News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Memahami Arti Merdeka dan Tantangan Saat Ini

Editor: Setya Krisna Sumarga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan RI di halaman Istana Merdeka Jakarta, Selasa (17/8/2021).

OLEH : AWESTI TUNGGO ARI, Alumnus FH dan Notariat UGM 

Awesti Tunggo Ari, Penulis Lepas (Dokumentasi Pribadi Awesti TA)

KEBEBASAN dari cengkeraman tangan kolonialis sudah kita nikmati selama 76 tahun, sejak negara kita memproklamirkan diri sebagai negara merdeka pada 17 Agustus 1945.

Sudah tujuh orang presiden memimpin negeri ini dengan gaya kepemimpinan yang berbeda. Pasang surut di berbagai lini kehidupan sudah pula kita alami.

Sebelum pandemi Covid -19, perayaan ulang tahun kemerdekaan biasanya kita adakan dengan gegap gempita hampir di seluruh sudut negeri.

Pekik kemerdekaan warisan Bung Karno, sang proklamator juga masih sering kita dengar.

Kemerdekaan negara sejatinya bukan saja memiliki arti terbebas dari penjajahan bangsa lain, tetapi memiliki beberapa pemahaman.

Kemerdekaan di bidang ekonomi, politik dan budaya. Kemerdekaan di bidang ekonomi berarti kita tidak tergantung pada negara lain, kita mampu berdiri di atas kaki sendiri, menentukan kebijakan secara bebas.

Demikian juga kemerdekaan di bidang politik dan budaya.

Negara yang merdeka semestinya membawa serta kosekuensi kemerdekaan bagi setiap warga negaranya secara individual, seperti merdeka untuk beribadat sesuai agama dan keyakinannya.

Merdeka berpendapat, merdeka untuk belajar dan mengembangkan diri, hidup dalam suasana tentram dan damai, dan menikmati kemerdekaan-kemerdekaan lainnya dengan batasan aturan negara dan nilai kesusilaan, sehingga kemerdekaan yang dimiliki seseorang tidak merugikan pihak lain.

Kemerdekaan secara fisik memang sudah kita dapatkan tetapi betulkah kita sudah benar benar bebas dari pengaruh kolonialisme masa lalu?

Pertanyaan masih cukup besar terpampang di depan mata, jika kita melihat kembali catatan sejarah bangsa kita.

Kerusuhan Mei 1998 dan peristiwa penyerangan asrama mahasiswa Papua di Surabaya tahun 2019 adalah dua dari beberapa contoh kenyataan yang pernah terjadi.

Rasisme diartikan sebagai rasialisme. Rasialisme adalah prasangka berdasarkan keturunan bangsa, perlakuan berat sebelah terhadap suku bangsa yang berbeda beda (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Rasis memicu terjadinya konflik dan perpecahan dan merusak tatanan dan suasana damai yang sudah terjadi dalam masyarakat.

Rasis berkaitan dengan pemahaman etnosentrisme, prasangka dan diskriminasi. (Liputan6.com, 09 Mar 2021)

Etnosentrisme adalah pandangan kelompoknya, dalam hal ini etnisnya, sendiri lebih tinggi atau lebih baik dari kelompok lain.

Prasangka muncul karena stereotyping atau karena generalisasi. Melihat fenomena yang ada pada seseorang atau beberapa orang, kemudian mempunyai persepsi bahwa orang lain yang sekelompok dengan orang tersebut, juga memiliki watak, perilaku atau kebiasaan yang sama.

Diskriminasi menunjuk pada perlakuan yang berbeda terhadap orang dari kelompok arau ras lain, dan biasanya cenderung perlakuan yang negatif.

Pola pikir rasis timbul karena merasa kelompoknya lebih unggul dinadingkan kelompok lain. Kelompok yang rentan terhadap perlakuan rasis biasanya adalah kelompok etnis minoritas.

Pada jaman pendudukan Belanda dahulu, melalui Regerings Reglemen (RR) tahun 1854, pemerintah kolonial mengadakan pembagian penduduk menjadi 3 golongan yaitu : 1. Golongan Eropa  2. Golongan Timur Asing yang terdiri dari Tionghoa dan non Tionghoa dan 3. Golongan Pribumi.

Kepada masing-masing golongan penduduk tersebut diberlakukan hukum yang berbeda. Pembagian penduduk itu diadakan untuk kepentingan politik kolonial Belanda.

Sejak zaman dahulu kala, bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat majemuk yang terdiri dari banyak suku bangsa, agama, budaya, adat kebiasaan dan bahasa.

Kekhawatiran akan timbulnya perlawanan dari rakyat, mendorong pemerintah kolonial menjalankan politik memecah belah atau yang dikenal dengan devide et impera, dengan mengadakan pembagian golongan penduduk secara eksklusif.

Setelah kita merdeka, tugas pokok kita selanjutnya adalah memajukan peradaban bangsa, menuju cita cita Indonesia maju, menjadi bangsa bermartabat di kancah pergaulan dunia.

Banyaknya  suku bangsa, ras, budaya, adat istiadat dan bahasa, menuntut kita semua menyadari keberagaman itu.

Menuntut kita memiliki sikap mental yang peka akan keadaan. Kita memang beragam, namun kita adalah bangsa yang satu, dan menuju pada tujuan yang sama yang hendak kita capai bersama.

Keberagaman yang ada bukanlah menjadi alasan untuk terpecah. Unity in diversity, satu dalam keberagaman  adalah slogan yang tepat kita praktekkan dalam hidup bersama sebagai bangsa yang besar.

Keberagaman bukan alasan untuk terpecah namun justru saling melengkapi, saling memperkaya satu sama lain.

Untuk mencapai tujuan Indonesia yang maju, bermartabat dan diperhitungkan dalam kancah internasional, perlu suasana damai dan tentram, oleh sebab itu segala macam kejadian kelam yang berbau rasis hendaklah kita hindari.

Dalam tataran pribadi, kita harus memupuk rasa saling pengertian dan pemahaman akan ras, suku bangsa lain yang hidup di negeri yang sama.

Rasisme merupakan warisan pemerintah kolonial, bukan sikap mental asli bangsa kita. Memupuk sikap rasis sama artinya dengan melanggengkan gaya memecah belah pemerintah kolonial yang sekarang tinggal menjadi bagian dari cerita sejarah.

Dalam tataran keluarga, pendidikan multikulturalisme, hendaknya disampaikan sejak anak anak usia dini, sehingga kelak jika anak sudah dewasa bisa hidup berdampingan dengan suku bangsa, ras lain dalam harmoni dan saling menghargai.

Mindset rasis harus diubah, walau tidak mudah, demi terciptanya kehidupan masyarakat yang damai dan tentram.

Anggapan bahwa etnis minoritas adalah “orang luar” harus diubah, sebab mereka sudah berada di negeri ini, hidup di negeri ini, sebelum kolonial bercokol di sini.

Sejarah yang tertulis dalam buku pelajaran anak anak sekolah juga harus diluruskan. Kontribusi etnis minoritas pada perjuangan kemerdekaan bangsa harus diakui sebagaimana mestinya.

Peraturan hukum yang mengandung perlakuan diskriminasi terhadap etnis tertentu juga harus dikaji ulang dan diubah.  Semoga.(*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini