News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Virus Corona

Dilema Pembelajaran Tatap Muka

Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Siswa dan guru mengikuti Simulasi Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di SD Negeri Cimahi Mandiri 2, Kota Cimahi, Jawa Barat, Selasa (25/5/2021). Dinas Pendidikan Kota Cimahi menggelar simulasi pembelajaran tatap muka yang dilaksanakan di 27 PAUD/TK, 102 SD, dan 38 SMP sebagai persiapan pelaksanaan pembelajaran tatap muka pada 19 Juli 2021 mendatang.

Oleh: Sawedi Muhammad
Sosiolog Universitas Hasanuddin, Makassar

MAS Menteri Nadiem Makarim mengadu ke Komisi X DPR RI karena perintah untuk mengadakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) bagi daerah yang telah memasuki PPKM level 3 ditentang oleh puluhan pemerintah daerah khususnya di Sumatera.

Salah satu yang paling reaktif terhadap aduan Mas Menteri adalah Arinal Djunaidi, Gubernur Lampung.

Dapat dipahami kekhawatiran Gubernur Lampung karena vaksinasi di wilayahnya masih di kisaran 50% - belum tangguh dalam membentuk imunitas kawanan (herd immunity) yang vaksinasinasinya secara teori - harus di kisaran 60-70%.

Epidemiolog Windhu Purnomo bahkan menyebutkan bahwa imunitas kawanan di Indonesia sangat sulit tercapai karena efikasi vaksin yang digunakan sangat rendah dan adanya mutasi virus yang sangat cepat dan lebih berbahaya (varian delta).

Menurutnya, agar Indonesia mencapai imunitas kawanan, vaksinasi harus mencapai 100 persen (Tempo, 10 Agustus 2021).

Dari total 208.265.720 target total vaksinasi, per tanggal 26 Agustus 2021, vaksinasi dosis pertama di Indonesia baru mencapai 28,53% dan vaksinasi dosis kedua baru sekitar 16,02% (kontan, 27 Agustus, 2021).

Artinya, untuk mencapai imunitas kawanan perjalanan masih sangat panjang dan berliku.

Di samping kendala ketersediaan vaksin, masalah di lapangan terbilang cukup berat mengingat jarak antar wilayah yang sangat jauh dengan medan yang sangat berat ditambah resistensi berbagai elemen masyarakat yang masih menolak untuk divaksin.

Relevankah memaksakan pembelajaran tatap muka di tengah randahnya angka vaksinasi dan kekhawatiran akan munculnya gelombang baru penyebaran Covid-19 dengan virus yang lebih mematikan?

Waspada Klaster Sekolah

Kekhawatiran Gubernur Lampung atas ketentuan pemerintah untuk melaksanakan PTM di daerah PPKM level 3 sangat beralasan.

Pemerintah daerah butuh persiapan yang matang dari berbagai aspek agar pembelajaran berjalan lancar dengan mematuhi prokes yang sangat ketat.

Salah satu kendala yang sangat berat adalah kesiapan infrastruktur sekolah.

Saat ini, tidak lebih dari 50% sekolah di seluruh Indonesia yang siap untuk menyiapkan seluruh alat protokol kesehatan - pengadaan toilet, tempat cuci tangan, ruang kelas - yang memenuhi daftar periksa protokol kesehatan yang ditetapkan kementerian (Sindo, 2 Desember, 2020).

Apabila PTM dipaksakan di seluruh Indonesia, tidak menutup kemungkinan sekolah-sekolah akan menjadi cluster baru penyebaran Covid-19 yang sangat berbahaya.

Di samping rendahnya vaksinasi dan keterbatasan infrastruktur sekolah, budaya new normal yang menjadikan prokes sebagai sebuah keharusan juga menjadi kendala.

Akan sangat susah mengatur anak-anak untuk bermain dan bergaul dengan menjaga jarak, konsisten memakai masker dan menerapkan budaya sehat; batuk, bersin, meludah sesuai prokes yang sangat ketat.

Selain itu perjalanan anak-anak menuju sekolah bisa menjadi masalah tersendiri.

Tidak semua orang tua mampu dan punya waktu untuk mengantar jemput anaknya dengan kendaraan pribadi.

Mayoritas mereka berangkat ke sekolah dengan menumpang kendaraan angkutan umum yang juga sangat berpotensi menularkan virus Covid-19.

Singkatnya, anak-anak sekolah dapat menjadi superspreader Covid-19 yang sangat berbahaya.

Potensi Learning Loss

Pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang diberlakukan selama pandemi Covid-19 merupakan opsi terbaik agar Indonesia terhindar dari learning loss.

Kehilangan satu generasi karena tidak belajar sama sekali selama pandemi memang sangat menghantui karena fasilitas pendukung dan kemampuan masing-masing peserta didik sangat berbeda.

Saat pandemi, kualitas dan efektifitas PJJ di berbagai penjuru dunia terbukti mengalami penurunan dan Indonesia bukanlah pengecualian. Terdapat beberapa kendala yang dialami untuk kasus Indonesia.

Menurut Nadiem Makarim, ada masalah seperti konektivitas yang tidak bisa diandalkan, masih banyak yang tidak punya gawai, dampak psikososial seperti bosan di rumah, serta jenuh dengan berbagai macam video conference, menyetor tugas dan prakarya, kesepian, kondisi belajar yang monoton serta banyak guru dan siswa yang mengalami depresi. Tidak berhenti sampai di situ.

Selama PJJ begitu banyak masalah domestik yang terjadi.

Dilaporkan dari berbagai daerah bahwa tingkat kekerasan dalam rumah tangga meningkat tajam termasuk kekerasan terhadap anak.

Banyak orang tua mengalami depresi berat karena di samping memikirkan ekonomi keluarga, mereka juga terpaksa mendampingi anak-anaknya dalam proses pembelajaran.

Dalam jangka panjang PJJ akan memicu terjadinya penyakit mental yang akut baik pada anak maupun pada orang tuanya (GTK Dikdas, 6 Mei 2021).

Kebijakan PTM

"Tidak ada jawaban hitam-putih atas pertanyaan kapan sebaiknya sekolah dibuka". Demikianlah jawaban diplomatis Professor Rodney Rohde, Kepala Laboratorium Klinis di Universitas Negeri Texas, San Marco.

Menurutnya, "tidak ada ukuran yang cocok untuk semua orang".

Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak tidak sesering terkena infeksi ketimbang orang dewasa dan apabila terinfeksi dampaknya tidak terlalu parah.

Beberapa kasus terjadi di Eropa dan Australia termasuk studi tentang contact-tracing di Swiss, Cina dan Perancis.

Dari studi tersebut ditemukan bahwa anak-anak memiliki kemungkinan kecil sebagai penyebar virus ketimbang orang dewasa.

Di Perancis misalnya, seorang anak berusia 9 tahun terinfeksi picornavirus, flu yang menyebabkan beberapa macam penyakit dan SARS-CoV-2 menularkan ke 80 orang temannya di tiga sekolah.

Ajaibnya, tak satupun dari mereka terinfeksi Covid-19, meski banyak diantaranya sebatas terkena flu biasa (Saplakoglu, Livescience, July, 2020).

Studi dari Davies NG yang dimuat di Natmed bulan Juni 2020 menunjukkan bahwa remaja yang berusia di bawah 20 tahun yang terinfeksi corona virus, sangat kecil kemungkinan bergejala parah dan berdampak kematian.

Studi lainnya yang dilakukan oleh Viner RM dan Russel SJ (Lancet Child Adolesc Health, 2020) menunjukkan bahwa anak-anak sekolah memiliki sangat sedikit kontribusi dalam penyebaran virus corona.

Dalam peringatan resminya mengenai rencana pembukaan sekolah, Uni Eropa merekomendasikan beberapa hal.

Pertama, sekolah bisa saja dibuka ketika terbukti penyebaran virus menurun secara signifikan dalam waktu tertentu.

Kedua, tersedianya fasilitas kesehatan yang sanggup menangani pasien apabila terjadi penularan puncak.

Ketiga, memiliki kemampuan memadai untuk melakukan monitoring, testing dan pelacakan yang cepat serta kemampuan mengisolasi mereka yang terinfeksi.

Karena memiliki kemampuan dan kapasitas seperti tersebut di atas, negara seperti Iceland, Swedia dan Taiwan tidak pernah benar-benar menutup sekolahnya.

Negara seperti Denmark, Finlandia, Norwegia, Perancis dan Jerman secara bertahap telah membuka kembali sekolah meski pandemi belum berlalu.

Apabila kementerian pendidikan tetap ingin membuka sekolah di wilayah PPKM level 3, maka rekomendasi dari Uni Eropa bisa dijadikan rujukan.

Selain itu, Indonesia juga bisa belajar dari pengalaman Israel yang pada bulan Mei lalu telah membuka kembali sekolah dan menutupnya kembali setelah ratusan kasus baru ditemukan di sekolah.

Setelah dibuka secara serentak, beberapa minggu kemudian lebih dari 6.800 siswa dan guru terpaksa harus dikarantina.

Sekiranya pemerintah sudah siap dengan segala konsekuensi dan langkah mitigasinya ketika terjadi penyebaran Covid-19 di sekolah, maka PTM tidak ada salahnya dicoba.

Tetapi harus diingat bahwa negara yang telah membuka sekolah adalah mereka yang tingkat vaksinasinya di atas 50%. Selain itu, infrastruktur kesehatan, kemampuan testing, tracing dan isolasinya sangat memadai.

Membuka kembali sekolah di tengah pandemi adalah pilihan dilematis.

Dalam perspektif pengambilan keputusan, ini bukan perkara keberanian atau ingin tampil beda, tetapi lebih pada kemampuan untuk menimbang berbagai hal secara holistik-komprehensif.

Di sinilah pertaruhan leadership seorang Nadiem Makarim.

Terobosannya untuk membuka sekolah di saat kurva coronavirus yang belum sepenuhnya melandai patut diapresiasi sekaligus diwaspadai.

Bisa jadi keputusan kontroversil ini mengantar Nadiem ke titik puncak karir politiknya sekaligus sebagai "lonceng kematian" masa keemasannya di usia yang masih sangat belia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini