Membangun Sinergi NU Struktural dan NU Kultural
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*
TRIBUNNEWS.COM - Setelah kegiatan Muktamar NU berlangsung, dan Ketua Umum PBNU terpilih resmi diputuskan, Kiai Sa'id Aqil Siradj memilih jalur dakwah secara kultural. Kembali ke pesantren untuk menyebarkan Islam Rahmatan Lil Alamin. Dengan ikhlas melepas amanah sebelumnya, yang berada di jalur struktural.
Dalam satu pertemuan dengan sahabat-sahabat seperjuangannya, Kiai Sa'id menganjurkan agar pengurus-pengurus yang mengabdi pada masanya tidak perlu sungkan, untuk kembali mengabdi di jalur struktural, sekiranya pemegang otoritas periode ini menghendaki dan meminta.
Kiai Sa'id mengatakan, "Kalau di antara kita ada yang diajak kembali masuk pengurus terima, tapi kalau nggak ya sudah, kiprah kita di mana saja masih bisa, bukan hanya di PBNU," (Tempo, 27/12/2021). Ini adalah kedewasaan berpikir, bahwa persaingan kemarin tidak perlu berlarut-larut, dan masa depan tiada lain adalah pengabdian, baik di jalur struktural maupun kultural.
Untuk soal Muktamar yang berlalu, biarlah berlalu. Kiai Sa'id mengatakan: "Mari kita lupakan yang sudah terjadi kemarin. Saya akan tetap mendakwahkan Islam, tetap akan menyebarkan Islam yang moderat dan toleran," (Detik, 24/12/2021). Dengan kata lain, dakwah Islam moderat tidak semata-mata harus diperjuangkan melalui organisasi NU, melalui media apapun selama substansi ajarannya sama maka tidak masalah.
Penting untuk diketahui bahwa jalur kultural jauh lebih fleksibel daripada jalur struktural. Jumlah kiai-kiai, ulama dan ustadz dari NU yang tidak punya jabatan apapun dalam struktur organisasi NU, jumlahnya jauh lebih banyak. Sungguh tidak elok mengabaikan eksistensi peran NU kultural ini. Karena itulah, pra Muktamar, sempat ada kritikan keras dari Gus Muwafiq, salah satu ustad dari NU Kultural, lantaran persoalan Muktamar terlalu fokus pada suara orang-orang yang punya hak suara, dan mengabaikan aspirasi mereka yang tidak punya hak suara.
Jalur kultural adalah substansi dari NU itu sendiri. Sebelum Jam'iyyah bernama Nahdlatul Ulama ini dibentuk, Jama'ah Nahdliyyin sudah eksis secara kultural. Baru setelah fenomena keislaman di tingkat global berubah, Wahhabisme memanfaatkan kuasa politik Saudisme, maka ormas NU perlu dibentuk untuk merespon. Jalur struktural dan politik bagi NU pun dibentuk, untuk menyempurnakan perjuangan kultural yang sudah ada sebelumnya. Jadi, jalur struktural NU berkorelasi langsung dengan politik global.
Sebaliknya, bila hendak berbicara tentang konteks "politik kebangsaan", maka pengabdian di jalur kultural inilah tempatnya. Karena alasan ini pula, warga Nahdliyyin memiliki alasan kuat untuk mengklaim bahwa ajaran NU sudah ada sejak zaman Walisongo, pendakwah Islam generasi awal. Sebab, warisan kultur Islam Walisongo terus dipraktekkan dan dilestarikan dalam kehidupan keagamaan Nahdliyyin. Beda halnya dengan NU sebagai Ormas, yang merupakan produk pemikiran abad 20.
Kembalinya Kiai Sa'id ke jalur dakwah kultural, ingin menyebarkan dakwah Islam Moderat tanpa jalur PBNU, adalah simbol tentang kembalinya manusia Nahdliyyin ke jati dirinya sendiri. Dalam bahasa kultur kerajaan, lengser keprabon. Maksudnya, setelah mengemban amanah pengabdian dan perjuangan politik di NU Struktural, manusia kembali lagi ke alam sejatinya, yakni mengabdi dan berjuang untuk NU di jalur kultural. Atau bahasa lainnya, NU Kultural adalah awal dan akhir. Sedangkan NU Struktural adalah persinggahan sementara.
Mungkin orang Jawa paham dengan pepatah kuno "Urip mung mampir ngombe". Hidup sekedar numpang minum. Dalam kehidupan Nahdliyyin, posisi apapun di kepengurusan struktur organisasi adalah "mampir ngombe" itu sendiri. Baik untuk periode yang singkat ataupun lama, tetap hakikatnya akan berakhir pada masanya. Beda halnya dengan jalur kultural, sejak lahir ke muka bumi sampai dikebumikan nanti, seorang Nahdliyyin akan tetap Nahdliyyin. Ini sejatinya hidup sebagai Nahdliyyin.
Banyak warga Nahdliyyin kurang percaya diri untuk tetap berjalan di jalur kultural. Memang betul. Karena jalur struktural adalah jalur kekuasaan dan jalur politik. Semuanya serba wah dan megah. Karena jalur struktural adalah soal kekuasaan, maka bila aturan-aturan permainan kekuasaan di Muktamar kemarin tidak seideal yang dibayangkan, maka tidak perlu heran. Aturan main politik kekuasaan pasti berlaku. Karenanya, bagi siapapun yang mencoba melihat NU dari aspek struktural ini maka kecewa adalah larangan dan pantangan.
Kiai Sa'id mengatakan bahwa dirinya akan tetap berdakwah sekalipun tanpa harus jadi pengurus NU, dan mendorong sahabat-sahabatnya untuk mau menerima jabatan jika diminta, dan tidak masalah bila tidak diminta, semua itu adalah ungkapan-ungkapan yang sangat bijaksana. Di satu sisi, ini adalah perjalanan beliau dari jalur struktural ke kultural. Di sisi lain, ini adalah penyemangat bagi warga Nahdliyyin bahwa pengabdian pada NU ada banyak cara, termasuk di jalur kultural.
Bangga menjadi bagian dari NU Kultural hanya soal waktu. Sebab, hari ini, suara yang bisa didengar hanya mereka yang memiliki jabatan struktural, sehingga arah kebijakan apapun dari NU masih dibuat oleh mereka yang memegang otoritas struktural. Sedangkan mereka yang di jalur kultural belum memiliki cara/mekanisme untuk berkontribusi pada upaya perumusan kebijakan NU terkait apapun. Karenanya, warga Nahdliyyin kultural hanya siap menunggu, menerima dan menjalankan apapun kebijakan organisasi yang dirumuskan oleh para elite.
Di masa-masa mendatang, NU Struktural dan NU Kultural perlu berdampingan. Soliditas Nahdliyyin tidak bisa ditukar dengan apapun. Menjadi bagian dari NU Kultural tidak perlu berkecil hati, sekalipun tidak punya otoritas apapun di dalam organisasi. Tetapi, otoritas mereka langsung tercurah dan berhadapan dengan warga dan umat, tanpa harus melalui kerumitan administratif-organisasional. Kiai-kiai, ulama dan ustad NU yang berdakwah kepada masyarakat secara langsung, tanpa organisasi NU, tetap berharga. Jadi, merekalah intan berlian yang NU miliki. Inilah hikmah yang bisa kita petik dari komitmen Kiai Sa'id Aqil Siradj paska kepemimpinan beliau di NU.
Terakhir, Penulis berharap bagi siapapun yang memilih NU kultural, mari kita terus berkhidmah untuk NU dengan jiwa, raga, dan harta kita, untuk membantu NU struktural, karena untuk berkhidmah di NU tidak harus menjadi struktural (pengurus). semoga Penulispun bisa terus Istiqomah menjadi NU kultural yang membanggakan !. Wallahu a'lam bis shawab.
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*