News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Menyalakan Api Pancasila dalam Praktik Demokrasi

Editor: Daryono
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi Pancasila

Oleh: Primus Supriono, Ketua DPC Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Kabupaten Klaten

TRIBUNNEWS.COM - Demokrasi yang cocok dan khas Indonesia adalah demokrasi dengan sistem perwakilan yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Seperti yang dikatakan Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI: “Saudara-saudara, saya usulkan, kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-ecconomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. Rakyat Indonesia lama bicara tentang ini. ... Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat hendaknya bukan badan permusyawaratan politik democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rectvaardigheid dan sociale rechtvaardighaeid”.

Jelas bahwa sejak awal Indonesia merdeka, para pendiri bangsa ingin membangun demokrasi Indonesia yang berasaskan permusyawaratan perwakilan untuk mufakat, sebagaimana terdapat pada nilai-nilai Pancasila. Dengan demokrasi khas Indonesia ini, kita hendak mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Yakni, untuk melindungi segenap suku bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, bangsa Indonesia bersepakat bulat membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum yang bersifat demokratis berdasarkan Pancasila.

Itulah konsepsi dasar demokrasi Pancasila yang khas, cocok, dan disepakati untuk Indonesia. Mengenai pengertian demokrasi Pancasila, pejabat Presiden Soeharto pada tanggal 16 Juni 1967 berpandangan: “Demokrasi Pancasila berarti demokrasi kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintregasikan dengan sila-sila lainnya. Hal ini berarti bahwa dalam menggunakan hak-hak demokrasi harus selalu disertai dengan rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut keyakinan agama masing-masing, harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, harus menjamin dan mempersatukan bangsa dan harus dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial. Pancasila berpangkaltolak dari paham kekeluargaan dan gotong royong” (CSIS, 1978).

Kini pertanyaannya, apakah praktik politik dan wajah demokrasi kita selama ini sudah sesuai dengan pernyataan Presiden Pertama dan Kedua Republik Indonesia di atas? Bagaimana praktik demokrasi Pancasila pada masa Orde Baru? Apa saja penyimpangan terhadap demokrasi Pancasila pada masa reformasi saat ini? Menjelang pemilu 2024, bagaimana upaya menyalakan (kembali) api Pancasila dalam praktik demokrasi kita?

Penyimpangan terhadap Demokrasi Pancasila

Secara sederhana, demokrasi Pancasila adalah kedaulatan rakyat yang dijiwai oleh sila-sila Pancasila dengan berlandaskan pada semangat kekeluargaan dan gotong royong. Mahfud MD (1999) menambahkan, demokrasi Pancasila yang menganut sistem pemerintahan presidensiil, merupakan demokrasi asli bangsa Indonesia yang mengedepankan pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Konsep demokrasi Pancasila memang mengutamakan musyawarah untuk mufakat, namun jika mufakat tidak tercapai, maka jalan pemungutan suara bisa ditempuh sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Berdasarkan pengertian itu, apa bentuk penyimpangan terhadap demokrasi Pancasila pada masa Orde Lama? Banyak kalangan menilai, pemilu tahun 1955 merupakan pemilu yang ideal dan paling demokratis sejak Indonesia merdeka. Pemilu yang diikuti 30 partai politik itu, membangun idealitas berdasarkan kebebasan dan pluralitas kekuatan politik yang ada. Akibatnya, para pemimpin yang dihasilkannya pun dinilai mendekati kehendak rakyat. Oleh karena itu, pembubaran DPR hasil pemilu 1955 yang demokratis oleh presiden, dan pengangkatan Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup oleh MPRS pada pemerintahan Orde Lama merupakan bentuk penyimpangan awal terhadap demokrasi Pancasila.

Sementara Orde Baru adalah era di mana terjadi manipulasi makna dan praktik demokrasi Pancasila. Pancasila hanya sebagai slogan hebat demokrasi tanpa praktik. Pancasila memang sangat luar biasa untuk diucapkan, diajarkan, dan ditatarkan di mana-mana, namun di era ini Pancasila justru kehilangan makna dan fungsi dalam praktik demokrasi. Penghancuran sendi-sendi demokrasi dan tafsir tunggal atas Pancasila oleh kekuasaan untuk membungkam lawan-lawan politiknya, sangat dominan pada masa pemerintahan Orde Baru.

Enam kali penyelenggaraan pemilu selama masa Orde Baru, bisa dianggap tidak mencerminkan demokratis Pancasila yang sesungguhnya. Praktik kooptasi terhadap ormas dan partai politik, sangat mengekang kebebasan berpendapat dan mereduksi hak-hak politik warga negara. Penyelenggaraan pemilu selama Orde Baru tidak dengan sungguh-sungguh mewujudkan asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil. Penerapan kebijakan massa mengambang, mobilisasi massa, dan intimidasi terhadap kelompok masyarakat yang berseberangan politik dengan penguasa sangat kental terjadi pada masa Orde Baru. Pemilu yang diselenggarakan secara rutin hanya berfungsi sebagai legitimasi politik penguasa dengan kemasan demokrasi Pancasila.

Syarat Mendirikan Partai Politik

Sedangkan pada era reformasi saat ini, merupakan era sunyi dari bunyi-bunyian Pancasila, sekaligus semakin menjauh dari praktik demokrasi Pancasila. Bahkan, dalam banyak hal, pada masa reformasi saat ini semakin nyata menuju praktik demokrasi dengan cita rasa liberal seperti di Amerika dan negara-negara Eropa.

Ada sejumlah bukti yang menunjukkan kecenderungan demokrasi Pancasila telah bergeser menuju bentuk demokrasi liberal. Dari sisi produk undang-undang, setidaknya ada dua masalah pokok yang terdapat pada UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang tidak sesuai dengan semangat demokrasi Pancasila.

Pertama, syarat untuk mendirikan partai politik dirasa sangat berat. Sebagaimana bunyi Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2011, salah satu syaratnya adalah bahwa partai politik harus didirikan oleh setidaknya 30 orang WNI yang telah berusia 21 tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi. Jika terdapat 34 provinsi di Indonesia, maka untuk mendirikan partai politik paling tidak diperlukan 1.020 orang pendiri partai yang tersebar secara merata di seluruh provinsi.

Tidak hanya itu, partai politik harus sebagai badan hukum (Pasal 3). Syarat untuk menjadikan partai politik sebagai badan hukum, adalah harus memiliki kepengurusan di 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten/kota, dan 50 persen kecamatan dari kabupaten/kota yang bersangkutan. Selain itu, partai politik harus memiliki kantor tetap di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahap akhir pelaksanaan pemilu.

Syarat tersebut tentu sangat berat bagi partai-partai politik baru yang akan berdiri. Hanya partai-partai politik lama dengan modal besar yang dapat memenuhi persyaratan itu. Selain menghambat partisipasi politik warga negara dalam kehidupan demokrasi, syarat itu justru membuka peluang masuknya kekuatan uang untuk mempengaruhi wajah demokrasi kita.

Kedua, batas maksimal sumbangan dari perusahaan/badan usaha kepada partai politik, sebagaimana diatur pada Pasal 35, adalah sebesar Rp7,5 milyar setiap perusahaan. Besarnya batas maksimal sumbangan dari perusahaan/badan usaha kepada partai politik itu, semakin menegaskan bahwa demokrasi kita telah bergeser ke arah demokrasi liberal ala demokrasi Barat. Pada sisi yang lain, kondisi itu membuka peluang praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan politik.

Menutup Keutamaan Musyawarah Mufakat

Secara sederhana, ciri demokrasi liberal adalah sistem pemerintahan perwakilan rakyat, di mana penguasa dipilih secara langsung oleh rakyat secara bebas, serta dominannya kekuasaan parlemen. Dengan pengertian itu, maka penyimpangan terhadap demokrasi Pancasila ke arah demokrasi cita rasa liberal pada masa reformasi juga dapat dilihat dari peristiwa dan praktik politik kita selama ini.

Pertama, kewenangan dan tafsir kebebasan MPR yang berlebihan pada masa reformasi dengan melakukan amandemen berkali-kali terhadap UUD 1945. Hampir semua pasal UUD 1945 mengalami penambahan atau pengurangan. Pasal-pasal UUD 1945 yang dulu ramping, luwes dan dinamis, kini menjadi gemuk, terlalu rinci dan kaku.

Postur UUD 1945 hasil amandemen itu seakan menutup keutamaan musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan di parlemen tidak lagi mengutamakan musyawarah untuk mufakat dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan, tetapi lebih banyak menggunakan mekanisme pemungutan suara. Peristiwa itu terjadi pertamakali pada saat pemilihan Hamzah Has menjadi wakil presiden setelah mengalahkan Akbar Tanjung dengan cara pemungutan suara. Setelah itu, kita menyaksikan betapa praktik pemungutan suara menjadi kebiasaan dalam setiap pengambilan keputusan.

Kedua, pemilihan presiden dan wakil presiden serta kepala daerah secara langsung ala demokrasi Barat. Bersamaan dengan itu, terjadi perubahan kewenangan dan fungsi MPR. MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara yang memiliki kewenangan untuk memilih presiden dan wakil presiden. Demikian juga DPRD tidak lagi memiliki kewenangan untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota.

Ketiga, pada sistem pemilu proporsional terbuka yang berlaku saat ini memperbesar peluang terjadinya fenomena liberalisasi politik. Dengan sistem pemilu tersebut, semakin menguat praktik money politic dan politik transaksional. Kader partai politik yang militan dan berkualitas bisa tergusur oleh kekuatan kapital atau popolarisme elektoral, dan sebagainya.

Menghidupi Demokrasi Pancasila

Praktik demokrasi cita rasa liberal ala Barat pada masa reformasi, jelas merupakan sebuah penyimpangan terhadap nilai-nilai demokrasi Pancasila. Selain itu, praktik demokrasi cita rasa liberal ala Barat tersebut, juga tidak menghadirkan nilai lebih berupa penguatan kedaulatan rakyat. Demokrasi pada masa reformasi telah melahirkan demokrasi prosedural dengan biaya tinggi. Praktik suap dan politik uang yang menjadi mata rantai tumbuhnya budaya korupsi menjadi semakin merajalela.

Penyelenggaraan pemilu selama ini seolah terjebak pada aturan administratif dan prosedural semata. Terlebih jika dilihat dari pemimpin dan wakil rakyat yang dihasilkan melalui pemilu secara langsung, tentu masih sangat jauh dari cita-cita dan tujuan nasional, yaitu tegaknya kedaulatan rakyat menuju masyarakat adil dan makmur.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, dari tahun 2004-2020 ada 397 pejabat politik yang terjerat kasus korupsi. Kasus korupsi tersebut melibatkan kepala daerah dan anggota legislative. Jumlah kasus pejabat politik itu mencapai 36 persen dari total perkara yang ditangani KPK.

Menilik penyimpangan terhadap demokrasi Pancasila dan dampak buruk dalam praktik demokrasi cita rasa liberal di Indonesia pada masa reformasi, hendaklah dilakukan evaluasi atas sistem politik kita. Penyelenggaraan pemilu dengan sistem proporsional terbuka, hendaknya juga perlu dievaluasi, setidaknya perlu dikombinasikan dengan sistem porsonional tertutup.

Perlu dilakukan upaya untuk menghidupi demokrasi Pancasila yang lebih mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan yang sesuai dengan jati diri dan kebanggaan bangsa. Sebab, kita tidak akan menjadi negara maju dan berdaulat jika menggunakan ukuran dan cara demokrasi yang tidak sesuai dengan budaya luhur bangsa. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini