News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

‘Sepanjang Sejarah Haji Selalu Terkait Politik’

Editor: Anita K Wardhani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ibadah Haji

 


Oleh: Muhammad Subarkah, jurnalis dan pemerhati masalah haji.

 

TRIBUNNEWS.COM -  Soal haji itu pasti terkait politik. Minimal bagaimana menentukaN Istita’ah seseorang dan jaminan keselamatan selama pergi, tinggal di tanah suci, hingga jemaah pulang. 

Jaminan itu hanya ada bila ada dukungan negara. 

Di zaman Kesultanan Islam, misalnya era Otoman, pegawai penyedia layanan kepada jamaah haji hingga tentara berada dan menyertai perjalanan rombongan jamaah haji. (mereka menyediakan lostik, makanan, air, tempat menginap, alat angkut, dan lainnya).

Orang dari Indonesia pertama kali berangkat haji, Sunan Gunung Jati, di awal abad 16 (dekade awal 1500 M, seiring dengan eksisnya Kesulatanan Demak).

Sebagaimana ditemukan De Graaf dari Daghregister tanggal 20 November 1640, setiap hari orang Inggris mengunggu kedatangan utusan Jawa yang dikirimkan ke Mekah melalui India. Utusan Jawa itu diperkirakan berangkat pada pertengahan 1639, setelah perjanjian dengan utusan tanggal 20 Oktober 1638.

Baca juga: Kemenag: Asuransi Jiwa Jemaah Haji Reguler 2024 yang Wafat Sudah Dibayarkan


Pada 27 Januari 1641, duta Jawa dibawa orang Inggris ke Banten. Dari Banten, utusan itu dikawal Kiai Narantaka atas perintah Sultan Banten. Si utusan dari Jazirah Arabia membawa “sebuah gelar baru dari tanah Arab dan disebut Sultan Abdul Mahomet Moulana Mataram (sebenarnya-mungkin Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani (Daghregister, 30 Okt. 1641)”. 


Akhirnya, sejak 1 Juli 1641, seperti tertulis dalam Daghregister, 1 Juli 1641, namanya sudah disebut “Sultan Mataram”.


Ternyata, pihak Belanda juga berhasrat membantu raja Mataram mendapatkan gelar sultan dari Mekah, dengan syarat sebagai imbalannya tawanan Belanda dilepaskan. 

Ini terungkap dari surat tanggal 24 April 1640 dan 21 Agustus 1640 yang menyatakan Belanda mau membawa utusan raja ke Mocha, Aceh atau Dabul. Tapi pihak Mataram tidak menanggapinya.


Di sisi lain, Ralph Cartwright dan kawan-kawan yang mengantarkan pembawa gelar sultan dari Mekah ke Mataram, menyanggupi untuk mengantarkan lagi “utusan raja Mataram, yaitu ulama Arab beserta 18 orang Jawa yang pandai dan kurang lebih 6.000 rial
logam untuk disedekahkan di makam Mahometh” dengan menumpang Kapal Reformation.


Menurut perkiraan De Graaf, pengiriman itu berikut uangnya demi kepentingan sultan Mataram menunaikan ibadah haji. Sekaligus mengejar momentum berpuasa di Tanah Suci selama bulan Ramadan, yang jatuh pada November-Desember 1642. 

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini