Para ahli dalam psikologi menyebut konsep diri sebagai kesimpulan seseorang mengenai dirinya. Ada orang yang menyimpulkan dirinya tidak layak berhasil. Ada yang berkesimpulan saya layak berhasil di bidang saya. Saya layak menjadi tokoh di kampung saya, di kabupaten saya, di negara saya, dan seterusnya.
Tapi ada yang sekadar untuk membayangkan dirinya hebat di suatu peran saja takut, tidak mau karena merasa tidak mampu, takut, dan tidak yakin (khoufun, jubnun, dan huznun). Rasulullah SAW sudah mengajarkan hal ini sebetulnya dalam sebuah doa yang sering dibaca setelah shalat.
”Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari bingung dan sedih. Aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada Engkau dari pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari lilitan hutang dan kesewenang-wenangan manusia,” (HR. Abu Dawud).
Sayangnya, doa itu hanya diucapkan dari mulut kemudian berharap ada keajaiban yang turun dari langit. Mana bisa? Allah akan mengabulkan doa ketika seseorang mengusahakan apa yang didoakan. Syarat agar usahanya berhasil dengan baik adalah ada praktik yang konsisten dan punya ilmu di bidangnya.
Konsep diri yang lemah akan membuat orang itu lemah. Lemah mentalnya, lemah semangatnya, lemah pikirannya. Sudah pasti akan membuat tindakannya juga lemah. Karena itu perlu dibuldoser dari luar dan dari dalam.
Dalam sejumlah riset di bidang psikologi terungkap bahwa konsep diri seseorang sangat terkait dengan motivasinya, terkait dengan rasa bahagia yang dialaminya, dan terkait dengan tingkat kepercayaan diri. Orang mudah merasa sengsara jika konsep dirinya lemah. Orang mudah minder jika konsep dirinya lemah. Orang mudah bermalas-malasan jika konsep dirinya lemah.
Bahkan ada hasil riset lain yang perlu dijadikan referensi oleh lembaga pendidikan. Bahwa pembeda suatu lembaga pendidikan yang mampu menghasilkan orang-orang hebat dan orang-orang biasa ternyata bukan di bangunannya, di kurikulumnya, atau kiainya terkenal atau tidak. Itu nomor sekian.
Lalu apa yang sering menjadi penentu utama? Ada empat hal utama, yaitu: 1) konsep diri, 2) life skills atau kecakapan hidup yang diajarkan di lembaga itu, 3) learning to learn atau cara belajar yang diajarkan di lembaga itu, dan 4) mata pelajaran. Jadi, yang pertama adalah konsep diri. Justru kurikulum nomor 4.
Kita bisa melihat bukti-buktinya di lapangan. Kenapa ada sekolah-sekolah tertentu atau pesantren tertentu yang sudah biasa menelorkan orang-orang hebat dan kenapa yang lain tidak begitu? Kalau dilihat pelajarannya ya mungkin sama. Nahwunya dimana-mana ya paling Imrithi, Alfiah atau Nahwul Wadhih dan sejenisnya. Yang berbeda adalah konsep diri yang dihembuskan kiai-kiai dan guru-guru kepada para santri di lembaga itu.
Sebagai salah satu pesantren di Indonesia, saya tentu bertekad agar Bina Insan Mulia menjadi pesantren yang bisa menghantarkan banyak orang hebat. Orang hebat menurut definisi pesantren tentu berbeda dengan definisi industri. Bagi pesantren, orang hebat adalah orang yang bisa memperjuangkan kemaslahatan di masyarakat dengan nilai-nilai tauhid.
Saya yakin, empat hal di atas dapat kita lakukan apalagi pesantren memiliki senjata lagi, yaitu doa dan hidayah. Pesantren harus menelorkan banyak alumni yang dapat mempengaruhi perubahan masyarakat dan itu langkah awalnya adalah membuldoser mentalitas kaum terjajah.
Hijrah Nawaitu
Dulu, Nabi Muhammad SAW berhijrah dari Makkah ke Madinah, dari Makkah ke Yatsrib, dari Makkah ke Etiopia secara fisik, pikiran, dan hati. Umat Islam berhijrah untuk melakukan transformasi besar saat perjuangannya di Makkah menemui jalan buntu.
Sekarang ini, hijrah tidak harus selalu dengan fisik seperti dulu. Tetapi hijrah dengan hati dan pikiran tetap harus dilakukan saat dibutuhkan.