Oleh: Dr. H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A., Wakil Ketua MPR RI Periode 2019-2024
TRIBUNNEWS.COM - Pandemi Covid-19 yang melanda banyak negara, termasuk Indonesia, tidak hanya menimbulkan konsekuensi logis berupa banyaknya kasus terkonfirmasi positif Covid-19 saja atau pelemahan kapasitas perekonomian nasional, tapi juga berpotensi menjadi faktor penghambat penerapan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kekhawatiran semacam ini tidak hanya berkembang di Indonesia saja, tapi juga negara-negara lain di belahan dunia lainnya.
Pandemi Covid-19 yang menerpa hampir seluruh negara di dunia menghadirkan limitasi-limitasi tersendiri yang menuntut perubahan cara pandang dan mekanisme kerja yang tidak biasanya. Dalam konteks politik, pandemi Covid-19 telah merubah secara signifikan proses formulasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, cara kerja parlemen dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, pelaksanaan politik elektoral, strategi partai politik dalam mencapai kepentingan politiknya, dan masih banyak lagi.
Potret kebijakan
Perubahan-perubahan tersebut secara umum merupakan proses natural sebagai bentuk fleksibilitas dan adaptasi terhadap situasi darurat atau kegentingan yang terjadi. Sebagai contoh, penerapan PPKM Darurat yang dikritik masyarakat karena membatasi mereka dalam bermatapencaharian, terkesan tidak demokratis karena tidak sepenuhnya dikehendaki oleh masyarakat. Akan tetapi, formulasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pada dasarnya berbasis kepentingan rakyat, yakni agar mereka tidak terpapar Covid-19 yang semakin mengganas penyebarannya.
Pada kasus kebijakan PPKM Darurat tersebut, terlihat jelas bahwa formulasi kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah terkesan tidak berbasis aspirasi rakyat. Namun demikian, pilihan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah merujuk pada sirkumstansi yang ada, yang mana kasus positif Covid-19 semakin meluas dan dibutuhkan pembatasan aktivitas masyarakat untuk mengendalikannya. Jika aktivitas masyarakat tidak dibatasi, maka akan memberikan signifikansi negatif terhadap masyarakat itu sendiri.
Demokrasi sejatinya merupakan sistem politik yang paling mapan dan hampir dijalankan oleh seluruh negara di dunia. Indonesia sendiri menganut demokrasi yang berbasis Pancasila. Meskipun frasa “demokrasi” secara eksplisit tidak tercantum pada Pancasila dan konstitusi, namun secara implisit, nilai-nilai demokrasi seperti musyawarah mufakat dan penghargaan terhadap hak asasi manusia tercantum dalam dua konsensus dasar kebangsaan tersebut. Pemerintah Indonesia juga berkomitmen untuk mengembangkan demokrasi dengan melakukan penguatan pada hak-hak politik warga negara, kebebasan sipil, dan institusi-institusi demokrasi.
Tidak dimungkiri, meskipun merupakan sistem politik yang mapan dan memiliki keselarasan dengan ideologi dan konstitusi, masih terdapat celah besar dan tantangan dalam penerapan demokrasi di Indonesia. Celah besar dan tantangan tersebut tergambar jelas di era pandemi Covid-19 saat ini.
Dalam konteks pemerintah, jika pemerintah tidak berkhidmat secara teguh pada Pancasila dan konstitusi, maka peluang untuk menjadi situasi yang disebut oleh Colin Crouch (2004) sebagai “post-democracy” yang bercorak otoriter dan totalitarian sangat terbuka lebar. Atas nama keamanan dan kepentingan masyarakat, pemerintah bisa saja terjebak pada sentralisme pengambilan keputusan, bahkan pemusatan kekuasaan.
Dilema demokrasi
Pencermatan penulis terhadap situasi hari ini, pemerintah masih berkhidmat pada Pancasila dan konstitusi dalam menjalankan tugasnya, setidaknya dalam skala minimal; tidak keluar dari rel demokrasi. Yang dialami oleh pemerintah saat ini cenderung bersifat dilema demokrasi, yang mana pemerintah terpaksa menempuh cara asertif untuk kemaslahatan masyarakat itu sendiri.
Dalam studi kasus PPKM Darurat yang diulas sebelumnya, pemerintah harus menetapkan pembatasan aktivitas masyarakat yang cenderung tidak populer bagi pemerintah, semata-mata guna menahan laju penyebaran Covid-19 dan melindungi masyarakat.
Dilema demokrasi juga dialami oleh pemerintah ketika kritik terhadap kebijakan pemerintah muncul secara masif di berbagai lini. Tidak hanya di media sosial, pemerintah juga menuai kritik yang disuarakan melalui mural yang dibuat oleh seniman-seniman kritis tanah air.
Sepengamatan penulis, muatan yang disuarakan dalam mural tersebut lebih didominasi oleh kritik terhadap pemerintah terkait penanganan pandemi. Aparat pemerintah pada awalnya bersikap reaktif-reaksioner, akan tetapi perlahan tapi pasti mulai bijak dan cermat dalam merespons. Sekeras apapun kritik yang diberikan, tetap merupakan masukan positif bagi perbaikan kinerja pemerintah ke depan.