News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Israel Kalah di Gaza, AS Geser Konflik ke Yaman, dan Berikutnya Iran

Editor: Setya Krisna Sumarga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Rudal ASHM Houthi dan Kapal Induk Amerika Serikat.

TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Israel secara masif menarik pasukan daratnya dari Gaza Utara, yang mereka duduki dan bumihanguskan sejak tahun lalu.

Saat ini, serangan Israel ke Gaza lebih banyak menggunakan drone, jet tempur, artileri, serta rudal udara ke darat.

Secara signifikan, pertempuran darat relatif menurun drastis, menandai babak baru perang Israel melawan kelompok Hamas dan Palestina.

Sebaliknya, para tokoh utama Hamas telah kembali ke wilayah Gaza Utara, termasuk elemen polisionil, dan pegawai pemerintahan Palestina.

Fase ini menandakan Israel telah gagal melenyapkan Hamas. Sekalipun korban jiwa keganasan Israel di Gaza telah menyentuh angka 27.000, secara politik dan moral, Israel telah kalah.

Baca juga: Houthi Bersumpah Beri Respons atas Serangan AS-Inggris di Yaman: Tak akan Halangi Kami

Baca juga: Rudal Balistik Houthi Serang Kota Pelabuhan Eilat, Israel Cegat dengan Sistem Pertahanan Udara Arrow

Baca juga: AS Lancarkan Serangan Udara terharap Kelompok yang Didukung Iran di Irak dan Suriah, 23 Orang Tewas

Penilaian datang dari ahli keamanan dan konsultan geopolitik internasional Dr David Oualaalou seperti dikutip situs Sputniknews, akhir pekan lalu.

“Israel telah kalah perang. Bukan hanya kemarin, tapi jauh di masa lalu,” kata Oualaalou.

“Mereka tidak mau tampil dan mengatakan secara terbuka mengalahkan Hamas hanyalah angan-angan belaka. Hamas akan selalu ada di sana. Jadi yang dilakukan Israel adalah membom tempat-tempat itu, bagi saya pribadi, itu bukan strategi, itu kegagalan,” lanjutnya.

Keputusan Presiden AS Joe Biden untuk menjatuhkan sanksi terhadap empat pemukim Israel membuat AS terlihat lebih buruk di mata dunia.

Sebuah langkah dan sikap hipokrit untuk menenangkan kalangan domestik dan pihak lain, tapi sesungguhnya tidak berarti banyak.

Seharusnya AS mendorong dan mendukung penuh sejak gencatan senjata Israel-Palestina guna mencegah tragedi kemanusiaan.

Namun sejak lama, standar ganda adalah karakter khas politik luar negeri AS. Bahkan di konteks Israel, AS adalah suporter utama negara zionis itu dalam segala hal.

Genosida warga Gaza dibiarkan berlangsung selama berbulan-bulan. Upaya sejumlah negara menyeret Israel ke Pengadilan Kriminal Internasional pun dihalang-halangi.

AS memang tidak secaa terbuka terlibat langsung dalam serbuan ke Gaza tiga bulan terakhir, tapi mereka memperluas konflik ke kawasan.

Kehadiran sejumlah armada kapal induk di Laut Merah dan Laut Tengah menandai babak baru konflik kawasan yang sangat rentan berkobar.

Harga minyak dunia naik mendekati 1 persen setelah milisi Houthi Yaman menyerang sebuah kapal tanker pengangkut minyak berbendera Inggris yang dioperasikan Trafigura. (BusinessLIVE)

Dari Yaman, kelompok Houti yang berkuasa tanpa ragu menjajal ikut terjun ke konflik Israel-Gaza. Beberapa kali Houthi melancarkan serangan rudal ke kota Pelabuhan Eilat, Israel.

Pembajakan dan serangan ke kapal-kapal terkait Israel dan sponsornya dilakukan milisi bersenjata Houthi di Selat Bab al-Mandeb yang sempit di Laut Merah.

AS didukung Inggris membalas aksi kelompok Houthi itu. Terbaru, kedua negara bersekutu ini menggempur sekurangnya 30 sasaran di Yaman sepanjang Sabtu-Minggu (3-4 Februari 2024).

Lebih jauh dari sekadar memerangi Houthi, Washington dan London kemungkinan akan melangkah lebih jauh; memantik konflik terbuka dengan Iran.

Penasihat Keamanan Nasional AS, Jake Sullivan, mengatakan serangan ke Yaman dan target Iran di Irak maupun Suriah, baru-baru ini hanyalah permulaan,.

AS bersama sekutunya menurut Sullivan, siap menghadapi kemungkinan meningkatnya ketegangan dengan Iran.

“Langkah-langkah itu ada yang akan terlihat, ada pula yang mungkin tidak terlihat,” imbuhnya. Ini mengindikasikan AS sudah melakukan upaya rahasia untuk menghadapi konflik langsung itu.

Tentu saja Israel akan sangat berkepentingan, dan tertarik untuk terlibat langsung dalam aliansi memerangi Iran ini.

Israel menjadi musuh bebuyutan Iran, dan berkali-kali melakukan serangan langsung ke target di Iran, termasuk menyerang instalasi nuklir dan membunuh pakar-pakar nuklir Iran.

Pemicu terbaru kemarahan AS adalah ketika sebuah drone asing menggempur pangkalan militer AS di dekat perbatasan Yordania-Suriah.

Tiga tentara AS tewas, lainnya luka-luka. Washington menimpakan kematian tentaranya itu ke Iran karena mereka mendanai kelompok penyerang.

Militer AS menggempur 80 sasaran di Suriah, menewaskan hampir 40 orang. Pentagon menyebut serangan di arahkan ke target kelompok teroris.

Skenario baru perang AS-Iran jika berkobar, sudah pasti akan membakar seluruh kawasan Timur Tengah.

Bagaimanapun Iran telah memiliki pijakan kuat di Irak, Suriah, Lebanon, Yaman, dan beberapa negara lain yang berhubungan baik.

Memencet tombol perang terbuka dan langsung dengan Iran, alhasil bakal bisa meruntuhkan superioritas AS di kawasan.

Kemerosotan kepercayaan terhadap AS di Timur Tengah sesungguhnya sudah jatuh, dan hanya menyisakan sejumlah kecil sekutu di Kawasan Arab.

Agresifitas imperialisme AS yang didukung sekutunya, telah mencabut puluhan hingga ratusan ribu nyawa di berbagai negara, termasuk di Libya di Afrika Utara.

Seperti di Irak, desakan agar pemerintah Irak mengusir militer AS yang membangun pangkalan di negara itu semakin kuat.

Di Suriah, AS mendirikan pangkalan ilegal di Suriah utara, berkolaborasi dengan kelompok Kurdistan yang memiliki koneksi dengan Israel terkait pasokan minyak.

“Irak menegaskan kembali penolakannya wilayahnya menjadi arena untuk menyelesaikan masalah atau menunjukkan kekuatan antara negara-negara yang bertikai,” demikian bunyi pernyataan Kementerian Luar Negeri Irak.

Jubir Kementerian Luar Negeri Iran Nasser Kanaani mengatakan serangan AS adalah kesalahan besar dan strategis lainnya yang dilakukan AS yang hanya akan mengakibatkan peningkatan ketegangan dan ketidakstabilan.

Berulangkali petinggi Iran menyatakan kesiapannya jika AS dan sekutunya menyerang negara itu. Secara kekuatan militer ada ketiakberimbangan, tapi Iran memiliki kekuatan yang mengejutkan.

Iran adalah sedikit dari negara di Timur Tengah yang sudah teruji kemampuannya melakukan serangan rudal jarak jauh dan presisi.

Militer AS pun telah merasakan efeknya ketika puluhan rudal jarak jauh Iran menghancurkan sejumlah barak militer AS di Erbil, Irak utara.

Ini adalah serangan jarak jauh Iran paling signifikan, yang memberi peringatan serius ke negara lain, termasuk Israel, yang ada di jangkauan rudal Teheran.

Potensi peperangan dengan Iran besar, dan jika pecah betulan, maka akan mudah membaca sikap negara-negara Teluk yang dipimpin Arab Saudi.

Mereka pasti akan pasif, dan akan semakin memilih untuk menjauhi AS dengan segala cara mengingat efek buruknya bagi eksistensi mereka.

Masa-masa belakangan sudah terlihat bagaimana Arab Saudi lebih mesra dengan China dan Rusia, sebagai partner perdagangan dan investasi.

Arab Saudi juga sudah menyatakan keinginannya bergabung dengan blok ekonomi BRICS yang diinisiasi Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan.

Kunjungan Presiden China Xi Jinping disambut lebih istimewa ketimbang kehadiran Presiden AS Joe Biden di Riyadh.

Begitu pula saat Presiden Rusia Vadimir Putin mengadakan kunjungan kenegaraan ke sejumlah negara Arab. Ia disambut sangat hangat dan meriah.

Suka tidak suka, kekuatan hegemonis seperti AS, Inggris, dan negara-negara NATO lain semakin tidak disukai dan sulit diterima.

Dunia bergerak semakin multipolar. Banyak negara ingin tumbuh mandiri, membangun wilayahnya menggunakan kekayaan dan sumber daya yang dimilikinya.

Di benua Afrika semakin tumbuh kesadaran menjauh dari pengaruh dan kuasa negara-negara kolonialis imperialis yang mendominasi kehidupan mereka selama berabad-abad.

Niger dan Mali sudah mengusir kekuatan militer Prancis. Bagi Prancis, perubahan sikap Niger ini sangat merisaukan.

Prancis bisa kehilangan sumber pasokan bahan energi nuklir yang menghidupi pusat-pusat tenaga nuklir mereka. Niger adalah sumber utama uranium bagi Prancis.

Tetapi berpuluh-puluh tahun eksploitasi uranium oleh Prancis, tak membawa negara itu dalam kemakmuran.

Kemiskinan masih jadi masalah pokok, ditambah konflik-konflik militer serta persengketaan domestik di Niger yang dilanggengkan kekuatan kolonialis.

Negara-negara di Afrika saat ini menoleh ke China dan Rusia. Modernisasi di Ethiopia, Kenya, Rwanda dan lain-lain adalah sebagian kontribusi Beijing.

Sementara Rusia memasok bahan pangan seperti gandum yang sangat dibutuhkan sejumlah negara Afrika.

Karakter kontribusi kedua negara ini bagi Afrika amat berbeda dengan AS dan negara-negara Eropa eks kolonialis Afrika.

Mereka lebih setara, sekalipun tetap saja memiliki agenda politik dan geopolitik atas upaya mereka merangkul kekuatan benua Afrika.

Dalam konteks ini, mestinya Gedung Putih berpikir dalam-dalam jika mereka ingiin membuka konflik terbuka dengan Iran.

Ketidakmampuan Israel melenyapkan Hamas di Gaza adalah kekalahan politik.

Ketidakmampuan AS membangun iklim damai di Timur Tengah adalah kekalahan lainnya.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini