BERTEPATAN dengan momen agung Agustus, tersebar isu bahwa Pilpres 2024 akan diundur ke 2027.
Dan sebagai antisipasi terhadap kemungkinan penolakan dari partai-partai politik, terutama dari kubu oposisi, rencana pengunduran Pilpres itu akan juga disertai dengan pengunduran jadwal Pileg DPD dan DPR ke 2027.
Sungguh imbal balik politik yang rendahan.
Tawaran pengunduran Pileg tersebut jelas sangat menggiurkan.
Menggiurkan bagi mereka yang sampai hati bermain-bermain dengan konstitusi demi memuaskan berahi kekuasaan.
Kalangan yang setuju dengan ide memanjang-manjangkan masa kekuasaan, tak terkecuali dengan mengundurkan jadwal Pilpres dan Pileg serta memperpanjang masa jabatan presiden, sangat mungkin akan mengklaim bahwa situasi pembangunan dan kenegaraan saat ini sudah berada di titik ideal, sehingga harus dipertahankan lebih lama lagi.
Namun bagi saya, dengan asumsi negara berada dalam situasi paling positif sekali pun, status quo tetap merupakan jebakan zona nyaman.
Pihak-pihak yang pro memanjang-manjangkan kekuasaan secara sistematis membangun skeptisisme bahkan pesimisme massal Indonesia mampu menemukan pemimpin dan wakil rakyat yang lebih mumpuni.
Walau tak diucapkan gamblang, namun nyaring terdengar deru napas kalangan yang ingin membangkitkan spirit pemuas-muasan diri sendiri dan pengultusan pribadi.
Jelas, itikad tidak baik itu harus dicegat secepat mungkin. Jangan dibiarkan beranak-pinak.
Masyarakat harus diberi tahu akan adanya saling bujuk di kalangan elit politik untuk mengayun-ayunkan kepercayaan rakyat.
Dulu Konstituante oleh Presiden dibubarkan karena, sebagaimana kajian banyak ilmuwan, dinilai dapat membahayakan kehidupan kebangsaan.
Kini, kita patut awas bahwa pilar-pilar politica justru berangkulan sebagai persekutuan yang seia-sekata ingin memundurkan roda sejarah.
Ini oligarki yang berbahaya!
Mahasiswa, akademisi, lembaga swadaya, dan segenap elemen masyarakat perlu diperingatkan akan kehendak regresif dari oligarki politik itu.
Jelas, pengingat ini tidak akan ada artinya jika masyarakat terbeli. Dan ini bukan kekhawatiran kosong.
Sekian banyak kalangan menyebut politik kita sebagai politik berbiaya tinggi.
Kali ini pun, guna menggolkan wacana pengunduran jadwal Pilpres dan Pileg pun, tidak tertutup kemungkinan oligarki akan memperagakan plutokrasi.
Begitu pula dalam isu perpanjangan masa jabatan presiden.
Yakni, memanfaatkan kesempitan hidup masyarakat dengan mengucurkan nominal sebesar-besarnya agar mereka terhasut mendukung pengunduran jadwal pesta demokrasi serentak dan perpanjangan periode jabatan presiden.
Tapi bukankah pengunduran jadwal Pileg dan Pilres menguntungkan bagi saya?
Saat ini saya memang menduduki kursi anggota DPD. Namun saya, tanpa keraguan, menentang pengunduran jadwal Pilpres dan Pileg dari 2024 ke 2027.
Ini merupakan kelengkapan sikap saya sebelumnya, yakni menolak perpanjangan masa jabatan presiden ke tiga periode dan seterusnya.
Kesempatan bagi rakyat untuk memilih dan dipilih harus diselenggarakan tetap pada waktu yang seharusnya, yaitu 2024.
Itu bukan semata-mata hajatan besar yang diadakan secara rutin.
Pada tataran fundamental, Pileg dan Pilpres adalah kesempatan bagi rakyat untuk menentukan arah baru Indonesia, arah baru bagi kehidupan rakyat itu sendiri.
Termasuk kesempatan meluruskan arah perpolitikan negara yang kian hari kian senjang dari ekspektasi masyarakat luas.
Masyarakat yang berkepercayaan diri tinggi dalam interaksi antarbangsa namun rendah hati di hadapan Tuhan, yang mendambakan Indonesia membangun tanpa utang, menegakkan hukum tanpa tebang pilih, dan dipimpin oleh elit yang berfokus pada kerja nyata -- bukan pada citra.
Penulis:
Abdul Rachman Thaha (ART)
Anggota Komite I DPD RI