Oleh Moch S Hendrowijono *)
WILAYAH timur Indonesia selalu dikonotasikan sebagai wilayah tertinggal, miskin, dan kurang maju dalam pendidikan dibanding wilayah barat. Banyak orang mengira, Papua Barat termasuk yang demikian.
Kampung Yensawai, di pulau Yensawai Barat, beda. Juga Pulau Piaynemo, pusatnya wisata Raja Ampat dengan hutan, pulau dan pantainya eksotis.
Segalanya tertata rapih, bersih dan wangi dedaunan dan bunga hutan. Di hampir semua pulau selalu ada orang yang membersihkan pantai pasir dari daun-daun pepohonan dengan sapu kawat sampai bersih.
Di kawasan lapak di dekat gerbang Piaynemo, tidak ada sampah sepotong kecil pun. Sementara ratusan ikan sarden bergembira – barangkali – berlompatan di samping dermaga membuat riak air laut keperakan tertimpa matahari.
Baca juga: Genjot Kinerja, Mitratel Fokus Kembangkan Ekosistem Bisnis Tower Seluler
Laut Raja Ampat biru jernih dengan ikan-ikan berbagai jenis. Ikan terbang, cakalang, sarden, kerapu, manfish, ikan-ikan hias berwarna biru dan kuning berkeliaran sambil siap berebut setiap ada turis melempar makanan. Bahkan ada seekor hiu anakan berenang berputar-putar dekat dermaga.
Rasanya ingin menangkap, membakar dan melahap ikan-ikan yang berkeliaran menyentuh kaki-kaki siapa saja yang turun ke laut dangkal. Ada larangan memancing, mengambil, atau menjala ikan sampai batas 500 meter dari bibir pantai, salah satu bibir yang sensual.
Di pantai Kepulauan Seribu, Jakarta, yang berdesakan malah sandal jepit, kayu bekas kusen pintu, sepatu, ada mantan CD dan BH. Kesadaran akan kebersihan dan pelestarian lingkungan warga Papua yang katanya tertinggal, jauh lebih baik dari penduduk kota yang konon berpendidikan.
Akar rotan
Yensawai tampak seperti dibangun pengembang. Rumah-rumah berkapling 350-an meter, berjejer rapi di jalan yang dilapisi pasir pantai abu-abu yang lembut selebar 8 meter. Ada beberapa lampu jalan bertenaga matahari, pagar hidup tanaman perdu berdaun warna merah dan kuning. Sementara di pantai beberapa ekor belibis mencari makan dengan tenang di kerindangan pohon di pantai.
Rumah warga dibangun dari kayu besi asal hutan setempat yang dirangkai tanpa menggunakan paku melainkan akar rotan. Pelepah daun pohon rumbia digunakan untuk dinding, daunnya sebagai atap. Tidak ada yang pakai genting.
Ke mana-mana warga berjalan tanpa alas kaki, sebagian bersandal jepit, tetapi isi setiap rumah cukup mewah. Ada pembangkit (generator) listrik, pompa air listrik dan antena parabola.
Di sela-sela rumah penduduk, tidak ada sampah sama sekali, apa pun, apalagi sampah rokok. “Di sini merokok dilarang,” tutur Spencer Parere, pria setengah baya yang dituakan di pulau itu sebagai Tomas, tokoh masyarakat. Kampung ini berdiri Desember 1999, ketika Spencer bersama ayahnya datang dari kampung seberang, Yanlesar, dan melakukan babat hutan.
Baca juga: Dukung Jakarta Jadi Smart City, XL Kembangkan 5G Use Case Berbasis AI dan IoT
Spencer nelayan, juga menyewakan beberapa gubuk (cottage) Rp 350.000 semalam dapat makan tiga kali sehari. Sebagai nelayan ia butuh empat hari berlayar mencari ikan menjualnya di Sorong, dan pulang.
Hasilnya tidak bisa diprediksi, kadang pasar menerima ikan dengan harga murah, kadang agak tinggi. Jenis ikan di perairan Raja Ampat macam-macam, ada bawal, tuna, sarden, tetapi harga penerimaan ikan beberapa pasar di Sorong berbeda-beda, dan makan waktu banyak kalau ia harus berkeliling mencari harga terbaik.
Ikan yang cukup laku memang tuna, yang dengan panjang 60 – 70 sentimeter bisa terjual Rp 500.000. Dan tuna banyak sekali di perairan ini, sehingga di Sorong ada warung makan khusus, Republik Seafood, yang menunya rahang tuna dan dada tuna.
Awal tahun, sebelum berlayar nelayan Yensawai harus naik ke puncak bukit untuk menjala sinyal telekomunikasi untuk berkomunkasi dengan pasar di Sorong. Yang didapat harga 4 hari sebelum mereka sampai di Sorong, dan beda ketika mereka tiba di pasar, bisa tinggi atau rendah. Kalau akhirnya harus rugi waktu berlayar empat hari, kata Spencer, perjalanan dianggap piknik saja.
Satelit Satria dan HBS
Kini dengan adanya BTS (base transceiver station), yang mereka sebut Towér di sebelah gedung SD sumbangan seorang konglomerat dari Jakarta, keadaan berbalik. Lewat jasa towér itulah dalam sekejap ia bisa mendapat harga yang bagus lewat komunikasi WA atau telepon.
Baca juga: Lewat SheHacks, IOH Berdayakan Ribuan Ribuan Wanita
Sekali pergi rata-rata bisa dapat bersih sejuta rupiah. Pulang membawa sembako, pakaian baru, beli hape baru – Spencer punya hape Samsung S7 dan vivo – juga beli BBM untuk kapal, dan untuk generator listrik.
BTS Telkomsel yang dibangun Bakti – Badan Aksesibilitas Telekomunikasi – berkapasitas 8 MHz untuk penduduk 150 jiwa, memadai bagi anak sekolah mengunduh bahan pelajaran. November tahun depan akan ada dukungan tambahan ketika satelit Satria 1 dan HBS (hot back up satellite) beroperasi. Keduanya satelit satelit HTS (high throughput satellite) berkapasitas 150 Gbps untuk melayani 150.000 titik di kawasan 3T (tertinggal, terdepan dan terluar).
Towér jelas melancarkan usaha para pembuat kusen kayu besi, nelayan, maupun yang biasa menembak babi hutan sebagai yang jadi hama. Penduduk yang rata-rata beragama Nasrani tidak makan daging babi, “Dilarang Bijbel (Injil),” kata Spencer. Daging babi bisa dijual dengan harga Rp 10 juta hingga Rp 20 juta, tetapi tidak setiap waktu ada yang mencari.
Spencer dan semua tetangganya lebih beruntung dibanding saudara-saudara mereka yang tinggal di kawasan lain Papua. Tidak semua tempat bisa dipasangi menara BTS, membuat penduduknya masih terkucil dari layanan telekomunikasi. Jangankan mengunduh video, berinternet atau berhubungan dengan dunia luar. Ponsel dengan sekadar standar ISO, iso muni (bisa bunyi) saja tidak ada.
Ada proyek USO (universal service obligation – kewajiban pemerintah memberi layanan universal di bidang telekomunikasi dan informatika kepada publik) untuk membangun ribuan BTS di seluruh kawasan 3T. Namun membangun BTS di kawasan Papua banyak terkendala kondisi geografisnya, yang pada masa pandemi dua tahun terakhir sulit mendapat BTS karena pabriknya “istirahat”, ada pembatasan perjalanan, selain maraknya gangguan keamanan.
Sejak 2015 hingga 2021, di kawasan 3T hanya terbangun BTS di 1.682 lokasi, rata-rata 280 BTS setahun, untuk penduduk sekitar 26,5 juta jiwa. Baru, sejak 2021 hingga kini sudah terbangun 2.555 titik, yang kalau dikerjakan dengan pola lama butuh waktu delapan tahun. *
*) Oleh Moch S Hendrowijono adalah pengamat telekomunikasi dan mantan wartawan senior Harian Kompas