Muhammad Arkoun, Filsuf Islam Modern
Catatan Perjalanan KH. Imam Jazuli, Lc. MA.*
TRIBUNNEWS.COM - Di bawah langit yang cerah, perjalanan kami dari Rabat ke Tanger, Maroko, terasa singkat. Bukan karena kecepatan kendaraan kami, tetapi karena sepanjang waktu bagaikan seminar.
Mobil serasa ruang ilmiah. Tidak saja membicarakan ilmuan muslim Muhammad Abid al-Jabiri, tapi juga membicarakan Mohammad Arkoun. Perjalanan Penulis dengan Ketua PPI Maroko, Hibban Ahmad, dan Mahasiswa Ibn Tofel University, Iman Mursalin dan Gus Simo sangat seru, sambil berwisata plus diskusi ilmiah.
Muhammad Arkoun memang bukan ilmuan dari Maroko. Ia lahir di Desa Berber, Aljazair, pada 1 Februari 1928. Kemudian Pada 14 September 2010 meninggal dunia dan dikuburkan di Maroko. Keluarga Muhammad Arkoun adalah keluarga miskin. Kehidupan keluarga Muhammad Arkoun selalu berpindah-pindah.
Keluarga Muhammad Arkoun pada gilirannya memilih pindah ke Ain El Arba'a, untuk melanjutkan pendidikan Ibtida’iah dan Tsanawiyahnya. Ain El Arba’a adalah suatu kota yang lebih makrmur, dan penduduknya mayoritas kaum kolonial Perancis.
Setelah lulus, Muhammad Arkoun melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Aljazair (Université d'Alger). Berkat bimbingan dari orientalis Perancis, Louis Massignon, Mohammad Arkoun melanjutkan pendidikannya di Universitas Sorbonne, Paris. Di Sorbonne, Muhammad Arkoun menekuni filsafat Ibnu Miskawaih.
Muhammad Arkoun yang hidup sezaman dengan Samuel Huntington (1927-2008) memiliki pemikiran yang luar biasa. Jika Samuel Huntington menulis bukunya yang berjudul “Clash of Civilizations” (Benturan Peradaban), maka Muhammad Arkoun berpandangan sebaliknya.
Bagi Muhammad Arkoun, Peradaban Timur dan Peradaban Barat tidak bisa dibenturkan, dan tidak bisa saling memonopoli satu sama lain. Sebaliknya, setiap peradaban dapat memandang peradaban lain untuk tujuan saling memahami. Dari sini, Muhammad Arkoun mengkritik proyek Orientalisme, yang ingin membaca dan menyudutkan peradaban timur.
Pemikiran Mohammad Arkoun tidak saja bertolak belakang dengan paradigma orientalisme, tetapi juga berseberangan dengan pemikir muslim Maroko, seperti Abid al-Jabiri. Kita tahu Abid al-Jabiri menulis buku yang berjudul ‘Naqd Aql Arabi’, yang ingin mengajak bangsa Arab memiliki pemikiran rasional seperti Barat.
Baca juga: Abid al-Jabiri, Pencetus Rasionalisme dan Modernisme Arab dari Maroko
Abid al-Jabiri memandang akal Arab maupun Akal Islam harus dikritik dengan tajam, dan memperkenalkan rasionalisme yang tidak populer di dunia Islam dan Arab. Sementara Mohammad Arkoun menulis buku berjudul ‘Naqd Aql Islamiy,’ yang memiliki semangat berbeda dari Abid al-Jabiri.
Bagi Muhammad Arkoun, akal Islam bukan sebuah mazhab yang bertentangan dengan mazhab-mazhab lain di luar Islam; juga bukan teologi yang berlawanan dengan toelogi-teologi lain di luar Islam. Sebaliknya, akal Islam adalah persoalan historis-antropologis yang bisa terus berbeda dari setiap zaman.
Dalam membaca narasi sejarah, Muhammad Arkoun menolak menerimanya mentah-mentah. Ia menganjurkan pembacaan historis yang komprehensif, seperti memahami konsep dasar agama, masyarakat, negara, halal dan haram, sakral, nalar, nurani, imajisnasi, mitos, irasionalitas, serta sejarah pengetahuan dan filsafat.
Kemudian Muhammad Arkoun mengajukan pertanyaan, bagaimana kita bisa memahami agama hari ini? Dalam bukunya yang berjudul 'Qadhaya fi Naqd al-'Aql al-Diniy,' Arkoun mengajak para pembaca muslim mendekonstruksi wacana tradisional Islam, dan menggunakan pendekatan orientalis klasik seperti sejarawan Perancis, Claude Cahen (1909-1991).