Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Beringin bertambah rimbun.
Makin rimbun, makin kencang angin meniup.
Ada yang pasang kuda-kuda: jangan ada orang luar mengobok-obok Beringin!
Yang lain mengaku solid mendukung Airlangga Hartarto untuk kembali maju sebagai ketua umum pada musyawarah nasional (munas) Desember mendatang!
Mengapa ada yang pasang kuda-kuda?
Sebab berembus kencang isu Presiden Jokowi hendak mengambil alih Partai Golkar bersama putra sulungnya yang baru saja terpilih menjadi wakil presiden di Pemilu 2024: Gibran Rakabuming Raka.
Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana memang menyatakan Jokowi tidak akan menjadi ketua umum parpol mana pun. Namun pernyataan politik pihak Jokowi galibnya bermakna sebaliknya.
Di Pemilu 2024 suara Golkar melonjak tajam: 15 persen. Hanya selisih 1% dengan PDI Perjuangan sebagai jawara.
Sebab itulah, Golkar menjadi partai politik yang seksi bagi siapa pun, tak terkecuali Jokowi yang amat sangat membutuhkan parpol usai lengser 20 Oktober nanti.
Bagaimana bisa mengorkestrasi parpol-parpol koalisi pendukung Prabowo Subianto-Gibran jika Jokowi tak punya parpol?
Tak mungkin Jokowi mengambil alih PDIP yang sudah patah arang. Tak mungkin Jokowi mengambil alih partai-partai lain yang suaranya tidak masuk tiga besar.
Adapun parpol tiga besar disandang Partai Gerindra yang dinahkodai Prabowo Subianto.
Ada yang bespekulasi, termasuk internal Golkar sendiri yang mengindikasikan dukungan kepada Jokowi: melonjaknya suara Beringin karena faktor Jokowi, bukan faktor Airlangga. Beringin rimbun karena ikut mendukung Prabowo-Gibran sesuai petunjuk Jokowi.
Ada yang berspekulasi pula, termasuk internal Golkar sendiri, yang lagi-lagi menjadi indikasi dukungan kepada Jokowi: "DNA" politik Jokowi sesungguhnya adalah Golkar, karena semasa menjadi pengusaha mebel, sebelum maju sebagai calon walikota Solo dari PDIP tahun 2005, Jokowi sudah mempraktikkan ajaran Golkar, yakni karya- kekaryaan.
Jadi, ketika nanti menjadi ketua umum Golkar, Jokowi ibarat kembalinya si anak hilang.
Politik Sandera
Segampang apakah Jokowi mengambil alih Golkar? Tidak mudah. Tetapi juga tidak terlalu sulit.
Jokowi memang bisa terbentur Pasal 18 ayat (4) Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Golkar yang mensyaratkan calon ketua umum harus sudah pernah aktif berturut-turut di Golkar selama 5 tahun dan tidak pernah menjadi anggota parpol lain.
Akan tetapi, AD/ART bukan kitab suci. AD/ART dengan mudah dapat diamandemen.
Apa sih yang tak bisa dilakukan Jokowi? Bahkan Mahkamah Konstitusi (MK) pun bisa ia "intervensi" dengan lahirnya keputusan Nomor 90/2023 yang meloloskan Gibran sebagai cawapres kendati masih berumur 36 tahun. Ada Paman Usman di MK.
Apa sih yang tak bisa dilakukan Jokowi? Bahkan ketua umum-ketua umum parpol pun bisa dia "sandera" untuk mendukung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024.
Kini, politik sandera pun bisa Jokowi mainkan lagi untuk mengambil alih kursi Golkar-1.
Akankah Airlangga defensif? Tergantung seberapa kuat cengkeraman "sandera" yang ia rasakan.
Yang jelas, tak ada kawan atau lawan abadi dalam politik. Yang abadi adalah kepentingan. Hari ini Airlangga berkawan dengan Jokowi, esok bisa saja akan berlawanan.
Bedanya, Airlangga bukan seorang petarung, sedangkan Jokowi sudah terbukti sebagai seorang petarung sejati.
Kini, Beringin ibarat telur di ujung tanduk.
* Karyudi Sutajah Putra: Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI).