TRIBUNNEWS.COM - Bisnis internet di Indonesia secara trend memang terus meningkat. Bahkan di tengah pandemi dimana banyak bisnis lain meredup atau terkendala, bisnis internet tetap moncer karena internet menjadi pendukung kegiatan bekerja dari rumah, belajar dari rumah termasuk berdagang dan berbelanja dari rumah, yang terkendala pembatasan mobilitas dan kegiatan masyarakat.
Kalau melihat ada, berdasar catatan “We are Social-Hootsuite”, per Januari 2021 ini pengguna internet Indonesia sudah mencapai 202,6 juta yang artinya sudah 73,7% dari populasi Indonesia yang berjumlah 274,9 juta sudah terkoneksi ke internet. Angka ini meningkat 15,5% atau lebih dari 27 juta tambahan pengguna internet baru di masa pandemi.
Dengan melihat potensi bisnis dimana pengguna meningkat, memang banyak pemain yang masuk dalam bisnis infrastruktur maupun layanan internet. Dengan banyak pemain, maka persainganpun lebih kompetitif. Pelaku bisnis bisa bersaing berdasar cakupan wilayah ketersediaan layanan, tarif, kualitas, maupun bundling dengan layanan lainnya. Kompetisi yang sehat ini memberikan pengguna atau calon pengguna pilihan untuk mendapatkan layanan dari penyedia yang mana.
Dan antara beberapa parameter kompetisi tersebut, memang harus dilihat secara komprehensif. Artinya, bisa ada satu layanan yang tarifnya lebih tinggi dibanding yang lain, tapi secara jaringan, layanannya tersedia di mana-mana, dan kualitasnyapun di atas rata-rata. Ada juga, mungkin tarifnya sangat murah, tapi hanya ada di lokasi tertentu dan kualitas yang dihasilkan juga tidak begitu baik.
Untuk kondisi di Indonesia, tarif internet broadband memang tidak bisa dibandingkan secara apple-to-apple dengan sistem pentarifan di negara lain. Pertama, pengaturan pentarifan tidak diatur secaraa ketat oleh pemerintah, melainkan dilepaskan pada kompetisi yang sehat antar penyedia layanan. Dan kedua, infrastruktur internet untuk masuk ke rumah pelanggan di Indonesia tidak mudah dan lebih mahal. Apalagi bila pengguna ada di pelosok, yang bisa jadi sebenarnya biaya yang dikeluarkan untuk menyambungkan pengguna ke akses internet lebih mahal daripada biaya langganannya.
Seperti dilakukan perusahaan BUMN PT Telkom, yang memang selain berbisnis juga memiliki tugas sebagai agent of development untuk masuk ke wilayah-wilayah hingga pelosok yang meski investasinya mahal. Tidak aneh, jika jaringannya luas, menjangkau seluruh negeri, maka market share melalui Indihome juga besar. Ini tidak ada hubungannya dengan memonopoli pasar, tapi melainkan keberanian untuk berinvestasi dan meng-create demand di wilayah yang bagi pemain lain mungkin dianggap tidak cuan.
Dan kalau kita lihat, ketertarikan masyarakat menggunakan sebuah layanan, ada unsur lain selain varian paket yang berbeda-beda bagi customer, namun juga bagaimana menghadirkan kepedulian pada masyarakat apalagi di masa pandemi ini lewat program sosial, budaya, pendidikan dan kesenian. Dan tentunya adalah bagaimana kepuasaan pelanggan menjadi perhatian utama dan respons terhadap kendala yang dihadapi pelanggan secara cepat.
Dari pelajaran di masa pandemi ini, mungkin ini juga merupakan saat yang tepat bagi kita untuk berterima kasih pada para penyedia layanan internet, yang bantu mengatasi kendala akibat keterbatasan mobilitas dan menjadi “penghubung” kita semua agar tetap bisa bekerja, belajar, berjualan atau berbelanja, meski dari rumah dan hanya lewat akses internet. Selain itu tentu, penyedia layanan internet seperti Indihome, yang hadir hingga pelosok juga memberikan kontribusi dalam menggeliatkan ekonomi masyarakat lewat ekonomi digital secara merata yang muaranya diharapkan dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.