Oleh: Bagas Kurniawan
Direktur Eksekutif Indonesia Leadership Studies/Wasekjen PB HMI
TRIBUNNEWS.COM - Adalah suatu kebanggaan bilamana suatu organisasi dapat tetap bertahan setelah tujuh puluh enam tahun lamanya.
Terlebih bagi organisasi mahasiswa di mana regenerasi anggota merupakan suatu yang inheren pada dirinya.
Di saat tidak sedikit organisasi mahasiswa datang dan pergi, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) tetap kokoh berdiri mengarungi ombak lintasan zaman.
Kita perlu berterima kasih seluruh pendahulu kita di himpunan ini sebab atas sumbangsih merekalah kita dapat menuai karunia berhimpun pada saat ini.
Pada skala dan lingkupnya masing-masing, jutaan alumni HMI telah dan sedang berkontribusi untuk menyokokong sendi kehidupan bermasyarakat.
Baca juga: Sejarah Berdirinya HMI yang Diprakarsai Lafran Pane, Beserta Tokoh-tokoh Pendirinya
Sejumlah diantaranya bahkan berkesempatan mengabdikan diri dalam skala nasional.
Namun demikian, terhadap segala kejayaan HMI di masa lalu ini, kita perlu tetap jeli. Kejayaan ini justru dapat menjadi beban sejarah yang mengarah kepada golden age thinking.
Suatu pola pikir yang melenakan diri dengan meromantisasi masa lampau, seraya lengah akan tantangan di masa sekarang.
Bilamana suatu organisasi mengidap ini, ia menjadi lembam atau bahkan resiste terhadap perubahan eksternal.
Organisasi menjadi terjerembab ke dalam kondisi business as usual yakni dengan hanya mengimplementasikan metode dan praktik yang terbukti sukses pada pengalaman masa lampau.
Literatur-literatur dari ilmu manajemen menunjukkan bahwa fenomena ini kerap terjadi pada organisasi yang sudah mapan dan stabil dengan aturan, norma, dan habit yang sudah mengeras.
Kemapanan ini berimbas pada terbatasnya ruang gerak dan daya jelajah suatu organisasi yang berujung miskinnya inovasi atau dalam kata lain stagnasi.
Tentunya sifat kelembaman sangat kontradiktif dengan karakteristik organisasi mahasiswa, entitas yang seyogyanya sarat akan semangat pembaruan serta kemampuan navigasi dalam menjawab persoalan di masyarakat.
Lantas pertanyannya, bagaimana cara mengatasi kelembaman ini?
Langkah pertama untuk mengatasi kelembaman ialah dengan mengakui adanya problem pada diri organisasi.
Proses transformasi suatu organisasi tidaklah dapat berjalan secara autopilot, transformasi membutuhkan inisiatif, komitmen, dan konsistensi khususnya dari para pengambil keputusan di organisasi tersebut.
Selanjutnya, mengatasi “kelembaman wawasan” sebuah kondisi dilatarbelakangi oleh kurangnya pemahaman akan penyebab dan dampak dari faktor-faktor eksternal terhadap usaha organisasi dalam mencapai tujuan yang hendak dicapai.
Oleh karenanya, sangatlah krusial bagi organisasi untuk mengidentifikasi adanya kesenjangan antara status quo internal organisasi dan tantangan eksternal yang dihadapi.
Sebagai aspek penting dari organisasi, tujuan dapat berfungsi sebagai instrumen pengukur antara kondisi saat ini dan kondisi yang dicita-citakan.
Pertanyaan pun kemudian dapat meruncing menjadi “Apakah organisasi memiliki sumber daya yang mencukupi untuk mencapai tujuan yang diinginkan?” hingga “Apa saja faktor-faktor eksternal yang mendukung dan menghambat upaya organisasi mencapai tujuannya”.
Dalam kasus HMI misalnya, HMI memiliki tujuan luhur yakni sebagai tempat penempaan diri para insan yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.
Secara lebih spesifik, bahasan soal masyarakat adil makmur tentu tidak dapat terlepas dari Indonesia, lingkup di mana HMI melimpahkan tebaran manfaat.
Di sinilah perlu kita telisik, bagaimanakah progres Indonesia dalam mencapai masyarakat adil makmur?
Tahun 2045 merupakan tahun yang penting bagi Indonesia.
Sebuah tahun di mana kita merayakan seratus tahun kemerdekaan, sekaligus momen pertanggungjawaba: berhasilkah kita mewujudkan amanat “Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”?
Pada tahun inilah Indonesia diperkirakan akan menjadi satu dari lima kekuatan ekonomi terbesar di dunia dengan pendapatan per kapita lebih dari 23 ribu dolar AS.
Guna mewujudkannya, pemerintah mencanangkan Visi Indonesia 2045 yang berpilar dari empat aspek yakni (1) pembangunan manusia dan penguasaan IPTEK; (2) pembangunan ekonomi yang berkelanjutan; (3) pemerataan pembangunan; dan (4) pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan.
Visi ini turut memperhatikan aspek megatren dunia seperti perkembangan teknologi, perubahan iklim, demografi global, geopolitik & geokonomi, hingga persaingan sumber daya alam.
Di sinilah HmI dituntut untuk selalu relevan dan mampu memberikan jawaban akan tantangan zaman.
Kita yang pada saat ini sedang bermahasiswa akan menjadi pelaku sekaligus saksi sejarah pada tahun 2045 kelak. Akan tetapi, timbul satu pertanyaan: Sejarah apa yang bakal ditulis tentang kita, para kader HMI?