Seharusnya Kesadaran Ber-NU Berdampak pada Kesadaran Ber-PKB
*Oleh KH. Imam Jazuli, Lc., MA.
TRIBUNNEWS.COM - Tiga hari yang lalu, penulis kedatangan tamu mantan ketua Garda Bangsa PKB dan sekarang menjabat sebagai Ketua Fraksi PKB, yaitu K.H. Cucun Ahmad Syamsurijal., M.A.P. (penulis biasa memanggil Kang Cucun). Ini adalah kunjungan yang keduanya, setelah sebelumnya beliau membersamai Cak Imin, Ketum PKB.
Tentu saja banyak hal yang kami sempat bahas, salah satunya terkait masa depan PKB, NU, Relasi PKB-NU dan Isu-isu nasional lain terkini yang menantang perbincangan, termasuk ihwal ijtihad, program dan sikap PBNU kepengurusan baru dalam nahkoda Gus Yahya dan Kiai Miftah, serta menyeruaknya berbagai gagasan terkait langkah kedepan untuk pemenangan PKB/Capres PKB 2024.
Terkadang penulis sungguh merasa ganjil dan musykil, kenapa bisa terlibat diskus sedemikian serius dengan politisi PKB? Padahal pengurus struktural PKB bukan, Pengurus PBNU apalagi? Tetapi yang menyadarkan saya untuk betah dalam satu komando perjuangan politik kebangsaan dan kekuasaan ini adalah rasa cinta yang mendalam saya kepada NU. Tak lebih dari itu. Bukankah rasa cinta sering membuat orang total berkorban dan terpanggil untuk berjuang?
Hal lain yang cukup menguatkan keyakinan penulis terkait ijtihad politik ini adalah kesadaran, bahwa PKB lahir dari rahim NU dan sebagai alat Politik NU, selain PKB tidak ada partai lain yang didirikan oleh NU. Ini fakta historis, yang sayangnya keberadaannya sering dikebiri oleh tangan-tangan gelap yang tak menginginkan NU dan PKB bersatu dalam mengemban amanat jamaah dan jami'iyah.
Hal lain yang menguatkan langkah penulis untuk semampunya ikut membesarkan PKB adalah karena wasiat almarhum ayahanda. Beliau pernah berkisah; dulu Kiai Sanusi Gunung Puyuh Sukabumi itu secara ubudiah (prilaku ibadah) ala NU kaffah, tetapi secara politik, keluar dari NU dan tetap pada Masyumi, maka lahirlah Ormas PUI (Persatuan Umat Islam) yang didirikan bersama Kiai Abdul Halim Majalengka. Jadi, menurut ayahanda PUI itu bukan NU, karena belum kaffah dalam ber NU-nya. Begitu juga yang mengaku NU belum PKB maka dalam pengertian ayahanda ini belum kaffah NU-nya.
Hal lain yang lebih ideologis mendorong penulis untuk berPKB adalah fakta, bahws realitasnya hanya PKB alat politik NU saat ini, dan hanya PKB yang terbukti konsisten berjuang secara totalitas untuk Pesantren dan NU.
Karena itu Nahdiyyin berhutang banyak dengan PKB, bahkan saya lebih heran lagi Jika ada yang "ngaku" Gus Durian, tapi membenci atau paling tidak antipati terhadap PKB, padahal Gus Durlah yang mendirikan PKB untuk kepentingan Politik Nahdiyyin.
Dengan kata lain, politik kekuasaan NU adalah keberpihakan tegak lurus NU menopang elektoral PKB dalam setiap hajat politik elektoral baik Piileg, Pilpres maupun Pilkada. Sebab PKB telah terbukti effektif menjadi alat perjuangan politik NU dan pesantren.
Jadi siapaun Nahdliyin, semestinya sadar politik, bahwa aspek terpenting dalam membesarkan Jamaah dan Jam'iyyah NU, itu sudah pernah dicontohkan oleh Walisongo khususnya Sunan Giri, Sunan Gunung Djati, yaitu jalur politik yang efeknya adalah untuk kepentintan dakwah islam lebih luas dan rahmatan lilalamin.
Karena itu kesadaran penulis dengan Kang Cucun itu sama, yaitu NU adalah PKB dan PKB adalah NU. Karena kalau NU-PKB bersatu maka ini akan menjadi kekuatan politik yang unstopable, tapi sekali lagi tantangannya tidak ringan, karena akan banyak pihak yang menghalangi dan banyak pihak yang tidak ingin kekuatan NU itu besar secara politik, inilah tugas yang tidak ringan.
Salah satu tantangan terpelik bersatunya NU dan PKB itu adalah soal tafsir Khittah. Padahal keputusan Khittah itu tak terlepas dari situasi politik saat itu dan ini tepat pada masanya. Kalau dikatakan NU kembali ke Khittah dan tidak boleh terlibat secara aktif dalam politik, konteks sosial ini tepat saat itu, yaitu ketika NU tidak punya partai. Wajar kalau NU hanya bicara politik kebangsaan. Tapi saat ini NU punya partai dan jelas partainya adalah PKB.
Maka tafsir dan kontekstualisasi Khittah ini harus berani dipahamkan ke khakayak Nahdliyin. Apalagi kiai-kiai dan santri paham betul kaedah ushul, "Al-Ibrah Khusussabab la biumumillafadz,” yang artinya sebuah teks tidak bisa hanya dilihat dari lafazdnya saja tetapi dari sebab dan konteksnya. Begitu segarusnya meletakkan khittah.
Karena itu, diujung pembicaraan penulis dengan Kang Cucun, sempat membayangkan, jika warga Nahdiyyin yang katanya berjumlah 80 juta itu, 30 % nya saja sadar politik yaitu dengan ber-PKB, tentu PKB akan menjadi pemenang emilu di 2024, dan itu juga akan menjadi kemenangan Nahdiyyin.
Namun, sekali lagi kesadaran politik seperti itu pasti itu tidak disenangi oleh banyak pihak, dan bisa jadi ada pihak yang didorong untuk memisahkan NU dengan politik/PKB, dengan mencairkan politik warga NU menjadi multi partai (bebas partai apa saja), tujuannya agar lemahnya partai politik milik NU (PKB) sehingga secara politik NU akan terus lemah. Wallahu'alam bishawab.
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.