Oleh Koordinator Perekat Nusantara dan TPDI, Petrus Selestinus
TRIBUNNEWS.COM - Saat ini Mahkamah Konstitusi (MK) dirusak hingga dijuluki Mahkamah Keluarga karena sembilan Hakim Konstitusinya tersandera kemandiriannya oleh perilaku Hakim Konstitusi Anwar Usman, karena memiliki konflik kepentingan dalam mengadili perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, tentang Uji Materiil pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017, Tentang Pemilu terhadap UUD 1945.
Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, tanggal 16 Oktober 2023 ibarat bayi yang lahir mati.
Alasannya karena pada saat amarnya diucapkan Anwar Usman, maka saat itu juga putusan MK dimaksud langsung berstatus sebagai putusan yang tidak sah.
Secara norma, hanya ada dua alasan yang membuat Putusan MK kehilangan sifat final and binding, yaitu:
Pertama, jika Ketua Majelis Hakim Konstitusi tidak memenuhi ketentuan pasal 28 ayat (5) UU No 24 Tahun 2003, yaitu Putusan MK diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, dan pasal 28 ayat (6), tentang MK, yang menyatakan "tidak terpenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (5) berakibat putusan MK tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Baca juga: MKMK Terima 18 Laporan Dugaan Pelanggaran Etik Hakim Konstitusi, Jimly: Anwar Usman Paling Banyak
Kedua, jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 17 ayat (5) maka sesuai ketentuan pasal 17 ayat (6) UU No.48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman, maka putusan Hakim Konstitisi dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, putusan MK No.90/PUU-XXI/ 2023, tanggal 16 Oktober 2023 sejak tanggal 16 Oktober 2023, seketika itu juga setelah dibacakan, saat itu juga atas kekuatan pasal 17 ayat (6) UU No.7 tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman, maka putusan MK No.90/PUU-XXI/ 2023 menjadi tidak sah dengan segala akibat hukumnya.
Arti dengan segala akibat hukumnya, adalah segala hal terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai berpasangan dengan Prabowo Subianto sebagai Bacapres-Bacawapres 2024 adalah tidak sah.
Baca juga: MKMK Panggil 9 Hakim Konstitusi Terkait Laporan Dugaan Pelanggaran Etik Hari Ini
Begitu pula dengan KPU, di mana KPU dalam keputusannya nanti mesti menolak mengesahkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka karena Gibran Rakabuming Raka belum memenuhi syarat umur 40 tahun.
Karena itu, KPU tidak perlu membuat PKPU untuk melaksanakan putusan MK No.90/PUU-XXI/2023, tanggal 16 Oktober 2023, karena putusan MK dimaksud tidak sah sejak diucapkan.
KPU harus berani mengambil posisi menolak Pencawapresan Gibran Rakabuming Raka dan memberi kesempatan kepada Partai Koalisi Indonesia Maju untuk mengganti Bacawapres pengganti, apakah Airlangga Hartarto atau Zulkifli Hasan atau siapapun.
Selain itu, jangan ada intervensi baik yang dilakukan secara terbuka atau tertutup, langsung atau tidak langsung terhadap MK, apalagi kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang kini melakukan proses pelaporan pelanggaran etik hakim.
Apapun itu, MKMK merupakan sebuah Organ Pengawasan yang keberadaannya diatur di dalam pasal 23 UU No. 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstutisi dengan tugas utama menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan Kode Etik Hakim Konstitusi, karenanya siapapun tidak boleh intervensi.