prostitusi sebagai bidang profesi.
Merevisi UU butuh waktu tidak sebentar.
Agar tidak terjadi kekosongan hukum, dari pintu yang lain, masing-masing pemerintah daerah dapat menyusun larangan maupun mempertegas ancaman sanksi bagi pihak-pihak yang menyalahgunakan tempat-tempat penginapan sebagai lokasi transaksi narkoba, prostitusi, dan bisnis-bisnis terlarang lainnya.
Bersamaan dengan itu, sanksi sosial harus bisa ditegakkan tanpa menunggu revisi UU. Ambil misal, rumah-rumah produksi berhenti mengontrak artis yang kedapatan menjadi pelaku prostitusi.
Kepada artis-artis itu juga tak perlu disandangkan penamaan eufemistik. Alih-alih PSK, sebut saja mereka adalah pelaku prostitusi.
Komisi Penyiaran Indonesia dapat membuat ketentuan untuk memastikan para pelaku prostitusi daring tidak muncul di acara-acara yang disiarkan di layar kaca.
Audiens, teristimewa anak-anak, tidak sepantasnya mendapat pelajaran ngawur bahwa dengan diamankan polisi, pelaku prostitusi--artis justru semakin laris.
Juga, untuk memastikan para pelaku prostitusi artis itu tidak menjadi agen penyakit menular seksual, kepada mereka dikenakan wajib lapor sekaligus wajib periksa secara rutin di rumah sakit umum daerah.
Akhirul kalam, bolehlah ditanya apa sesungguhnya pekerjaan utama mereka, para artis yang di-OTT polisi saat menjajakan tubuh mereka.
Manakah sebutan yang lebih tepat: pelaku prostitusi yang menyambi sebagai artis ataukah artis yang menyambi sebagai pelaku prostitusi?