Persoalan 'KPU Gagap' ini sering dialamatkan kepada para komisioner ketika ada persoalan baru. Silahkan buka Google ketik kata kunci 'KPU Gagap' maka akan muncul sejumlah pemberitaan di media mengenai KPU yang terkesan gagap dalam bertindak.
Gagap identik dengan penyakit bicara yang biasanya diidap anak-anak karena tak tahu dan tak mampu bicara. Bisa juga dikaitkan dengan sikap grogi atau 'demam panggung'.
Dalam konteks KPU, kata gagap bisa diterjemahkan KPU belum mampu berkomunikasi dan mengkomunikasikan persoalan Kepemiluan yang kerap muncul secara tiba-tiba.
Padahal KPU telah memiliki perangkat hukum dan teknis pelaksanaan soal kepemiluan yang lengkap hingga mengatur hal-hal yang begitu detail dalam aturan pelaksanaannya.
Namun kembali lagi ke persoalan utama bagaimana mengkomunikasikan persoalan tersebut kepada publik sehingga KPU terlihat paham dengan persoalan yang ada dan tidak berkepanjangan yang dikhawatirkan mengganggu jalannya proses Pemilu.
Termasuk melanjutkan tradisi komunikasi yang sudah dilaksanakan KPU seperti sosialisasi pelaksanaan tahapan Pemilu dan Pilkada kepada masyarakat dengan mengajak masyarakat terutama pemilih berperan aktif dalam Pemilu.
Disrupsi Komunikasi KPU
Di era disrupsi seperti sekarang ini terjadi pergeseran dalam cara dan sikap kita berkomunikasi. Kebiasaan masa lalu kita kerap mengharuskan komunikasi dengan orang lain melalui tatap muka namun kini pandemi Covid-19 telah memberikan kebiasaan baru melalui daring.
Demikian pula sumber informasi publik saat ini tidak lagi hanya mengandalkan media konvensional tapi juga media digital seperti media sosial. Euforia kehadiran media sosial di tengah masyarakat belum juga pudar dan besar kemungkinan akan bertahan lama bahkan bisa jadi mengalami proses evolusi dalam bentuk lain yang lebih memikat masyarakat.
Dulu ketika belum muncul media sosial, mungkin informasi yang hendak di sampaikan KPU kepada publik cukup praktis hanya melalui media massa (media mainstrem). Namun kehadiran media sosial jelas menambah pekerjaan baru bagi KPU. Belum lagi hoaks yang muncul setiap saat seperti hantu gentayangan dan tak terbendung bak jamur yang tumbuh di musim hujan.
Media sosial bukan ancaman yang harus dihindari, ditakuti, atau diberangus melainkan partner yang harus dimanfaatkan untuk mengkomunikasikan program dan hasil kinerja KPU kepada publik.
Hal itu tentu persoalan baru bagi KPU yang harus dilakukan pemetaan dengan seksama dan melalui riset seperti apa pengaruhnya terhadap kinerja KPU, pengaruhnya terhadap sosialisasi tahapan Pemilu serta apa manfaatnya buat masyarakat umum terutama pemilih.
Dan tentu saja bagaimana memproyeksikan pengguna media sosial pada Pemilu 2024. Apalagi pemilih pada 2024 mayoritas berasal dari kalangan milenial yang seperti kita ketahui mereka sangat melek digital, melek media sosial karena mereka banyak menghabiskan waktunya berselancar di media sosial Facebook, WhatsApp, Youtube, Twitter, Instagram, dan sebagainya.
Komunikasi dua arah antara KPU dengan publik harus terjaga dan dijaga sejak dini. Publik harus merasa memiliki KPU dan bangga dengan KPU.