Oleh: Dr Evi Muafiah MAg
Rektor IAIN Ponorogo
TRIBUNNEWS.COM - Berdasarkan data terbaru di Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (SISKOHAT) di tahun 2022, penduduk Indonesia yang berkeinginan untuk menunaikan ibadah haji harus menunggu 20 hingga 30 tahun lamanya.
Selain karena Indonesia adalah negara mayoritas muslim terbanyak dunia, adanya program dana talangan haji menambah panjang antrean haji.
Dana talangan haji merupakan salah satu produk pembiayaan yang dikeluarkan oleh bank syariah.
Produk pembiayaan ini tentunya sangat membantu umat muslim di Indonesia untuk dapat segera mendaftarkan haji.
Keabsahan penggunaan dana talangan haji ini juga sudah diperkuat dengan dikeluarkannya fatwa DSN-MUI Nomor: 29/DSN-MUI/VI/2002.
Untuk mendapatkan dana talangan haji ini tergolong mudah.
Nasabah dan atau calon jamaah haji akan diberikan dana talangan haji hingga 100 persen guna mendapatkan porsi haji dengan menyerahkan barang jaminan.
Dalam masa tunggu tersebut, nasabah dan atau calon jamaah membayar dana talangan dengan sistem mencicil.
Kemudahan inilah yang menyebabkan tingginya animo masyarakat sehingga berdampak pada semakin panjangnya antrean haji di Indonesia.
Lantas apakah sistem dana talangan haji ini telah memenuhi syarat mampu secara finansial (istita'ah) ataukah justru sesuatu yang dipaksakan?
Dalam Al-Quran Surat Ali-Imran jelas disebutkan bahwa istita'ah adalah syarat wajib yang harus dipenuhi calon jamaah haji.
Keempat imam madhahib memang berbeda pendapat dalam memaknai istita'ah tersebut.
Namun dalam perbedaan pembatasan istita'ah terdapat satu kesamaan pendapat mengenai istita'ah atau kemampuan secara finansial.
Istita'ah maaliyah dalam Hanafi, kemampuan biaya dalam madhab Maliki, kemampuan untuk biaya pergi dan pulang dalam madhab Syafi'I, dan kesiapan ongkos serta kendaraan dalam madhab Hambali.
Jika merujuk pada pendapat sebagaimana tersebut dalam paragraf sebelumnya, maka konsep dana talangan haji belum memenuhi keempat pendapat imam madhahib.
Karena jika seseorang memang benar-benar mampu, ia tak membutuhkan dana talangan untuk menunaikan ibadah haji.
Karena program dana talangan haji merupakan yang diangsur setiap bulannya.
Oleh karena itu, untuk menertibkan sistem pelaksanaan haji dan memberikan kesempatan bagi yang memang benar-benar mampu, program dana talangan haji harus segera dihentikan.
Selain karena memperpanjang tahun antrean, juga masih mengandung pro kontra mengenai keabsahannya.
Secara konsep fikih sebagai fatwa MUI, dana talangan haji memang dianggap sah karena sesuai dengan transaksi ijarah dalam fikih mumalah.
Namun dalam praktiknya, ditemui beberapa dampak negatif seperti calon jamaah yang gagal bayar cicilan dana talangan padahal sudah mendapat seat haji.
Belum lagi, panjangnya antrean yang justru menghalangi calon jamaah yang benar-benar mampu membayar BPIH tanpa menggunakan dana talangan. (*)